KOTOMONO.CO – Bukit Algoritma di Sukabumi yang sempat menjadi bahan pembicaraan orang se-Indonesia itu kini tak terdengar lagi. Bisa jadi proyeknya berjalan, bisa jadi tidak. Saya nggak tahu pasti. Yang jelas, seingat saya, pembangunan Bukit Algoritma ini punya misi yang sangat mulia: menunjang tangan-tangan kreatif dari masyarakat kita.
Rencananya sih, seperti Silicon Valley. Itu lho, sebuah lembah tempat berkumpulnya perusahan-perusahaan terbesar di dunia. Apple, Google, Facebook, dan beberapa perusahaan terkenal lainnya dimulai dari situ. Nah, Bukit Algoritma ini disebut-sebut sebagai Silicon Valley-nya Indonesia.
Namun, versi nasionalnya saja belum jadi, embrio “Bukit Algoritma” sudah muncul di Kota Pekalongan. Kota yang hampir tenggelam itu ternyata memiliki DNA untuk menjadi pusat peradaban 4.0. Tak bisa bohong, Kota Pekalongan memang penuh dengan stok manusia-manusia kreatif. Apalagi mereka-mereka yang duduk di pemerintahan daerah.
Saya akan bedah satu per satu. Bagaimana Pemkot Pekalongan sudah mulai berlari menuju peradaban 4.0, 5.0, atau bahkan selangkah lagi 6.0.
Kota Pekalongan punya semua syarat untuk menjadi kota yang paling inovatif, sekaligus paling cocok untuk menjadi tempat berdirinya Bukit Algoritma versi kearifan lokal. Saya akan mulai dari problem rob. Kemarin kan ramai tuh, bahwa beberapa daerah di Pantura bakal tenggelam, entah dua hari lagi atau beberapa tahun ke depan.
Nah, pesisir Kota Pekalongan termasuk menjadi daerah yang diprediksi tenggelam. Dan kalau itu terjadi berarti saya akan tinggal di terumbu karang. Well, kata para peneliti, hal itu didasari karena penurunan muka tanah di pesisir cukup signifikan. Konon sampai 15 cm pertahun.
BACA JUGA: 2036 Kota Pekalongan Terancam Tenggelam, Tapi Kita Nggak Tahu Harus Apa
Nah, buat nyiasatin bencana yang mungkin setara dengan banjir di zaman Nabi Nuh, Pemkot mendapat suntikan dana untuk menanggulangi krisis iklim. Etapi, saya nggak mau bahas dana itu, ah. Toh saya nggak dapet bagian juga, lha buat apa?
Namun, sebagai orang yang sering lewat depan rumahnya Pak Aaf, saya rasa, saya perlu menyampaikan apa yang sudah dilakukan Pemkot untuk mencegah penurunan tanah. Menghentikan sumur bor? Menutup hotel? Membatasi operasional restoran? Ah, bukan. Tapi bikin patok di beberapa tempat untuk mengetahui seberapa tinggi penurunan muka tanah.
Memasang patok ini ide yang sangat brilian. Disaat sudah ada hasil penelitian dan tinggal dipake, tapi pemerintah masih saja memasang patok buat memastikan ketinggian penurunan tanah. Seolah nggak percaya sama hasil penelitan. Eh, gitu nggak, sih?
Tapi menurut saya fine-fine saja, sih. Toh memang penurunan muka tanah mesti dibuktikan dengan terang dan tentu saja pakai teknologi. Memasang patok yang bisa mengetahui naik turunnya permukaan tanah dengan tepat, kurang 4.0 gimana coba?
Lihatlah! Bukit Algoritma di Sukabumi saja belum selesai. Tapi Pemkot Pekalongan sudah bikin inovasi yang setara dengan teknologi mutakhir abad ini. Itu satu.
Lalu, kita mesti ingat kalau Kota Pekalongan dijuluki Smartcity, sampai dapat piagam dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) segala. Itu bukan penghargaan yang kaleng-kaleng. Penghargaan yang lebih dulu didapat Kota Pekalongan bahkan sebelum wacana Bukit Algoritma ala Budiman Sudjatmiko tercetus. Walaupun–ini jangan bilang-bilang ke orang lain ya–aplikasi Pekalongan Smart City agak susah digunakan.
