KOTOMONO.CO – Nama Dewi “Dee” Lestari barangkali sudah tidak asing lagi bagi penggemar buku di seantero Indonesia. Selain melahirkan novel dan prosa pendek yang sukses besar seperti Perahu Kertas, Filosofi Kopi, dan Madre, Dee—demikian nama penanya—juga menulis lagu dan pernah berkarir dalam belantara musik tanah air. Februari lalu, ia merilis karya terbarunya bertajuk “Rapijali”, yang membahas tentang tokoh bernama Ping dan dunia di sekelilingnya.
Jujur, saat pertama kali membaca blurb di balik novel serial itu, saya sempat curiga saya akan mendapat feel yang sama dengan pengalaman membaca Perahu Kertas. Tokoh utama perempuan, latar Jakarta, dan pergelutan cinta yang rumit, begitulah perkiraan saya pada awalnya.
Namun, saya salah. Alih-alih berfokus pada romantisme tokoh utama, Dee sepertinya ingin menggiring kita menuju dunia yang sudah ia geluti bertahun-tahun sebelum ia terjun ke dunia literasi: musik. Dari sinilah, saya pelan-pelan berusaha memahami, bagaimana karya Dee bisa begitu istimewa dan menempatkannya menjadi salah satu penulis terkemuka di Indonesia.
Saya sudah membaca hampir semua buku Dee. Mulai dari serial Supernova, sampai Aroma Karsa yang pada tahun 2018 silam menyabet penghargaan Book of The Year dari IKAPI. Satu hal yang bisa saya simpulkan, sekalipun tema dalam karya-karya Dee tidak familiar bagi kita, ia bisa memikat pembaca untuk tetap tidak beranjak dari bukunya. Semua itu ditopang oleh banyak faktor; narasi, unsur drama, dan satu hal yang menjadi ciri khas Dee dalam karyanya, riset.
BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?
Ambil contoh Aroma Karsa. Dee menyatakan butuh waktu dua tahun baginya untuk riset perihal aroma, parfum, dan memetakan cerita antara Jati Wesi dan Raras Prayagung. Apakah riset yang dimaksud sekadar berselancar di internet dan membaca artikel dari sebuah situs? Oh, tentu tidak.
Dee berkunjung langsung ke TPU Bantar Gebang, mewawancarai juru kunci, mendaki Gunung Lawu, bahkan mengikuti kursus singkat membuat parfum. Hasil dari kematangan riset itulah yang membuat cerita Dee terasa menggugah, bahkan sekalipun pembaca tidak begitu familiar dengan tema yang diangkat.
Membaca novel Dee terasa seperti mendengar teman dekat kita bercerita tentang passion-nya yang sama sekali tidak kita pahami, tapi kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja karena ia terlihat sangat bergairah, dan itu, pada akhirnya, membuat kita ikut terisap.
Saya harus akui, saya sungguh gelap soal istilah-istilah parfum, saraf indera penciuman, dan nama-nama latin dari suatu tanaman yang disebut Dee dalam Aroma Karsa. Namun, apakah saya berhenti membaca? Tidak. Saya bahkan menamatkan novel setebal 700-an halaman itu hanya dalam hitungan hari.
BACA JUGA: Nonton Film Flipped Berasa Baca Novelnya
Kasus yang sama terjadi dalam Rapijali yang bertemakan musik. Apakah saya familiar dengan Chopin, karya-karyanya, serta segala istilah-istilah muskil tentang musik yang bertebaran di hampir tiap lembarnya? Tidak.
Pertanyaan kedua, apakah saya berhenti membaca karena itu? Tidak. Istilah-itilah musik yang asing bagi pembaca awam macam saya tidak lantas membuat saya menutup buku, melainkan justru semakin larut di dalamnya. Mengapa?
Mari mulai dari tokoh. Sepanjang ingatan saya, inilah novel dengan deretan tokoh pendukung paling banyak yang pernah saya baca. Umumnya penulis akan menghindari kehadiran tokoh yang terlalu banyak, karena selain akan menambah kompleksitas cerita, hal ini berisiko membuat pembaca bingung.
Beberapa karya penulis kawakan yang telah saya baca biasanya hanya akan membatasi tokoh pendukung antara tiga sampai lima. Pertanyaan selanjutnya pun mencuat, berapakah toko pendukung di Rapijali? Banyak, amat banyak.
