KOTOMONO.CO – Hidup di zaman modern memang banyak aspek yang diperlukan, tetapi tidak semuanya bisa dipatahkan dengan materi. Di dunia serba teknologi dan banyak inovasi terkait dengan gaya hidup tidak semena-mena mengubah manusia untuk mengikutinya. Manusia tidak diciptakan untuk mengikuti seperti hewan ternak yang disistem menjadi objek laba-rugi.
Modernisasi memang perlu, tetapi tidak untuk membunuh. Dalam arti, kita sebagai manusia memiliki daya dinamis melalui observasi lewat akal dan kepekaan terhadap diri sendiri dengan nurani. Kita memerlukan banyak hal untuk hidup, namun ada saatnya kita sejenak meliburkan diri dari perihal yang tidak bisa memajukan diri kita. Sebagai contoh, lingkungan yang tidak mendukung potensi diri.
Lingkungan yang baik akan mengembangkan potensi diri dengan baik. Pepatah menarik entah dari siapa, kita pun setuju. Potensi diri yang sudah mengakar di diri kita, perlu ditumbuhkan secara optimal. Lagi-lagi, sistematikanya keliru dan malah mematikan, dalam artian kita seakan-akan termakan obsesi, sterotip yang salah, omongan dan komentar serta informasi yang membuat kita semakin gerah dan malah mati kreativitas kita.
Maksudnya, ketika kita hidup di dunia modern, kita mudah sekali untuk patah hati dan patah pikiran. Penyebabnya adalah terlalu memakan banyak waktu untuk serang komentar, balas-balasan mention dan DM, bahkan parahnya berujung pada dunia nyata. Hal ini yang perlu dicover agar manusia memiliki tameng untuk membatasi potensi amarah yang berlebih seperti pada kasus yang berawal dari media sosial.
Kita tidak tahu kenapa hal itu terjadi, biasanya kita hanya berasumsi secara sepihak. Sementara pelaku dan korban seperti tokoh dalam cerita yang harus mendapat cap baik dan buruk sesuai ekspektasi, ini yang lebih parah! Mengapa manusia mudah sekali berasumsi tanpa mengetahui secara mendalam, hingga menyebabkan penyakit modern seperti insecure, baper, self-claimed to be right, playing victim bahkan sampai pura-pura.
BACA JUGA: Apa Salahnya Berfilsafat?
Hal ini membahayakan sekali ketika ada seseorang yang benar-benar menjadi korban dan akhirnya para masyarakat digital terlalu berasumsi bahwa itu politik medsos. Diantaranya panjat sosial, cari perhatian, bermain drama, dan banyak lagi asumsi dan penyakit yang dihasilkan dari media sosial. Parah dan miris! Padahal tidak semuanya harus dibela berlebihan dan disalahkan secara masif dan brutal.
Seakan media sosial ini mendesain penggunanya untuk tidak berperilaku sosial, artinya ada saja problem yang bisa dijadikan bahan penelitian psikologis. Heuheuheu. Tetapi, bukan itu poin yang ingin diobrolkan secara bersama. Kita coba menyadari bahwa di luar sana masih banyak yang perlu diperhatikan dibanding postingan di linimasa media sosial kita.
Banyak Yang Patah Tak Bisa Kembali Hidup
Rasa manusiawi kita semakin terkikis. Manusia mementingkan banyak hal untuk memberi makan egonya, bahkan libido akan hal-hal yang bersifat ingin dipandang menyerang nuraninya. Kita sering melihat banyak yang sakit hati diserang di media sosial atau dari lingkungannya hanya karena melihat dengan sekilas di media.
Kita juga tak bisa menyebut media itu jahat atau tidak sebaik pelukan ibu, tetapi perasaan dan pikiran perlu disucikan ketika melihat situasi seperti ini. Misalnya penghujatan yang tiada habisnya yang sering ditampilkan demi kepuasan batin. Hal ini perlu dilakukan seperti berbuat baik memerlukan dorongan yang besar dibandingkan kejahatan tersebut atau meng-cover sifat buruk yang seringkali menghasut kita.