Pergantian walikota tidak lantas membuat perkembangan teknologi di Kota Batik mengendur. Malah makin berinisiatif dan susah ditebak. Muncul semacam teknologi hotline tapi menggunakan WhatsApp. Namanya Wadul Aladin. Manfaatnya untuk menampung keluhan dari para warga Kota Batik. Nggak usah tanya apakah keluhannya ditanggepi atau tidak. Plis!
BACA JUGA: Kanal Wadul Aladin dan Aplikasi Pekalongan Smart City yang Mbuh
Belum selesai dengan Wadul Aladin, Pemkot mengembangkan teknologi lain lagi. Kali ini di bidang kesehatan, utamanya untuk kondisi kegawatdaruratan. Pemkot Pekalongan bakal merancang aplikasi Tombol Panik Kegawatdaruratan berbasis android.
“Aplikasi ini merupakan inovasi layanan publik berupa aplikasi berbasis android untuk memudahkan dan mempercepat masyarakat mendapatkan layanan ambulans sampai ke rumah sakit terdekat agar segera tertangani,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Budiyanto seperti dikutip Antara.
Yap, benar syekali! Jadi nanti ada tiga inovasi aplikasi: Pekalongan Smart City, WhatsApp Wadul Aladin, dan Tombol Panik Kegawatdaruratan. Harap antum nggak usah protes, “Kok nggak jadi satu saja?”. Yang namanya berinovasi itu ya harus banyak. Kalau cuma bikin satu aplikasi dan semuanya terintegrasi namanya nggak kreatif, dong!
Masa banyak orang cerdas cuma bisa bikin satu aplikasi yang mencangkup semua? Kan nggak. Lihat noh e-KTP, fungsinya ya cuma buat menuhin dompet doang. Mau apa-apa ya harus difotokopi, termasuk buat vaksin. Soalnya kan sudah dibikin teknologi lain lagi buat pendataan vaksin.
Tentu daripada sekadar mengandalkan website pelayanan kesehatan yang dari Kemenkes langsung, Pemkot sepuluh langkah lebih maju dengan aplikasi Tombol Panik Kegawatdaruratan. Apalagi kalau ingatan saya tidak berkhianat, data di pusat dan daerah kan sering nggak sinkron. Nah makanya, butuh satu lagi aplikasi buat mengaver urusan kegawatdaruratan.
Aplikasi-aplikasi tersebut punya manfaatnya masing-masing, jadi nggak bisa dong dijadikan satu. Intinya sih, semua aplikasi itu untuk memudahkan segala urusan. Apalagi hari ini dilakukan lewat digital. Persetan sama orang-orang tua yang nggak bisa pakai aplikasi.
Saya pikir banyaknya aplikasi yang dibuat Pemkot ini untuk menyindir pemerintah pusat. Betapa hebatnya pemerintah di daerah pesisir. Sudah mau tenggelam tapi masih bisa bikin lebih dari satu aplikasi. Nggak usah nunggu Bukit Algoritma di Sukabumi jadi, untuk sekadar bikin laiknya lembah Silicon Valley, Kota Pekalongan bisalah.
BACA JUGA: Soal Membangun Area Wisata, Kota Lain Perlu Belajar dari Pemkot Pekalongan
Saya usul, Pemkot Pekalongan coba deh inisiatif bikin Bukit Algoritma. Namai saja Bukit Algoritma Van Pekalongan. Wah, asyik banget kayaknya tuh. Bisa jadi wadah orang-orang kreatif dan inovatif di bidang teknologi buat bikin aplikasi-aplikasi yang nggak mutu lainnya.
Soal tempat nggak usah khawatir. Nggak perlu meminjam dataran tinggi Dieng atau daerah Kabupaten Pekalongan segala. Kota Pekalongan kan punya dataran tinggi sendiri. Coba cari di Google “gunung degayu Pekalongan”. Itu tempat strategis buat bikin Bukit Algoritma. Toh gunungnya nggak aktif mengeluarkan magma kok.