KOTOMONO.CO – Baiq Nuril, seorang guru di Nusa Tenggara Barat (NTB) ditahan atas dugaan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Baiq Nuril dijerat Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Ia ditahan atas tuduhan mentransmisikan atau mendistribusikan informasi elektronik yang bermuatan asusila. Kasus yang bergulir sejak 2015 itu berakhir pada pemberian amnesti dari Presiden Jokowi kepada Baiq Nuril. Sehingga ia pun dibebaskan.
Banyak pihak menilai penahanan terhadap Baiq Nuril tidak tepat. Bahkan cenderung hanya dimanfaatkan oleh oknum dengan menggunakan UU ITE tersebut.
Rilis Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2018, dikutip CNN Indonesia juga menyoroti pemahaman hakim MA terhadap UU ITE. Sebab berdasarkan Pengadilan Negeri (PN) Mataram, NTB, Baiq sama sekali tidak melanggar unsur pidana.
Kasus serupa juga menimpa orang lain. Ada Saidah Saleh Syamlan pada 2017 yang diseret ke hukum karena dilaporkan telah mencemarkan nama baik sebuah perusahaan. Laporan itu menyusul komplain Saidah terhadap salah satu pimpinan Bank Exim Indonesia di aplikasi pesan instan. Saidah pun dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang terkenal punya sifat elastis itu.
Bukan cuma Baiq Nuril dan Saidah Saleh yang telah mencicipi ganasnya pasal-pasal karet UU ITE. Dari tahun 2008—tepat saat UU ITE ini lahir—hingga tahun 2018, berdasarkan data SAFEnet korban UU ITE mencapai 245 orang. Gila, banyak banget nggak tuh?
Ironinya, 32,92 persen dari jumlah itu atau kira-kira sepertiganya, pelapor paling banyak adalah pejabat negara. Bagaimana memang pejabat negara itu doyan ngelaporin warganya sendiri.
BACA JUGA : Banjir Berwarna Merah di Kota Pekalongan Itu Biasa Saja, Nggak Usah Lebay!
Nggak cuma warga biasa kayak dua orang tadi. Musisi cum aktivis Ananda Badudu juga pernah terjerat UU ITE. Jurnalis cum aktivis Dandhy Laksono juga ikut mencicipi ganasnya UU ITE, sampai sastrawan Saut Situmorang juga pernah tertimpa hal serupa.
UU ITE sering kali disebut sebagai produk undang-undang yang memberangus kebebasan berpendapat publik. Artinya masyarakat yang kemudian mengkritik pemerintah atau otoritas tertentu misalnya, harus mewaspadai jika pihak yang kena kritik itu tahu-tahu melaporkan ke kepolisian atas sangkaan pencemaran nama baik.
Lalu tanpa tedeng aling-aling, belum lama ini presiden yang paling kita cintai, Jokowi meminta seluruh rakyatnya untuk mengkritisi kebijakan pelayanan publik. Tentu saja pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang buruk di mata masyarakat. Hal ini konon perlu untuk meningkatkan mutu pelayanan publik.
“Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan atas potensi maladministrasi, dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus berupaya meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” kata Jokowi dikutip situs presidenri.go.id.
BACA JUGA : Viral Itu Perlu dan Memang Harus
Tak pelak pernyataan Jokowi itu menimbulkan polemik luar biasa. Ha yo jelas, gimana mau mengkritik kalau ancamannya UU ITE yang bikin semua kritikus tak berkutik? Maka wajar belaka jika banyak pihak yang ikut menyangsikan pernyataan Jokowi tersebut.
Akhirnya, mungkin beliau ini nggak mau pernyataannya itu sia-sia, Jokowi pun meminta agar UU ITE segera direvisi. Permintaan Jokowi ini tentu saja disambut baik oleh banyak pihak.
Banyak orang yang menilai bahwa langkah Jokowi ini begitu penting dan sangat krusial untuk mewujudkan impian negara demokrasi secara kaffah. Namun belum juga seminggu dari pertama kali beliau mengeluarkan statemen tersebut, pendapat-pendapat anak buah Jokowi justru meragukan.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro mengutip Bisnis.com justru melemparkan revisi UU ITE ke DPR-RI. “Silakan DPR berinisiatif,” katanya seperti dilansir Tempo. Lain Juri lain pula Jhonny.
