Sejarah itu hafalan! What?! Kagak salah denger nih? Itu slogan kok kesannya kurang ajar banget sih? Sejarah kok dibilang hafalan. Slogan yang begitu itu yang bikin makna sejarah jadi terdistorsi. Karena mereduksi habis-habisan jalinan peristiwa kemanusiaan yang kompleks lagi penuh hikmah. Juga bisa dianggap mengerdilkan kerja guru yang sudah ngos-ngosan, banting tulang menumbuhkan minat sejarah generasi muda bangsa ini.
Tapi, yuk sejenak kita pura-pura merenung. Atau menjelajah ingatan masa lalu kita saat duduk di sekolah menengah dulu. Lalu, ajukan pertanyaan: apakah sejarah itu mesti dipelajari lewat hafalan?
Rasanya lumrah, mempelajari materi pelajaran sejarah itu dengan menghafal. Menghafal nama peristiwa, tokoh-tokoh (besar) yang terlibat, tahun dan tanggal terjadinya, serta penyebab peristiwa masa lampau itu berlangsung. Tapi, buat apa? Untuk disetor ke guru supaya dapat nilai atau skor. Ya nggak?
Ah, nilai bagaimana pun itu adalah golnya. Nggak yang lain. Padahal, nilai itu cuma menunjukkan kalau murid beneran dapat menghafal puluhan fakta-fakta yang dimuat di buku paket. Bukan soal apakah murid itu menikmati pelajaran sejarah. Bukan itu. Soal itu, soal nomor ke sekian. Nomor paling buncit yang nggak pernah tahu letaknya di sebelah mana.
Jadi, hafalan itu hal yang biasa. Malahan saking lazimnya, menghafal bolehlah dilabeli sebagai salah satu metode yang paling efektif dan termudah bagi guru dalam mengajar. Dengan menghafal, murid sanggup mengerjakan soal-soal ulangan harian; memilih tanggal dan tahun bergulirnya kejadian masa lalu secara tepat, menyebutkan nama dokter yang gugur dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, dan sebagainya. Sementara guru, bisa menyimpan cadangan energi, pikiran, dan waktu mereka untuk urusan lain.
Begitulah. Semoga dengan cara itu para pelajar usia belasan tahun mencintai sejarah bangsa atau daerahnya dengan sepenuh hati. Hmmm?!
Cuma sayang, konon, cara itu membuat murid menganggap pelajaran sejarah itu (selain matematika dan fisika) sebagai momok. Membosankan dan menjemukan. Anggapan itu kemudian menjauhkan cinta mereka, rasa ingin tahu, dan kenikmatan yang mungkin bakal mereka rasakan selama mengikuti pelajaran itu.
Terus, kekeliruan semacam itu—kalau nggak mau dibilang gagal aja sih—apa ya kudu jadi pikulan bagi guru?
Sebagaimana guru mata pelajaran lain, guru sejarah pun pada dirinya sudah menanggung beban pekerjaan administrasi, muatan materi pelajaran terlampau padat yang harus diajarkan sesuai kurikulum nasional, mengajar, menilai hasil belajar anak didik, dan akhirnya melaporkan semua itu pada masyarakat (orangtua atau wali murid) dan pengawas. Di banyak sekolah, dalam sehari guru mengampu banyak kelas, di mana tiap kelas berisi 20 sampai 30-an murid.
Meski begitu, ada juga guru yang nggak terlalu kepatok tuntutan kurikulum. Mereka akhirnya milih topik-topik, di antara topik lainnya, yang punya kedekatan dengan kehidupan murid, atau mempertimbangkan kemudahan dalam penyajiannya yang kemudian hendak disampaikan kepada murid.
Setidaknya, kondisi ini mendorong guru tidak menggunakan metode-metode yang menarik supaya pengajaran sejarah jadi berbeda. Berdalih? Tentu saja. Pilihan atas cara mengajar bukannya tindakan tak disengaja. Sebaliknya, ia dilakukan dengan sadar, dan atas beberapa pertimbangan.
Memang sih, metode pelajaran yang bikin siswa aktif sering kali membuat guru bekerja lebih ekstra. Guru kudu lebih banyak mengamati siswa menyampaikan pendapat, menanggapi opini kawan, dan menyusuri logika murid yang tak cuma asal nyeplos. Guru juga perlu mempelajari langkah-langkah metode belajar, menyiapkan alat atau bahan pendukung, membikin teka-teki, soal-soal misteri atau yang berbau detektif, membuat lembar penilaian yang beda dari biasanya, dan lain sebagainya. Itu semua butuh tenaga, pikiran, dan waktu yang lebih ketimbang umumnya.
Apakah dengan berceramah atau metode yang lebih menarik, itu semua pilihan guru. Pun tidak selamanya metode ceramah itu nggak bakalan bikin murid menikmati pesona sejarah. Metode ceramah, asal disampaikan dengan teknik bercerita yang ciamik dan barangkali disertai boneka atau figur tokoh, bangunan, foto, dan sebangsanya, berpotensi meningkatkan ketertarikan murid terhadap pelajaran itu.
Bagaimanapun, guru dituntut nggak cuma nyampein atau mentransmisi pengetahuan, tetapi juga menuntun murid agar “mengalami” pelajaran itu. Dengan “mengalami”, atau setidak-tidaknya sampai memahami peristiwa itu dengan nalar maupun emosional, murid makin mengenal sejarah seolah ia teman dekat atau pasangan. Sebab, semakin dalam mereka mengenalnya, semakin mudah cinta itu tumbuh.
Terlihat bahwa peran guru sejarah dalam menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap pelajaran itu sangat penting. Sedemikian krusial hingga adagium bahwa sejarah mesti menghafal sangat populer di kalangan pelajar, apalagi itu bertahan sampai mereka berusia dewasa. Karena itu label hafalan yang bersanding dengan sejarah mesti dihapus.
Dini Alan Faza. pengajar di sebuah sekolah yang aktif nulis.