Saya tidak ingat jumlah persisnya, tapi saya yakin jumlah keseluruhan tokoh pendukung (tanpa menghitung tokoh utama) ada lebih dari sepuluh. Mulai dari politisi, istrinya, anaknya, wakilnya, kakek tokoh utama, anggota band dari kakek tokoh utama, teman-teman tokoh utama, bahkan sampai orang tua dari tokoh pendukung juga diberi ruang untuk unjuk gigi.
BACA JUGA: Penyebab Rusak Sebuah Hubungan, Bukan Orang Lain, Tetapi Diri Sendiri
Dengan pemain pendukung sebanyak itu, butuh kecerdasan menyusun narasi agar pembaca tidak larut dalam penjelasan yang kurang penting, dan setia pada langkah cerita. Beruntung, Dee bisa melakukan itu dengan baik. Deskripsi fisiologi, psikologi, dan sosiologi tokoh pendukung ia paparkan dengan pendek dan cepat, tetapi renyah dan asyik dibaca karena seringkali dibumbui humor atau unsur drama.
Selanjutnya dari segi cerita. Jujur saja, saya rasa di zaman sekarang kita bisa menemukan banyak cerita dengan premis yang sebelas-dua belas dengan Rapijali. Anak muda, sekolah, musik, terdengar mainstream, bukan? Sekilas pandang, Rapijali memang terlihat seperti cerita coming of age yang banyak ditemui di aplikasi literasi daring di gawai kita.
Apa yang membuatnya berdiri dengan tegak dan mantap adalah kejujurannya dalam bertutur. Sebagaimana genrenya, Rapijali menitikberatkan pada perkembangan karakter utama bernama Ping dalam menghadapi masa depan. Ping mempunyai kemampuan pendengaran fantastis yang masyhur disebut pitch perfect, kemampuan yang juga ada pada musisi pelantun See You Again dan Attention asal New Jersey, Charlie Puth.
Pendengaran saya tentu jauh langit jauh bumi dari kemampuan Ping, tetapi sebagai orang yang menekuni dunia penulisan kreatif selama lebih dari enam tahun, saya bisa merasakan kegelisahan yang sama dengan Ping; akankah seniman seperti kita bisa hidup tenteram dan tak berkekurangan?
Dengan iklim pembajakan buku yang seolah telah dianggap wajar dan penyusutan minat massa terhadap musik lokal yang salah satunya dipengaruhi invasi gila-gilaan industri K-Pop di Indonesia, jujur saja itu sebuah pertanyaan yang krusial sekaligus memprihatinkan.
BACA JUGA: Sastra Poshumanistik, Sastra Futuristik
Dalam pandangan saya, Dee memotret kegelisahan itu dengan amat rapi, dan sebelum saya menyadarinya, saya sudah menemukan diri saya merasakan koneksi dengan Ping.
Terakhir, dan ini bagian yang menurut saya paling menarik, adalah semangat kreatif yang ditiupkan Rapijali lewat segenap tokoh-tokohnya. Melalui Rapijali, Dee seperti mengajak kita menuju—meminjam perkataan Rakai—dapur tempat ia biasa memilih dan memilah diksi, dan bukan ruang makannya di mana novelnya berjejer rapi.
Di dapur, segala hal mentah dimaklumi dan bisa dieksplorasi sesuka hati sebelum dihidangkan di meja makan untuk dinikmati orang banyak.
Disadari atau tidak, masih sedikit dari kita yang menyadari bahwa dapur seorang musisi dan penulis bisa jadi amat berantakan dan amburadul, demi sebuah buku atau sebait lagu yang ia persembahkan untuk massa di meja makan.
Terlepas dari kepiawaian Dee merangkai cerita dan menyusun alur yang mengikat pembaca, saya rasa semangat kreatif itulah yang membuat Rapijali spesial.
Wabakdu, tidak ada gading yang tak retak. Ya, saya tidak bilang bahwa Rapijali benar-benar sempurna. Selain cerita yang belum solid mengingat Rapijali adalah serial, saya menemukan segelintir kesalahan pengetikan yang sempat membuat berhenti membaca sejenak.
Namun, dengan semua hal yang telah saya sebutkan di atas, tentu saja hal itu bisa dengan mudah dimaafkan. Rapijali sudah tersedia di toko-toko buku daring dan luring kesayangan Anda, mari dukung penulis dengan membeli produk asli, bukan buku bajakan. Selamat membaca, dan selamat mengelana dalam dunia Ping!