Kita bandingkan cara kita mendapatkan perlakuan seperti itu, mendapat bullying atau sekedar dibenci secara tatapan mata itu sudah tidak mengenakkan hati. Obatnya adalah kita tidak seharusnya melakukan kepada orang lain bukan dengan cara membalas pesakitan kita kepada orang lain, atau istilahnya tumpang tindih lepas tangan. Yang perlu kita lakukan adalah berdamai dan membagikan rasa manusiawi, sebab kita pun tak mau terkena dampak negatif dalam kehidupan ini hingga sebaiknya berbenah diri untuk memberi kenyamanan pada manusia lainnya.
Hal ini bukan hanya tentang patah hati sebab diserang penyakit dari media sosial, ada perihal lain yang bisa saja membuat kita tak enak hati bahkan terluka, tetapi kita juga perlu memberikan perasaan halus dan friendly sebagai manusia yang solutif.
Karena permasalahan ini sangat serius dampaknya dan akan sangat mengerikan bila tidak dicover oleh kita hari ini. Mulai hari ini, kita perlu menyadari dan berdamai dengan patah oleh penyakit medsos, marilah menjadi manusia utuh untuk menumbuhkan banyak orang. Jangan sampai penyakit ini menjadi wabah yang memperkeruh suasana apalagi sampai mengotori citra negeri ini.
Mulai dari mencintai diri sendiri, memahami sifat manusia bisa dari referensi digital atau sekedar obrolan singkat. Kemudian mencoba mengaplikasikan dalam bentuk kepedulian dan rasa sosial yang tinggi, karena kita tak tahu akan bagaimana rasanya bila manusia terus mengobarkan kebencian dan angkara murka, kita tak tahu juga akibatnya bila kejahatan terus dimerdekakan.
Terkadang sudah seharusnya menjadi manusia utuh di dunia fana ini. Sepertinya perlu ada dorongan untuk tidak selalu mengedepankan ego dan amarah untuk mematahkan banyak orang, justru perlu memperbanyak kasih sayang yang dibutuhkan. Seperti cinta kepada sang kekasih, semua manusia membutuhkannya untuk terus tumbuh secara matang.
Kasih sayang tidak harus berbentuk lembut dan lentik tangan melingkar sebagai pelipur lara, atau sekedar rangkulan untuk penenang, namun dalam ucapan dan tindakan pun memerlukan aspek kasih sayang. Kita terlalu hidup dengan kefanaan yang digali secara masif sampai melupakan ada orang-orang yang membutuhkan waktu, perjuangan, kasih sayang dan atensi yang sangat penting untuk pertumbuhan manusia.
Dinamika Kehidupan Masa Kini Menampilkan Dramatis dan Penuh Solusi
Kita sebagai manusia yang memiliki tingkat solutif yang tinggi seyogyanya memaksimalkan daya peka yang bagus ketika melihat problem. Kita seperti memiliki jatah tanggungjawab yang wajib dilakukan, yakni mengasihi banyak orang. Tapi selektif juga diperlukan, jangan sampai bablas apalagi terlalu berharap.
BACA JUGA: Panduan Menyikapi Pendudukan Israel atas Palestina
Kita juga tak bisa berlebihan untuk saling mengasihi, adakalanya kita membuat kode agar mereka tahu dan paham akan kebaikan kita, kita perlu melatih untuk tidak mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih, kayak los aja deh ngelakuinnya.
Adapula masa untuk saling berbagi kenyamanan tetapi kita perlu membuat batasan karena kita juga butuh. Semisal kita tidak mendapatkan feedback, minimal kita mendapat manfaat karena mereka jadi tahu. Semisal kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka artinya kita berhasil. Namun, perlu diingat; semua yang kita berikan sepantasnya menjadi hak mereka untuk memilih. Jadi, menumbuhkan rasa tidak harus dipaksa, ya.
Bersikap realistis untuk berbuat baik juga perlu, karena kita jadi tahu mana saja yang masih membutuhkan atau cukupkan. Bersikap dinamis dalam menyelesaikan problem juga sangat dibutuhkan karena dampaknya akan sangat asyik oleh penderita dan kita menjadi orang yang banyak belajar. Jadi, cobalah untuk menerima banyak hal dalam kehidupan ini.
Sudah seharusnya kita bergerak untuk meng-cover hal buruk ini. Saatnya yang patah teruslah tumbuh dengan semangat hidup yang dimotivasi oleh banyak orang, panjang umurlah hal-hal baik dalam hidup kita. Mari saling kasih sayang!