KOTOMONO.CO – Akhirnya seremoni itu selesai. Sebuah kegiatan rutin yang mengulang-ulang kebiasaan yang sama itu membuat rasa kantuk lebih cepat datang. Sampai kadang, aku ajukan pertanyaan, apakah tidak ada cara lain untuk membuat seremoni itu jadi berkesan, hidup, dan penuh daya? Rasanya, percuma saja pertanyaan itu kuajukan. Sebab, selalu akan dijawab, itu sudah jadi aturannya. Titik!
Usai seremoni itu wajah-wajah penuh tawa itu membuncah. Tak reda-reda, seperti hujan gerimis yang berkepanjangan. Tak jelas kapan akan usai. Entah, apa yang tersembunyi di balik pikiran mereka, hingga tawa itu meledak berestafet tanpa jeda. Terbawa pula sampai di koridor dengan sama-sama mengulum senyuman penuh geli. Bedak luntur tak disoal. Mata lelah karena kelopak yang menopak mascara tak jadi perhatian. Kerudung yang bentuknya tak sempurna menutup kepala juga terabaikan.
Para lelaki, seperti biasa, mereka berusaha tetap memperlihatkan kegagahan mereka. Dalam balutan baju yang berangkap-rangkap, mereka menutupi rasa gerah. Beruntung mereka, lapis terluarnya adalah jubah hitam kebesaran mereka, toga. Membuat keringat tak terlampau jelas nampak dipandang.
Yang jelas, peristiwa itu peristiwa yang mereka nantikan. Perjalanan selama empat tahun mereka tuntaskan. Ada yang lebih sih. Ada juga yang kurang dari empat tahun. Kemampuan otak, dompet dan spirit menjadi patokan. Perjuangan mereka terbayarkan dengan perpindahan tali secuil itu dari kiri ke kanan. Ah payah. Kalau sekedar memindahkan tali saja, kenapa pula kau harus susah payah bertahun-tahun?
Aku gerah, jubah berbahan yang tak ramah cuaca ini menguras keringat lebih cepat. Basah tubuh, lengket. Untung keluargaku tidak terlalu rempong dengan kebiasaan foto atau swafoto. Kami memang tidak gandrung media sosial. Jadilah aku bisa bebas melepas topi dan jubahku.
Jubah kusampirkan di pundak. Aku bergegas melangkah keluar dari gedung yang laknat itu. Kulihat teman-temanku masih betah. Tawa mereka masih saja pecah seolah tak lagi perlu merisaukan kehidupan nyata di luar sana. Bahwa apa yang akan mereka lalui setelah ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak sama dengan apa yang mereka bayangkan ketika mereka masuk ke kampus ini. Ijazah hanya selembar kertas yang masih harus diperjuangkan lagi. Karena tidak ada yang mau membeli ijazah. Apalagi menerimanya sebagai barang gadaian.
Dunia adalah persaingan. Berebut pintu masuk yang sempit. Meja kursi yang tersedia di tempat kerja tak terlalu banyak. Mungkin hanya satu, dan satu-satunya. Mungkin tak ada satu pun. Mesti menunggu lagi, berburu lagi, dan melanjutkan perjalanan hidup yang luntang-lantung. Nganggur. Jadilah beban lagi bagi keluarga.
Persetan! Ngapain juga aku harus memikirkan mereka? Toh belum tentu mereka juga memikirkanku. Belum tentu juga mereka memikirkan seperti yang kupikirkan. Yang penting aku sudah merencanakan semuanya dengan baik. Nasib sial mereka sendiri jika pada akhirnya harus menganggur berbulan-bulan lantaran terlambat jalan.
Aku memang orang yang tidak suka berleha-leha. Orang menganggapku pandai dan perfeksionis. Tapi aku tidak merasa demikian. Bodoamat. Itu hanya anggapan mereka saja, peduli apa aku dengan opini orang. Yang tau siapa aku hanyalah diriku sendiri.
