KOTOMONO.CO – Soal banjir dan rob Kota Pekalongan yang nggak kelar-kelar, sepertinya kudu New Normal saja.
Ketika asik menjelajah Instagram, jari saya sontak berhenti scrolling saat muncul video banjir Pekalongan. Iyaa, bukan hal yang mengherankan, memang. Tapi postingan itu membawa ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam. Pesisir Kota Pekalongan kerap langganan banjir dan rob, terlebih di penghujung tahun, banjir karena intensitas curah hujan yang tinggi, juga gelombang pasang air laut (rob) membuat daratan menghilang seketika.
Sampai dengan saya menulis artikel ini, keadaan pesisir Pekalongan cukup memprihatinkan (setidaknya menurut saya). Banyak rumah kosong penuh genangan, namun masih lebih banyak lagi masyarakat yang bertahan dengan ancaman tergenang sewaktu-waktu. Bukan berduyun-duyun pindah dusun, masyarakat justru pontang-panting meninggikan rumah untuk sebisa mungkin menghalau air masuk ke dalam.
Ada kalanya usaha mereka berhasil, namun lain cerita jika pemerintah juga tidak mau kalah meninggikan jalan raya. Bukan hal aneh lagi jika terdapat rumah yang cukup pendek lantaran hampir separuh dari temboknya sudah habis termakan peninggian.
Kompetisi “siapa yang paling tinggi” ini tak ada habisnya sampai pada akhirnya warga dengan ekonomi pas-pasan memilih pasrah jika banjir bertamu. Bukan cuma satu dua hari, bahkan hingga beberapa minggu, mereka (warga dan banjir) hidup berdampingan. Yang mesti digaris bawahi, hal ini terjadi setiap tahun. Termasuk beberapa tahun belakangan ini yang tergolong cukup parah dibanding tahun-tahun sebelumnya meskipun tanggul raksasa sudah rampung digarap.
Irendra Radjawali, seorang analis geospasial mengungkapkan Kota Pekalongan mengalami penurunan permukaan tanah sekitar 25 sampai 34 cm. Angka ini diperoleh dari penelitian dengan citra satelit sentinel melalui teknik differential SAR Interferometry. Kabar buruknya, Pekalongan merupakan kota yang tenggelam tercepat di dunia.
Nah, untuk menyikapi hal tersebut, jika memang sangat tidak memungkinkan mencari “safety place“, sudah sepatutnya masyarakat daerah pesisir terdampak rob segera melakukan upaya adaptif. Sudah bukan saatnya lagi menyalahkan keadaan dan terus-terusan berlomba dengan pemerintah menjadi “paling tinggi”. Terus terang saja, banjir yang menahun lebih banyak membawa ketidaknyamanan, bukan?
Sebagai upaya untuk bertahan hidup, berikut sederet alasan mantul untuk warga pesisir agar berhenti meratapi banjir tahunan dan mulai berdamai dengannya.
Pertama: Menikmati Indahnya Kebersamaan
Sudah menjadi rahasia umum jika masyarakat kota dicirikan dengan karakter individualis. Rumah berhimpitan dengan pagar tinggi dan kesan hidup sendiri-sendiri otomatis terhapuskan jika banjir melanda. Keadaan yang demikian memaksa warga berkumpul menjadi satu di tempat pengungsian dan bahu-membahu memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Sekalipun masih bisa bertahan di rumah, tetap saja mereka membutuhkan uluran tangan pihak lain untuk bertahan hidup. Sekecil urusan numpang parkir di lahan yang kering, misalnya.
BACA JUGA: Saya yang Walikota Menjawab Kritik Saya yang Tukang Kritik
Jika terpaksa diungsikan, warga akan tidur dengan alas seadanya di pengungsian, akses MCK yang terbatas, dan kesulitan bekerja. Tidak ada lagi yang bisa diratapi selain keadaan yang membawa mereka dalam situasi baru: selalu bersama dalam duka.
Kedua: Menjadi Juragan Ikan Dadakan
Tiap kali menyambangi daerah banjir dan rob, saya selalu mendapati warga tengah asik memancing. Entah itu di depan rumah, melipir ke bekas sawah yang sudah menjadi genangan air cukup luas, atau selokan tetangga. Mereka tidak memiliki alternatif kegiatan seru lainnya karena akses ke sekolah dan pergi bekerja tertutup.
Tidak alasan bersedih lagi jika para pemancing ini sudah menggenggam alat pancingan beserta umpannya sambil sebats. Dalam sekali duduk saja (entah berapa jam), bak mereka sudah terisi dengan aneka jenis ikan seperti lele dan mujaer.
BACA JUGA: Banjir Pekalongan Tak Pernah Tuntas Kalau yang Diajak Ngobrol Cuma Elite
Pemerintah tidak perlu merisaukan keseimbangan gizi korban terdampak banjir rob, mereka dengan sendirinya sanggup memenuhi kebutuhan protein dari hasil tangkapannya sendiri. Jika banjir rob ini makin parah dan bertahan lebih lama, saya tidak heran jika warga akan beralih profesi menjadi juragan ikan atau buka warung pecel lele.
Ketiga: Jatah Makanan Mewah
Jangan kira korban banjir rob akan kelaparan sepanjang hari, pemerintah dan berbagai sukarelawan berlomba-lomba memberikan bantuan untuk meringankan beban korban. Selain beras yang sudah menjadi makanan pokok nan wajib, mie instan berada diurutan kedua. Bisa dibilang “nasi banjir” yang dibagikan untuk korban terdampak adalah nasi dengan lauk varian mie instan. Jika bule menganggap mie instan Indonesia adalah makanan mewah, korban banjir justru mendapatkannya terlampau melimpah. Pokoknya mie terosss sampai usus keriting!
Keempat: Merasakan Sensasi Wisata Air
Melalui kementrian PUPR, pemerintah pusat dan pemerintah Kota Pekalongan melakukan pembangunan wisata air terbesar Indonesia di pesisir pantai Pekalongan di tengah bencana rob yang tak kunjung teratasi. Pengerjaan proyek bangunan sudah dilakukan sejak tahun 2020, tapi warga sekitar sudah merasakan sensasi wisata air jauh sebelum proyek selesai. Apakah ini privilege warga Pekalongan?
BACA JUGA: Yang Paling Mudah Disalahkan Orang Saat Banjir Melanda
Ada baiknya jika pemerintah tak perlu repot-repot menggelontorkan dana besar untuk membuat wisata ini, toh secara “alami” Pekalongan sudah dilimpahi air yang luar biasa. Anak-anak sudah terbiasa bermain air, memancing, bahkan naik perahu (evakuasi). Toh hal tersebut bisa juga dirasakan siapa pun yang berkunjung ke daerah rob. Apa tidak lebih baik jika wisata airnya dialihkan menjadi wisata kampung ramah rob saja? Ehh.