KOTOMONO.CO – Tulisan ini adalah sebuah catatan tahun lalu tentang pagelaran Pekalongan Art Festival yang diadakan pada tanggal 8-12 September tahun 2020.
Kemarin malam, saya bersama dua orang teman mengunjungi pameran seni rupa berupa lukisan, fotografi, dan lainnya yang diadakan dalam acara Pekalongan Art Festival. Dalam perhelatan tersebut, banyak orang datang–dengan protokol kesehatan yang cukup memadai–dan menikmati suguhan seni yang sangat beragam dan menarik untuk dinikmati.
Tidak lupa dalam pameran tersebut juga menjadi “ajang” apresiasi karya, baik melalui penilaian kritik, kesan, bahkan beberapa tertera harga untuk karya seni itu sendiri. Kebetulan sebagai pameran hari pertama, banyak seniman yang masih nangkring dan berbincang dengan sesama seniman lainnya (ya semacam proses kurasi dan penilaian bagi sesama pembuat karya seni).
Dari banyak lukisan yang dipajang, banyak pelbagai jenis dan aliran yang dipamerkan; realis, sureal, karikatur, ekspresionis, dan lainnya. Saya sendiri merasa kagum dengan pameran tersebut karena keawaman saya yang masih belum bisa menyentuh rasa, nilai dasar, dan teknis dalam pembuatan karyanya. Ada karya menyentil dan satire, bahkan beberapa juga terkesan bernuansa kelam dan tragis.
Setelah cukup lama berada dalam acara tersebut, saya menangkap hal unik dan bagi saya cukup lucu. Begini, ketika saya sedang melihat dan sok mengamati karya seni tersebut, ada seorang perempuan yang bergaya dan dapat dikatakan berdandan artsy yang berkata “Lukisan kokie og didol larang” sembari dia melihat deskripsi singkat lukisan yang terdapat harga pada lukisan tersebut kepada pasangannya. Tidak lupa dia mengabadikan momen berfoto bersama beberapa lukisan, fotografi, dan sketsa.
Tentu hal tersebut bagi saya lucu, karena banyak anggapan miring seperti itu yang sering terjadi dan kadang terlalu meremehkan. Tapi tidak apa, bukannya saya sok menggurui dan sok men-judge seperti dandanannya itu. Bisa saja mbak-mbak tersebut ikut ke dalam tren poser untuk memenuhi kebutuhan rekognisinya saja.
Dalam kasus tersebut dapat menjadi cerminan bahwa embel-embel seni hanya berkisar pada nilai jual saja (semoga ini bukan salah kapitalisme hehe). Semakin seni tersebut bersifat superfisial dan mainstream maka seni tersebut semakin luas pasarnya. Pun barangkali jaman sekarang untuk melihat sesuatu berdasar dari unsur komoditasnya, realitasnya diatur hanya sesuai selera pasar saja.
Jadi, ini salah siapa? Ya nggak ada yang bisa disalahkan. Sederhananya, untuk ikut menilai sesuatu kita harus memahami; pergulatan prosesnya sampai pada tahapan apresiasinya.
Seharusnya dalam memandang realitas terdapat kaidah lain, baik sosial, budaya, politik, dst. Tidak melulu tentang sisi ekonomisnya saja. Maka dari itu, perlu adanya sisi edukasi yang dapat diambil untuk menjadikan semacam trivia pengetahuan sebagai pemuas dalam memahami seni tersebut, bukan tidak mungkin setiap seni dapat berfungsi dalam berbagai segmen bidang.
Banksy, Salvador Dali, Andy Warhol atau mungkin Leonardo Da Vinci dalam dunia seni rupa memberikan nilai baru yang lebih dari sekedar nilai ekonomis. Mereka tentu berkarya dengan menyesuaikan kondisi jamannya masing-masing. Seperti Warhol yang mengembangkan pop-art ketika Amerika Serikat sedang mengalami krisis ekonomi maupun Banksy dengan gerakan anonim dan kritik politiknya.
BACA JUGA: Desember, Sebuah Klise Tentang Lagu Galau
Mochtar Lubis pernah mengatakan, bahwa sastra adalah cerminan bagi kondisi sosial dan peradabannya. Hal ini pun sama dengan seni rupa, ada faktor pendorong bagi keberlangsungan sistem peradaban. Sama fungsinya dalam sektor ilmu pengetahuan seperti teknologi, ekonomi, hukum, dan lainnya yang menjadi penggerak sistem peradaban dan merupakan simbol dari kontinuitas manusia dalam hidup di realitasnya.
Seni juga tidak bisa dipisahkan sebagai unsur yang “menghidupkan” sebagai nyawa dari realitas, karena mau tidak mau dalam suatu peradaban terdapat satu sisi yang penuh dengan ekspresi dan cerminan dari keadaan peradaban itu sendiri. Semacam dunia rekaan yang menjadi motor penggerak bagaimana realitas dalam peradaban itu tidak statis.
Dan semua itu tidak bisa terelakkan dalam kehidupan kita. Katakan saja, kita tidak akan pernah bisa hidup dengan nyaman tanpa ada gambar-gambar di pelbagai media, musik dalam dunia maya, artikel dalam internet, atau bahkan suara dan bahasa maupun realitas lainnya.
Bayangkan jika semua hal tersebut harus diakomodir dalam urusan yang superfisial, yang ala kadarnya, yang ikut tren, atau kepentingan yang menyebabkan fragmentasi tertentu sehingga menyebabkan orang menjadi buta makna. Asal makan dan bekerja saja sudah cukup. Hiburan hanya uang dan matrealistis.
BACA JUGA: Memang Kenapa Kalau Windy Cantika Aisyah Tak “Konsisten” Memakai Jilbab?
Memang, ada istilah author is dead tapi pada tanggung jawab moral pasti akan ada dalam setiap benak kreatornya sendiri. Baik dan buruk, estetik dan amburadul, atau etis dan nonetis itu semua tetap tersambung sebagai benang merah yang bisa saja menyebar kepada setiap penikmatnya sebagai dampak yang buruk (misalnya dalam ideologi tertentu).
Tidak bisa sebatas demikian dalam memandang seni. Diperlukan juga proses kreatif tersendiri dalam menciptakan, menikmati, dan memahami suatu seni. Sehingga makna dan pesan yang disampaikan dapat dirasakan, tidak berhenti maknanya sebagai hiburan semata yang tersekat dari kehidupan manusia.
Sekarang adalah jaman yang haus akan kehidupan instan dari sekian banyak orang yang merasa “mati” atas hidupnya. Istilahnya saat ini krisis jati diri terjadi karena ayun buai jaman, kalau mengutip judul lagunya FSTVLST tentang kefanaan dalam banyak hal yang dipandang tidak bernilai kecuali ada unsur jual-belinya.
Pekalongan, 09 September 2020