KOTOMONO.CO – Sepak bola bukan lagi sekedar permainan, tetapi soal kehidupan dan juga perlawanan. Mungkin itu sedikit gambaran dari Film The Match (2021) ini.
Ketika Nazi Jerman berkuasa di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, segala sesuatu yang berbau pemberontakan, perlawanan, serta orang-orang yang berbeda keyakinan seperti kaum Yahudi tidak lepas dari yang namanya kekejaman dan kebiadaban. Banyak dari mereka yang melawan dan berakhir mengenaskan di kamp-kamp konsentrasi. Hal itu tak lain dilakukan untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih mengunggulkan bangsa Arya dari bangsa-bangsa lainnya.
Di tengah gejolak yang sedemikian kelam, tak jarang dari para oposisi yang muak dengan sikap Hitler melakukan perlawanan untuk menghabisinya. Ada dari mereka yang melakukan perlawanan dengan terang-terangan maupun dengan cara yang halus tetapi mampu mempermalukan pihak Nazi.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam film berjudul “The Match” tahun 2021 ini. Dengan genre drama sejarah olahraga yang disutradarai oleh Dominik dan Jakov Sedlar. Dan dibintangi oleh Franco Nero, Armand Assante, dan Caspar Philipson sepertinya layak untuk ditonton penikmat bola dan pecinta sejarah.
Sinopsis Film The Match (2021)
Film ini berdasarkan kisah nyata yang berlatar belakang di masa pendudukan Nazi Jerman di Hongaria pada tahun 1943. Pada tahun 1936, tim Jerman pernah kalah melawan Hongaria dalam sebuah pertandingan persahabatan dan sampai saat itu pertandingan tersebut masih membekas di dalam kenangan kedua belah pihak. Tim Hongaria bersama bintangnya Laszlo Horvath yang masih merasakan kemenangan dan tim Jerman yang masih sedih karena mengalami kekalahan.
BACA JUGA: Dorama Silent (2022), Drama Bagus dengan Premis Menarik, Tapi Nanggung
Di sebuah restoran ketika Laszlo bersama kawan-kawannya datang berkunjung. Orang Hongaria masih menyambut layaknya pahlawan. Sebuah insiden kemudian terjadi ketika perwira Nazi menantang Laszlo Horvarth untuk duel juggling. Tantangan ini kemudian disanggupi oleh Laszlo. Tetapi sudah bisa diduga bahwa sang perwira kalah dalam tantangan juggling tersebut. Maka tanpa basa-basi Laszlo pun kemudian dipukuli dan di bawa ke kamp konsentrasi Nazi Jerman.
Di dalam kamp konsentrasi tanpa sengaja Laszlo bertemu dengan seorang kolonel bernama Franz. Sang kolonel ternyata kenal siapa sesungguhnya sosok Laszlo Horvarth. Maka dengan sikap hangat sang kolonel kemudian mengajak Laszlo untuk bertemu di kantornya. Di dalam kantor, kolonel Franz mengajak Laszlo untuk bertanding sepak bola melawan tim Jerman dari pihak Nazi untuk memeriahkan hari ulang tahun Adolf Hitler.
Sesampainya di kamp, Laszlo kemudian menceritakan niatan kolonel Franz untuk membentuk tim sepak bola untuk melawan tim Jerman bentukan Nazi. Dengan antusias para tawanan ini kemudian menyetujui niatan dari sang kolonel. Maka dengan segera Laszlo kemudian meminta izin untuk merekrut pemain dari beberapa kamp tawanan. Laszlo pun kemudian mulai memilih para pemain dan melatihnya. Dalam melatih para tawanan yang mayoritas tidak jago dalam bermain sepak bola, Laszlo mengajarinya strategi ‘parkir bus’. Membiarkan tim Nazi Jerman menggempur mereka untuk kemudian berharap dari hasil counter attack.
BACA JUGA: Blonde, Biopik Marilyn Monroe yang Dinilai Mengeksploitasi Trauma sang Aktris
Berhari-hari tim tawanan berlatih dengan seadanya, makin keras perlakukan pihak Nazi terhadap mereka. Ternyata malah semakin membuat mereka kompak merasa senasib sepenanggungan. Rasa lapar yang mereka rasakan, bukan lagi sekedar rasa lapar karena kurang asupan gizi. Melainkan rasa lapar akan kebebasan dan harga diri.