Tapi aku memang sudah mempersiapkan hidupku dengan matang. Ketika teman-temanku sedang kelimpungan mencari judul skripsi, aku sudah menemukannya dan menyegerakan risetku. Ketika mereka sibuk penelitian, sidangku sudah di depan mata. Begitu surat kelulusan sudah di tangan, segera kuedarkan CV-ku kepada para HRD yang melek matanya. Biarlah ketika mereka kelimpungan mencari lowongan pekerjaan, aku sudah duduk manis di kantorku yang nyaman.
Lebih baik saat ini aku pulang dan menemui kasurku yang tidak terlalu empuk tapi sangat nyaman. Sudah pukul 14.00, waktu yang tepat untuk tidur siang. Lagi pula, ini adalah minggu terakhirku di kosan, sebelum mencari kosan lain yang lebih layak ketika mendapatkan kerja.
***
Oh Sial! Notif pesan itu mengganggu tidurku. Layar handphone-ku menunjukkan pukul 08.00. Ternyata manusia bisa lebih kebo dari kebo itu sendiri. Aku terlelap sejak siang kemarin sampai pagi. Dan pesan yang masuk, ya aku adalah manusia yang beruntung.
Hari ini aku mendapat panggilan interview di perusahaan yang aku lamar tempo hari. Hanya tersisa 1 jam untuk bersiap-siap. Segera melompat dari ranjang, mandi dan bergegas memakai baju terbaikku. Aku harus tampil maksimal hari ini.
Kuseduh kopi instan dari warung sebelah sebagai ritual semangat pagiku. Aku hanya menyukai kopi hitam tanpa gula. Bagiku, kita tak perlu memaksakan sesuatu yang ditakdirkan pahit menjadi manis. Namun pagi ini pahit di kopiku sedikit berkurang. Ada rasa manis yang janggal di sana. Apakah ini karena nasib baik?
Tak perlu terlalu memikirkan kopi yang berubah, segera aku berselancar mencari ojek online supaya tidak terlambat. 8 menit. Cukup waktu untuk mengatur nafas.
***
Betapa usaha tidak akan menghianati hasil. Keseriusanku dalam menjalani serangkaian tes seleksi pekerjaan tersebut berhasil aku lewati. Aku, sarjana Sastra Indonesia sekarang menjadi pegawai bank. Sungguh pekerjaan ini tidak sesuai dengan keilmuanku. Namun siapa peduli?
Aku sangat paham ini tidak sesuai dengan bidangku, namun aku percaya dengan kemampuanku. Manajemen kantor juga pasti tidak akan asal-asalan merekrut pegawai baru. Biarlah nanti aku bisa menghibur nasabahku dengan sajak-sajak Pablo Neruda atau Chairil Anwar.
Lihatlah mereka yang masih keukeuh dengan keilmuannya dan enggan mencoba peluang lain, jalan mereka terhambat. Teman-temanku saja masih belum reda dengan euphoria wisuda minggu lalu. Mereka pasti iri kalau melihatku sekarang yang sudah punya pekerjaan. Kelak ketika pikirannya sedikit maju, mereka akan sadar betapa terbelakangnya mereka sebab hanya menikmati euphoria tanpa henti.
***
Hidup memang penuh kejutan. Setelah mendapatkan karir yang aku inginkan, aku mulai bosan. Rutinitasku hanyalah kosan dan kantor. Weekend-ku habis untuk lemburan dan sesekali nongkrong dengan teman, jika tak kelelahan. Aku tak yakin inilah kehidupan yang sejak kuliah dulu aku dambakan.
Semua berjalan normal dan monoton. Aku dan kerjaan, kantor dan kosan. Hingga pagi ini, siaran berita televisi menggugah negaraku. Covid-19 sudah melanda Indonesia.
Beberapa bulan yang lalu virus ini memang sudah singgah di Cina terlebih dahulu. Wuhan, menjadi kota mati sebab kebijakan lockdown pemerintah Cina. Mendengar kabar mengejutkan tersebut, menteri kesehatan Indonesia berseloroh negara kita tak akan terjamah. Namun siapa sangka pada akhirnya mereka yang dulunya seyakin itu hanya bisa gigit jari ketika corona menjalar ke Indonesia.
