KOTOMONO.CO – Saya kerap gemas tiap kali mendapatkan judgement bahwa membaca fiksi adalah sebuah kesia-siaan. Penghakiman ini kerap saya dapatkan saat bertemu dengan seseorang yang preferensi bacaannya adalah buku non fiksi. Mereka bilang, fiksi sekadar tulisan halu. Mengonsumsinya terlalu banyak hanya akan membuat saya menjadi budak imajinasi.
Chakkaman chakkaman chakkamannn… Memangnya mereka sudah khatam berapa novel? Apakah mereka sudah menamatkan ratusan judul sehingga berhak menarik kesimpulan seperti itu? Atau, sudah ada upaya riset yang validitasnya bisa dipertanggung jawabkan?
Saya sih nggak yakin. Sepertinya mereka hanya asal nyeplos saja, tanpa mau tahu realitanya. Tampaknya mata mereka perlu diganjal agar bisa melihat lebih jelas isi buku fiksi.
Begini. Sebenarnya, banyak novel yang ditulis berlandaskan fenomena sosial. Isu-isu yang tengah ramai dan menjadi keresahan penulis kerap menjadi gagasan utama. Sebut saja budaya patriarki. Konstruksi sosial yang memberatkan perempuan ini sering menjadi topik utama novel Oka Rusmini.
Dalam buku Tarian Bumi, Tempurung, dan Kenanga, Oka Rusmini secara konsisten memberikan kritik terhadap praktik patriarki budaya tradisional Bali. Ia secara detail menggambarkan identitas, realitas, dan posisi perempuan dalam struktur masyarakat Bali.
Melalui tokoh utamanya, pembaca bisa menempatkan diri atau setidaknya menjadi saksi penderitaan tokoh utama tersebut. Sekali lagi, Oka Rusmini menuliskannya berlandaskan realita masyarakat Bali. Jika sudah merasakan posisi yang dikesampingkan tersebut, sangat tidak mungkin jika pembaca tetap mendukung praktik yang demikian.
Isu diskriminasi gender dan feminisme juga diangkat Okky Madasari dalam bukunya yang berjudul Entrok, 86, Maryam, dan Pasung Jiwa. Melalui plot cerita yang disuguhkan, pembaca bisa memahami bagaimana ketidakadilan itu sangat mencederai hak manusia. Dari sana kita bisa mengambil sikap bijak jika suatu saat hal tersebut terjadi.
Itu baru dua penulis dan tujuh judul buku. Sementara di Indonesia saja, banyak sekali penulis masyhur yang novelnya laris manis hingga kancah internasional. Apakah mereka hanya menjual imajinasi? Tentu tidak.
Penulis dunia sekelas Dan Brown–yang beberapa novelnya sudah diadaptasi ke layar lebar–juga tidak sekadar menjual misteri. Dia mendeskripsikan suatu tempat dengan sangat rinci dan jelas sampai-sampai kita bisa membayangkannya secara riil.
Setidaknya sekalipun teori konspirasi Dan Brown nggak bisa dibuktikan, dari novelnya kita bisa tahu dan dibuat mati penasaran dengan tempat bersejarah dunia.
BACA JUGA: Potret Patriarki di Tanah Papua dalam Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf
Hal ini tentu bukan sebuah kesia-siaan. Saat membaca Inferno, The Da Vinci Code, The Lost Symbol, Angels and Demons, Digital Fortres, dan Deception Poin, saya merasa tengah menjelajahi dunia. Lumayan kan bisa traveling made by imagination.
FYI, saya bilang traveling karena memang novel tadi semuanya berlatar tempat terkenal di beberapa negara. Tidak pure imajinasi juga karena penggambaran Dan Brown dan bangunan sebenarnya sangat mirip (yang ini sih hasil riset pribadi di Mbah Google ya).
Bagi saya, genre fiksi jauh lebih bisa dinikmati ketimbang buku non fiksi terlebih yang penuh teori. Ya, tentunya karena saya nggak mau bermumet-mumet ria memikirkan pandangan banyak tokoh terhadap satu fenomena. Cukuplah keruwetan beranjak dewasa saja.
Seperti topik patriarki tadi, misalnya. Membaca novel justru membikin saya lebih paham kenapa saya harus memutus rantai budaya tersebut. Jika ditanya secara teoritis, mungkin saya akan gelagapan. Namun jika membicarakan fenomenanya, saya bisa menjadikan cerita fiktif tadi sebagai bahan rujukan dan comparing dengan fakta lapangan.
BACA JUGA: Rekomendasi Novel yang Bisa Bikin Kamu Sesenggukan Banjir Air Mata
Novel memang tidak memberikan pengetahuan secara teoritis. Melalui jalan ceritanya, penulis bisa memberikan gambaran secara lebih gamblang tentang topik yang diangkat. Secara tidak sadar, pembaca novel juga mendapatkan insight baru secara emosional.
Unsur emosional inilah yang menurut saya menjadi perbedaan besar yang cukup mencolok antara buku fiksi dan non fiksi. Novel dengan kompleksitas problem setiap karakternya bisa membuat pembaca memahami cara bersikap seseorang.
Penikmat fiksi menjadi lebih terasah kecerdasan emosionalnya. Mereka bisa menjadi lebih peka, berempati, hati-hati dalam bertindak, dan memahami orang lain dengan lebih baik sekalipun banyak terdapat perbedaan. Membaca fiksi juga bisa memperbanyak perbendaharaan kata.
Jadi, masih mau menghakimi kawula fiksi?