Keesokan harinya para tawanan dijemput oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh kolonel Franz. Rombongan kemudian tiba di stadion dan disambut oleh dua pesawat udara yang ikut meramaikan suasana. Di dalam ruangan ganti Laszlo memberikan kata-kata motivasi untuk membakar semangat para timnya. Para tawanan kemudian memasuki lapangan dan disambut cemoohan para tentara Nazi. Pada babak pertama tim Nazi Jerman bermain dengan percaya diri yang tinggi, dan tim Hongaria bermain sesuai yang telah direncanakan, yakni bermain dengan strategi ‘parkir bus’.
Meski bermain dengan percaya diri, nyatanya sepanjang babak pertama tim Nazi Jerman belum bisa menghasilkan sebuah gol. Kolonel Franz furstasi melihat timnya yang “amburadul”, di akhir babak pertama itu, Laszlo dengan kemampuan skill yang baik justru mampu menciptakan gol bagi tim Hongaria. Tak terima tim Nazi di permalukan, kolonel Franz kemudian mendatangi Laszlo dan kawan-kawan untuk melakukan negosiasi. Dalam negosiasi itu kolonel Franz meminta agar tim Hongaria bersedia untuk mengalah dan akan menjamin kebebasan jika tim Hongaria bersedia untuk kalah.
BACA JUGA: 4 Pelajaran yang Bisa Dipetik Dari Film Miracle In Cell No. 7
Alih-alih, menerima kesepakatan untuk mengalah Laszlo dan kawan-kawan justru mengungkapkan bahwa ini bukan lagi sekedar pertandingan sepak bola tetapi sudah terkait masalah kehidupan. Tim Hongaria pun kemudian bermain dengan sangat aggresif, alih-alih bertahan seperti pada babak pertama. Tim Hongaria kemudian mampu mengalahkan tim Nazi Jerman dengan skor 3-2. Bagi para tawanan harga diri lebih dari segalanya, melebihi janji manis yang keluar dari mulut pimpinan Nazi. Selesai pertandingan, tak lama kemudian terdengar suara senjata yang menandakan bahwa tim Hongaria telah tewas di bunuh oleh pihak Nazi Jerman.
Sepak Bola dan Perlawanan
Dalam sejarah perjalanannya, sepak bola memang telah menjelma sebagai sebuah “ritual” sosio kultur baru untuk menunjukkan jati diri, semangat perlawanan, dan bahkan aroma dendam. Dalam film The Match tahun 2021 ini, sepak bola bukan lagi dilihat sebagai pertandingan menang dan kalah biasa, melainkan sudah masuk pada persoalan harga diri dan kehidupan dari orang-orang yang merindukan kebebasan.
Kenyataan ini juga yang digambarkan oleh R.N Bayu Aji di dalam bukunya berjudul, “Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia”. Menurutnya sepak bola bukan lagi sekedar permainan tetapi sudah merupakan simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.
BACA JUGA: Film 21 Bridges (2019) ini Semacam Gambaran Ironi di Balik Penegakan Hukum
Apa yang dilakukan oleh Laszlo Horvath bersama para tahanan lainnya, persis sebagaimana yang dilakukan oleh Tan Malaka. Terlihat misalnya, ketika Tan Malaka menyamar di daerah Bayah, Banten dengan nama Ilyas Hussein dan bekerja sebagai juru tulis para romusha pada tahun 1943. Tan Malaka atau Ilyas Hussein sering mengadakan kegiatan untuk para romusha dan masyarakat sekitar.
Salah satunya dengan mengadakan pertandingan sepak bola, bukan sekedar pertandingan, bahkan Tan Malaka saat itu sampai membuat tim sepak bola bernama Pantai Selatan. Lewat klub ini Tan Malaka mencoba menggelorakan semangat kemerdekaan para pemuda lewat ajang kejuaraan lokal di sekitar bayah hingga Rangkasbitung.
Yah, meski pada awalnya pertandingan ini dimotori oleh pihak Nazi Jerman, tetapi Laszlo dan kawan-kawannya menggunakan pertandingan ini sebagai kesempatan untuk memperjuangkan harga diri dan kebebasan dari kesewenangan pihak Nazi yang saat itu tengah berkuasa. Begitu pula yang dilakukan Tan Malaka, lewat sepak bola ia menggelorakan kemerdekaan untuk para pekerja romusha.