Pria bernama Jhonny G Plate (bacanya plate atau plate ya?) yang kini juga menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu alih-alih menyinggung revisi UU ITE, malah menggesernya ke arah interpretasi UU ITE.
“Kominfo mendukung Mahkamah Agung, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran,” terang Jhonny dikutip Beritasatu.com (17/2).
BACA JUGA : Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
Lho ini gimana sih, yang urgensial itu merevisi pasal-pasal karet UU ITE, tapi ini kok malah bikin pedoman interprestasi resmi terhadap UU ITE? Walah, sik sebentar, pedoman interpretasi malah bisa jadi membuka multitafsir yang lebih luas lagi, iya nggak sih? Apalagi yang nyusun itu dari pemerintah juga.
Pihak DPR sendiri nggak bisa langsung melakukan revisi UU ITE dengan memasukkannya ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Pasalnya hal itu terbentur UU Nomor 15 Tahun 2019 lantaran belum menyiapkan naskah akademik dan draft Rancangan Undang-undang (RUU).
“Kalau masih menunggu draf dari DPR, DPR belum membentuk tim. Itu konkret. Jangan hanya pemerintah menyampaikan (ingin merevisi UU ITE), tetapi bolanya dilempar ke DPR. Itu, kan, sama dengan lempar batu sembunyi tangan. Jadi harus ada tindakan konkret dong,” tegas Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi dikutip Koran Kompas (20/2).
Melihat beragam pendapat yang saling berseberangan itu bikin revisi UU ITE ibarat sedang diombang-ambingkan. Antara mau direvisi ataukah tidak. Langkah pemerintah boleh jadi setengah hati dalam melakukan itu.
BACA JUGA : Aspen Words Literary Prize Umumkan 5 Finalis Calon Peraih Penghargaan Sastra
Pemerintah memang membentuk dua tim. Satu tim yang bergerak untuk bikin pedoman interpretasi UU ITE, satu lagi untuk mengkaji apakah revisi UU ITE penting. Khusus tim yang kedua kabarnya sudah mulai kerja Senin (22/2). Bahkan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD secara gamblang menyebut pengkajian diperkirakan selesai dalam tiga bulan.
“Karena ini diskusi jadi butuh waktu sekitar dua hingga tiga bulan,” kata Mahfud MD dilansir Medcom.id (22/2).
Sementara, keinginan agar pasal-pasal karet dalam UU ITE segera dihapus tak kalah masif. Salah satunya dari dosen Universitas Syiah Kuala, Aceh, Saiful Mahdi yang juga tengah menjalani proses hukum terkait UU ITE. “Kalau tidak, bisa mematikan kritik dan demokrasi,” katanya, dikutip Koran Kompas (19/2).
Sembari menunggu hasil pengkajian—yap bener, baru sekadar mengkaji—revisi UU ITE, pemerintah sedikit “mengadem-ademi” rakyat dengan meminta aparat kepolisian berhati-hati dalam menangani kasus UU ITE.
Maka terbitlah Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri, Jenderal Sigit pada 19 Februari 2021. Yang berbunyi kurang lebih salah satunya begini:
“Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme,” tulis Jenderal Sigit dikutip detikcom.
BACA JUGA : Kebosanan Dikhawatirkan Akan Memicu Penyebaran Covid-19 Lebih Parah
Syahdan, pertanyaannya yang muncul kemudian adalah apakah surat edaran tersebut tidak mengandung multitafsir sama seperti pasal elastis di UU ITE? Bisa jadi ya, dan lebih banyak tidak. Lewat kutipan di atas saja sudah sangat jelas berpotensi disalahgunakan.
Secara nggak langsung, Jenderal Sigit ingin bilang bahwa semua kasus UU ITE bisa diatasi lewat jalan damai, kecuali yang punya peluang memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Padahal kita sendiri nggak tahu apa batasan suatu informasi dianggap memecah belah. Atau kita nggak ngerti bagaimana penilaian sebuah postingan berbau SARA atau tidak. Bagaimana postingan itu radikalisme atau hanya sekadar kritik. Lalu separatisme? Oh, hai saudara-saudaraku yang ada di Papua.
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.