KOTOMONO.CO – Novel Laut Bercerita yang ditulis oleh Leila S. Chudori akhir-akhir ini cukup ramai dibahas. Mengangkat cerita tentang aktivis di masa Orde Baru yang ‘hilang” secara misterius, menyisakan keluarga yang kebingungan hendak mencari kemana, hendak meminta bantuan pada siapa.
Novel yang boleh dibilang cukup sukses membawa perasaan para pembaca hingga ikut merasa kosong, kehilangan, tidak sanggup membayangkan jika mereka yang berada di posisi keluarga para aktivis.
Ada cukup banyak tokoh mahasiswa aktivis dalam cerita ini. Beberapa diantaranya yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini adalah Laut, Kinan, Bram, Sunu, Alex, Daniel dan Naratama. Diantara banyaknya tokoh, tokoh Kasih Kinanti cukup menonjol dan mencuri perhatian.
Tidak banyak wanita yang mau bergabung dalam kelompok aktivis mahasiswa itu, namun Kinan ada disana. Menjadi sosok yang sangat penting, bahkan pengambilan keputusan akhir seperti sudah menjadi pekerjaan utamanya dalam kelompok tersebut. Wanita yang tidak banyak bicara, namun selalu punya pemikiran jenius terhadap segala hal yang ia lihat maupun segala hal yang ditanyakan kepadanya.
Kinanti adalah seorang mahasiswa Fakultas Politik; fakultas yang ia pilih karena latar belakang peristiwa sedih yang terjadi pada keluarganya. Kinan anak tertua dalam keluarga dan memiliki dua orang adik kembar. Kinan menjadi salah satu tokoh yang penting karena dialah orang pertama yang mengajak Laut si tokoh utama dalam buku ini untuk bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa lain—yang nantinya akan menjadi suatu kelompok besar bernama Winatra dan Wirasena.
BACA JUGA: Film Godse (2022), Potret Orang Baik yang Kadung Kecewa Dengan Pejabat Korup
Seiring berjalannya waktu kita akan semakin dibawa untuk melihat bagaimana peran Kinan dalam penyusunan berbagai rencana. Seperti yang sudah disebutkan di awal, ia wanita yang cerdas. Tidak hanya cerdas, tetapi juga pemberani. Bayangkan, di masa yang “genting” saat itu, ia tidak gentar sama sekali. Beberapa kali ditangkap dan melewati proses interogasi hingga dilepaskan kembali, Kinan bahkan mampu menceritakan kembali apa yang ia alami kepada teman-teman lain dengan santai. Rasa-rasanya, Kinan pantas disebut sebagai wanita super.
Kinan sudah seperti ibu, kakak, teman, dan segalanya bagi teman-temannya—bahkan bagi para pembaca mungkin. Hingga pada satu titik, ketika akhirnya tidak ada yang tahu keberadaan Kinan, perasaan kosong itu tidak hanya dirasakan oleh teman-teman dan keluarganya, tetapi juga dirasakan oleh pembaca.
Rasanya seperti kehilangan sumber semangat, kehilangan seseorang yang yang selama ini selalu bisa diandalkan dalam situasi genting sekalipun, kehilangan harapan terakhir. Menyedihkannya, bahkan tidak ada yang tahu dan sempat mendengarkan isi hati Kinan untuk terakhir kalinya. Dan akhirnya, segala perjuangan dan keberanian Kinan ditutup dengan kepergiannya yang penuh dengan tanda tanya, meninggalkan teman-temannya, sang ibu dan adik-adik kecilnya.
BACA JUGA: Isu Kesetaraan Gender dalam Sebuah Majalah Kampus
Keberanian Kinan sepertinya adalah keberanian yang diimpikan oleh banyak wanita. Tidak perlu keberanian untuk ‘melawan yang berkuasa’ seperti yang ada dalam buku. Tetapi, cukup keberanian untuk memimpin kelompok (apalagi kelompok dengan mayoritas anggotanya adalah pria), keberanian mengambil keputusan, atau sesederhana keberanian mengutarakan pendapat tanpa perlu takut dengan komentar orang-orang sekitar. Atau yang lebih sederhana lagi, mengatakan ya dan tidak sesuai dengan isi hati. Keberanian yang sepertinya ‘mahal’ harganya.
Di zaman modern ini rasanya sudah cukup banyak tokoh dan bahkan public figure yang selalu memotivasi wanita, menggaungkan tentang emanisipasi wanita. Tetapi tetap saja, realisasinya bukanlah hal yang mudah. Masih ada sebagian kecil dari masyarakat kita yang menganggap bahwa wanita tidak perlu seberani Kinan dalam buku ini.
Seperti ada batasan-batasan tertentu yang ditetapkan. Jika di masa kini wanita masih “dibatasi” oleh berbagai hal, rasanya di masa lampau Kinan juga punya berbagai batasan—batasan yang mungkin harus ia langgar agar ia bisa menjadi super Kinan seperti yang ada dalam cerita tersebut.
BACA JUGA: Film 12 Cerita Glen Anggara Bukan Soal Romansa, tapi Juga Realita
Maka dari itu, rasanya buku ini perlu dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain untuk mengingatkan kembali peristiwa sedih dan kelam yang pernah terjadi di masa lalu, juga untuk memaknai peran, kehidupan, bahkan apa yang dirasakan dan dialami oleh para tokoh—khususnya Kinan.
Keberanian Kinan layak disaksikan dan diketahui oleh banyak orang. Kinan layak menjadi inspirasi baru untuk semua wanita. Kinan layak menjadi sumber semangat baru bagi para wanita yang mungkin berpikir bahwa mereka sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menjadi lebih baik.
Walau keberanian Kinan pada akhirnya harus dibayar ‘mahal’, namun Kinan berhasil membuat pembaca mengenangnya sebagai sosok yang perjuangannya tidak akan terlupakan. Terima kasih, Kinan si wanita kuat.