KOTOMONO.CO – Alangkah baiknya jika berhenti ucapkan “Cuma Bercanda, Gitu Aja Baper”! pada lawan bicara dari sekarang.
Kata baper merupakan sebuah akronim dari kalimat bawa perasaan. Dulunya istilah ini hanya berlaku pada para aktivis pejuang asmara saja. Namun, sekarang kata baper mengalami pergeseran makna dan secara praktiknya kata baper mulai dikonotasikan sebagai hal yang buruk.
Yaitu ditujukan pada mereka yang dianggap terlalu mudah tersinggung. Bahkan lambat laun kata baper malah disalahgunakan untuk menghakimi seseorang tanpa adanya pertimbangan mengenai penyebab ketersinggungan itu tercipta.
Berbicara mengenai ketersinggungan. Rasa-rasanya manusia memang tidak bisa terlepas dari semua itu. Terlebih peran media sosial yang begitu masif sebagai wadah publik dalam beropini. Sehingga darinya kita bisa menyaksikan atau langsung mempraktikkan bagaimana ketersinggungan satu menciptakan ketersinggungan lainnya.
Persepsi publik mengenai ketersinggungan itu sendiri cukup beragam. Beberapa orang berpendapat bahwa ketersinggungan merupakan sebuah reaksi yang diambil bukan diterima. Artinya kita memiliki kontrol pengendalian diri untuk tersinggung atau tidak pada suatu tindakan maupun pernyataan. Dan semua itu membutuhkan sikap kedewasaan yang tentunya dipengaruhi oleh kecerdasan kognitif serta kemampuan dalam mengelola emosi.
Akan tetapi, secara pribadi saya lebih setuju bila ketersinggungan diartikan sebagai reaksi spontanitas yang sulit dihindari. Perasaan alami, seperti rasa ketertarikan terhadap seseorang atau rasa jijik pada sesuatu. Sedangkan respons dalam menanggapi ketersinggungan adalah wujud dari pilihan itu sendiri.
Fenomena penggunaan kata baper yang mainstream ini memang sudah berlangsung sejak lama. Namun, sangat disayangkan hingga akhir periode tahun 2022. Pro dan kontra mengenai penggunaan istilah baper ini masih menjadi polemik. Contohnya ialah penggunaan kata baper pada kasus bercanda.
BACA JUGA: Buku-Buku Keren yang Viral Berkat Idol Kpop
Definisi bercanda kian terdengar ekstrem bagi beberapa orang yang pernah menjadi sebagai korban. Bagaimana tidak, seseorang berani melemparkan candaan bersifat sensitif. Akan tetapi disisi lain mereka menyanggah ketersinggungan tersebut dengan membenturkan sisi rasional maupun irrasional pada diri korban. Dan sebagai bentuk defensif, mereka akan mengatakan,
“Cuma becanda kok, gitu aja baper”
“Maen lu kurang jauh. Gitu aja baper.”
“Selera humor lu rendah. Gitu aja baper.“
Kalimat yang mereka maknai sebagai bercanda tersebut kerap diselingi dengan verbal bullying bahkan tak jarang mencapai pada titik rasisme.
Semakin hari, bercanda seolah-olah dijadikan excuse seseorang untuk mengatai orang lain sebebas mungkin tanpa menghiraukan batasan norma maupun syariat yang malah kerap dijadikan objek bercanda. Sedangkan dari tindakannya itu mereka mengklaim dirinya sebagai tokoh open minded. Sebaliknya, justru orang yang tersinggung harus menerima labeling sebagai pribadi closed minded, kurang dewasa atau baperan.
Sebenarnya fenomena ini menciptakan sebuah proyeksi. Yaitu mekanisme pertahanan diri seseorang tatkala ingin terlihat benar dengan cara menyalahkan orang lain. Seseorang menganggap komedi tidak memiliki batasan. Tapi ia membatasi korbannya untuk mengekspresikan ketersinggungannya.
Fanatisme pada suatu pemikiran membuat kita kehilangan rasa sensitif terhadap sosial. Seseorang merasa aman bila segala jenis ucapannya dikemas dalam bentuk canda. Terlebih beberapa korban merasa inferior dan kehilangan keberanian untuk menolak. Terkadang mereka terpaksa menertawai dirinya sendiri karena takut dikucilkan oleh sirkel sosialnya.
BACA JUGA: Hak-hak Pada Anak yang Sirna Karena Istri Bantu Suami Bekerja
Padahal faktanya orientasi humor setiap individu pasti berbeda-beda. Hal yang menurut kita lucu belum tentu lucu bagi orang lain. Sedangkan rasa sensitif pada manusia dilatar belakangi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Contohnya, seseorang bisa berubah lebih sensitif dikala sedang mengalami PMS. Atau mereka yang sedang memiliki permasalahan berat seperti kesehatan, konflik keluarga, pekerjaan maupun ekonomi.
Tentunya, tindakan menggeneralisasi kemampuan pengendalian diri seseorang tanpa sebuah pertimbangan mengenai kondisi ataupun situasi yang mempengaruhi terdengar tidak adil.
Meskipun terkesan ringan, ucapan bukanlah perkara yang bisa digampangkan begitu saja. Jika hinaan maupun olok-olok dilakukan secara konsisten terhadap satu individu. Akumulasi dari luapan emosi yang tertahan tersebut bisa menimbulkan dampak pada kesehatan mental maupun fisik dari korban. Sedangkan pada kasus terberat ialah tindakan bunuh diri.
BACA JUGA: Label Sosial “Warga Kelas Dua” Pada Perempuan Sudah Semestinya Dimusnahkan
Mayoritas pelaku suicide bukanlah orang yang menampilkan kesan menyedihkan dan selalu berurai air mata. Mereka terkadang bersikap normal sebagaimana wajarnya. Namun, dari fakta ini lah kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa respons tertawa dalam menanggapi ledekan tidak menjamin kondisi perasaan yang sebenarnya.
Sesungguhnya, apabila kita mendapatkan reaksi ketersinggungan dari lawan bicara. Maaf merupakan kata yang paling relevan untuk kita ucapkan dibandingkan dengan kalimat cringe “Gitu aja baper”. Meskipun begitu, kata maaf tak akan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga kita harus memiliki sikap awareness dalam berucap maupun bertindak.