KOTOMONO.CO – Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini begitu kaya akan nilai-nilai yang kontroversial. Melalui novel ini sang penulis membawa isu feminisme yang memaparkan kehidupan perempuan Bali dan permasalahannya.
Melalui novel ini juga, pembaca dapat melihat sisi lain dari budaya Bali yang tidak adil terhadap perempuan. Penulis mengemas setiap konflik dalam cerita dengan permainan alur campuran yang berlapis-lapis dengan tokoh-tokoh yang berbeda di setiap cerita untuk menyampaikan pesan feminismenya. Ketiga tokoh yang dipakai Oka Rusmini berasal dari tiga generasi yang berbeda sehingga menghasilkan keberagaman masalah dari beberapa latar waktu yang berbeda.
Isu feminisme yang diusung banyak menggambarkan kebencian penulis terhadap kaum laki-laki. Kebencian terhadap laki-laki sangat terlihat dalam penggambaran semua tokoh laki-laki dalam novel ini. Laki-laki digambarkan sebagai laki-laki yang kurang baik perilakunya seperti tokoh Ida Bagus Ngurah Pidada yang suka tidur bersama pelacur dan meniduri kedua adik Kenanga yaitu Kerta dan Kerti.
Kebencian terhadap laki-laki juga sangat terlihat dalam beberapa potongan novel yang begitu terkenal: “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh…. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (hal. 25).
Terlihat jelas dari Frasa “menyusui laki-laki”, Oka Rusmini ingin memberitahu bahwa peran perempuan lebih dari seorang laki-laki. Namun jika kita melihat lebih dalam konteks novel ini, penggunaan frasa menyusui laki-laki lebih mengarah pada makna yang lain yaitu peran. Peran perempuan yang menyusui laki-laki secara leksikal dapat bermakna perempuan yang mandiri dalam menghidupi keluarganya. Namun Apabila ditelisik lebih dalam lagi teks-teks sebelum teks ini, kita dapat menemukan makna berkonotasi penghinaan dari frasa ini.
BACA JUGA: Mencuri Raden Saleh, Ketika Lukisan Menjadi Inspirasi Perlawanan
Penghinaan ini tentu ditujuakan kepada laki-laki. Pada teks sebelumnya penulis menggambarkan tokoh Ngurah Pidada yang jorok dan vulgar (hal. 24). Oleh karena itu, frasa “menyusui laki-laki” dapat mengarah pada makna kebiasaan laki-laki yang hanya berpikir mengenai hasrat seksual. Terlepas dari dua makna yang berbeda dari frasa ini, Oka Rusmini ingin menyampaikan sebuah makna yang mendalam yaitu keinginan agar perempuan disetarakan dengan laki-laki karena perempuan itu yang memberi hidup (menyusui) hidup itu sendiri (laki-laki).
Isu feminisme dalam novel ini juga dikemas dalam beberapa bagian novel yang memuat isu kekerasan seksual yang digambarkan dengan gamblang dan vulgar. Beberapa bagain novel ini melukiskan kondisi perempuan yang hanya dianggap sebagai objek seksual. Bagian novel yang menceritakan ketika tokoh Luh Sekar yang tidak dapat berbuat apa-apa saat bagian tubuhnya dilecehkan oleh seorang Ngurah Pidada (hal.24) menjadi bukti bahwa perempuan kerap kali hanya menjadi objek seksual karena kebejatan laki-laki.
Bagian novel yang bermuatan vulgar ini juga menggambarkan dua sisi berbeda yang akan disampaikan penulis. Di satu sisi, penulis ingin menyampaikan betapa didiskriminasinya perempuan karena tubuh dan ketidakberdayaan mereka, namun di sisi lain penulis ingin menyampaikan bahwa laki-laki hanyalah makhluk yang berorientasi kepada seksual. Laki-laki hanya dapat ditaklukan lewat seksual dan orientasi seksual itu adalah perempuan.
BACA JUGA: Tentang Sosok Kinan, Si Wanita Tangguh dari Novel Laut Bercerita
Perempuan akan terlihat lebih kuat dalam hal ini karena perempuan lebih hebat dalam menguasai hasrat seksual walaupun perempuan lebih sering menjadi korban. Sikap Sekar yang tidak berteriak ketika tubuhnya dicengkram oleh Ngurah Pidada (hal.24) jelas membuktikannya.
Selain melalui kemampuan dalam menguasai hasrat seksual, Oka Rusmina juga ingin menyampaikan kekuatan perempuan dalam sistem strata sosial masyarakat Bali. Dalam novel ini digambarkan bahwa perempuan begitu mudah untuk berpindah kasta walaupun dibalik itu, ada akibat yang harus ditanggung.
Tokoh Sagra, Sekar, dan Telaga begitu mudah untuk naik kasta dari sudra menjadi brahmana hanya dengan menjual kemolekan tubuh dan kecantikan mereka kepada laki-laki brahmana. Hal yang sulit dilakukan oleh kaum laki-laki pada waktu itu.
Di samping itu, kebencian penulis terhadap laki-laki juga dikemas dalam isu lain yang lebih ekstrim yaitu LGBT. Oka Rusmini mengambarkan tokoh Luh Sekar disukai seorang Luh Kenten karena kemolekan tubuh seorang Luh Sekar. Alasan seorang Luh Kenten menyukai sesama jenisnya sebagai akibat dari kekecewaan seorang Luh Kenten terhadap laki-laki.
BACA JUGA: Menambah Wawasan Tentang Islam Dengan Buku Journey To The Light
Di halaman 34 yang memuat percakapan antara Luh Kenten dan Luh sekar begitu jelas menjabarkan alasan seorang Luh Kenten terhadap laki-laki. Secara tidak langsung, penulis ingin memaparkan kepada pembaca bahwa akibat dari kebencian terhadap laki-laki bagi perempuan adalah penolakan terhadap natur diri perempuan itu sendiri.
Isu feminisme yang berdasar pada kebencian pada kaum laki-laki ini sangat berhubungan erat dengan latar belakang penulis. Pendekatan Ekspresif terhadap novel ini bisa membuktikannya. Pendekatan Ekspresif sendiri menurut M.H Abrams adalah pendekatan yang melihat karya sastra sebagai curahan, ucapan dan hasil pemikiran berdasarkan perasaan pengarang (Rokhmansyah, 2014).
Oka Rusmini terlahir dalam keluarga yang broken home yang diakibatkan sang ayah yang menikah lagi. Kepahitan masa kecil inilah yang mungkin menjadi penyebab Oka Rusmini benci terhadap laki-laki. Kebencian ini yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap tulisan-tulisan seorang Oka Rusmini yang kebanyakan membenci laki-laki.
BACA JUGA: Janji Bukan Sekedar Janji dari Novel Terbaru Tere Liye
Novel ini membukakan mata kita mengenai perjuangan perempuan untuk hak kesetaraannya. Walaupun penyampaiannya dikemas dalam isu LGBT dan kekerasan seksual yang digambarkan degan vulgar, namun novel ini tetap menarik untuk dibaca karena kekayaan sudut pandang dalam interpretasi.
Pembaca dibawa penulis untuk melihat dari sisi lain penindasan yang dialami perempuan. Lewat penindasan, Oka Rusmini mengemukakan kekuatan dari perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Kekuatan dalam penindasan inilah yang menjadi senjata utama dari seorang Oka Rusmini untuk menyuarakan kesetaraan.