Memang kecanggihan teknologi saat ini tidak selalu memudahkan manusia. Aku muak dengan alat elektronik dan jaringan media massa lainnya yang hanya meresahkan masyarakat. Semua televisi memberitakan virus. Pandemi menjadi headline surat kabar cetak maupun online. Pun, timeline media sosial ramai membicarakannya. Semua informasi dan keributan ini membuatku ingin muntah.
Entah sampai kapan keriwehan ini akan berakhir, masyarakat belum juga patuh dengan protokol kesehatan yang sudah digaungkan pemerintah. Masih banyak yang membandel tidak memakai masker sampai-sampai pihak kepolisian mencanangkan program razia masker. Walaupun begitu, pemerintah juga tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah. Sudah tak tau lagi aku ke mana arah negara ini.
***
Kabar yang aku takutkan akhirnya terjadi. Setelah covid-19 mewabah ke mana-mana, surat pemberitahuan dirumahkan itu tiba. Aku harus berhenti bekerja dan berdiam diri di rumah. Meninggalkan pekerjaanku yang agak membosankan itu sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Nyatanya, mendapat libur dan tidak bisa ke mana-mana pun bukan pilihan yang menyenangkan.
Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Empat minggu. Satu bulan berlalu. Kuhabiskan waktuku dengan video game, mengikuti tutorial teranyar dan habis-habisan menamatkan film. Waktu terus berjalan tapi hidupku berhenti. Rutinitas monoton kembali membosankan.
Handphone-ku di meja tampak berkedip. Pesan grup rupanya. Atasan kami di kantor mengabarkan bahwa mulai minggu depan, setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan new normal, kami bisa mulai bekerja di kantor dengan mengikuti standar protokol kesehatan. Angin segar rupanya.
Kupaksakan keluar kosan, sejenak mencari udara segar dan berbelanja kebutuhan yang mulai menipis. Ternyata lingkunganku sedikit berubah. Jalanan tampak lengang, orang-orang mulai memakai masker, meskipun mereka tetap berkerumun.
Aku pulang ke kosan dengan menenteng beberapa kresek belanja. Iya di kota kami minimarket masih menjual plastik meskipun sempat dilarang. Aku menaruh mie instan, telur, kopi, beberapa snack di kulkas. Masker juga hand sanitizer yang sekarang menjadi kebutuhan pokok, sengaja aku beli lebih sebagai bahan persediaan. Siapa tau besok-besok stok masker di pertokoan mendadak tipis lagi, aku sudah bersiap.
***
Bulan november sudah memasuki musim penghujan, tapi kamarku justru terang benderang oleh sinar matahari di waktu sepagi ini. Momen yang jarang pula aku merasa gerah saat bangun pagi.
Lagi-lagi notifikasi handphone memaksaku beranjak bangun. Ternyata pesan spam dari nomor tak dikenal. Bagaimana pun aku harus berterimakasih kepadanya sebab aku jadi melangkahkan kaki meninggalkan kasur nyamanku.
Aku ingat. Ini hari yang kutunggu-tunggu sejak pekan lalu. Aku bisa bekerja di kantor lagi dan menemui nasabahku di sana. Segera aku berlari ke kamar mandi, namun ada yang aneh dengan tubuhku. Kenapa aku mengenakan jubah wisuda?
Ting ting..
Satu email masuk. Aku buka dengan sigap. Surat pemberitahuan rekrutmen pegawai baru Bank Shat.
“Bagaimana bisa pihak personalia mengirimiku, pegawai bagian marketing hal demikian?”. Kubaca dengan teliti email tersebut, di lampirannya tertera namaku yang dinyatakan tidak lolos pemberkasan.
Seketika aku terduduk di kasur. “Apa maksud semua ini?”
Aku teringat masker dan hand sinitizer yang aku beli tempo hari. Keduanya aku simpan di laci lemari dekat televisi. Kuberlari kesana dan tidak ada. Kutengok jendela, tak ada orang berjalan kaki menggunakan masker. Kulihat jam dinding, ternyata pukul 15.00 WIB.
***