Sinar matahari merambati segala yang ada di muka bumi. Di sebuah taman, mula-mula gelap, lalu perlahan warna-warni bunga dan dedaunan tampak terang. Tampak segar berbinar. Mereka seolah baru saja terbangun dari nyenyak tidur malam yang diguyur hujan dan berselimut udara dingin.
Di antara rerimbun itu, tergolek dua kursi panjang. Di atasnya, dua sosok tubuh terbaring. Keduanya saling berhadapan. Satu perempuan, satunya lagi seorang lelaki. Tubuh mereka masih tampak segar. Mata mereka masih terpejam. Dada mereka naik turun pelan dan teratur, beriringan dengan suara napas mereka yang juga teratur.
Melihat pemandangan itu, seorang petugas kebersihan mendekat. Tetapi, dalam jarak dua langkah, tubuh perempuan mulai bergerak. Petugas kebersihan itu diam sejenak. Memastikan, apakah perempuan itu akan bangun atau masih akan pulas tertidur.
Dilihatnya tangan perempuan itu bergerak lagi. Kali ini kedua tangan perempuan itu terbentang. Diselingi suara desah. Lalu, pelan-pelan mata perempuan itu mulai terbuka.
Dan rupanya, cahaya pagi itu menyilaukan matanya. Ia kaget. Terperanjat. Seketika langsung duduk dan dilihatnya lelaki yang sejak semalam bersamanya itu tertidur di kursi sebelahnya. Segera ia goncangkan tubuh lelaki itu.
Belum sepatah kata pun diucap dari mulut petugas kebersihan. Ia hanya memandangi dua orang asing itu. Meski ia menangkap sesuatu yang mencurigakan pada keduanya, ia tak serta merta menegur mereka.
Setelah kedua orang asing itu benar-benar tersadar dari tidurnya, keduanya saling menatap. Lalu, memalingkan muka ke arah petugas kebersihan itu. Tatapan mereka terasa asing. Seperti ada sesuatu yang aneh atas apa yang mereka alami.
“Bapak siapa?” tanya lelaki itu sambil memandang penuh rasa aneh pada petugas kebersihan itu.
Petugas kebersihan itu bergidik. Merasa aneh pula dengan pertanyaan itu. “Lho, mestinya saya yang nanya. Kalian siapa?”
Lelaki asing itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah. DilihatCerpenya aneka tanaman di sekitarnya. Juga lantai yang basah. Lantas, dirabanya pakaiannya. Tak sedikitpun basah.
“Maaf, ini apa, Pak?”
Mendengar pertanyaan itu petugas kebersihan itu makin merasa aneh. Bagaimana bisa, kedua orang asing itu menanyakan hal yang sebenarnya sudah sangat diketahui banyak orang. Tetapi, perasaan aneh itu disingkirkan sejenak. Ia melihat dua orang asing ini sepertinya sedang benar-benar dalam kebingungan.
“Ini taman kota,” jawab petugas kebersihan.
“Taman?”
“Iya. Taman kota. Orang-orang biasa ke sini kalau pas liburan,” jelas petugas kebersihan itu sambil memegang sapunya. “Eh… kalian darimana?” tanya petugas kebersihan.
Pertanyaan itu seketika membangunkan ingatan perempuan muda itu. “Celaka! Aku masih ada janji sama Ibu. Yan, antar aku pulang sekarang juga. Ibu pasti sedang menunggu,” pinta perempuan itu.
“Apa? Mengantarmu pulang? Apa kamu nggak bisa pulang sendiri? Kan sudah gede,” kilah lelaki asing itu pada perempuannya.
“Ih kamu tuh ya. Tega banget sih!”
“Heh, kalian itu aneh, belum jawab pertanyaan saya kok sudah berantem,” sergah petugas kebersihan itu, “mbok jawab dulu. Kalian itu darimana?”
“Dia, Pak, yang aneh. Masa, dia yang ngajak keluar eh nggak mau nganter pulang. Nggak tanggung jawab banget sih?” seloroh perempuan asing itu.
“Kok aku? Kan kamu yang….”
“Sudah-sudah. Kalian itu kok didiemin malah berantemnya menjadi-jadi. Ada apa sebenarnya dengan kalian?” tanya petugas kebersihan itu.
Si lelaki itu diam. Pun dengan si perempuannya. Mereka lalu saling pandang. Di atas meja kecil yang menjadi pembatas di antara dua kursi tempat mereka tidur itu ada bungkusan plastik. Mata mereka melirik ke arah plastik itu.
Sayang, sebelum mereka sempat menyingkirkan bungkusan itu, tangan petugas kebersihan itu telah lebih dulu meraih bungkusan itu. Diambilnya bungkusan itu, lalu diciumi aromanya. Ada aroma yang pekat dan menyengat dari dalam bungkusan itu. Kerutan wajah petugas kebersihan itu seketika nampak. Berpusat pada hidungnya. Cekatan tangannya menjauhkan bungkusan itu dari hidungnya.
“Apa ini?” tanya petugas kebersihan.
Kedua anak muda itu terdiam.
Mata petugas kebersihan itu menatap tajam pada keduanya. Dilihatnya wajah mereka yang polos itu. Lalu berkata, “Kalian itu mengingatkanku pada anakku. Dan gara-gara ini, aku merasa sangat berdosa. Sebab, aku merasa menjadi Bapak yang tidak berguna. Semoga saja, orangtua kalian tidak mengalami apa yang aku alami.”
Petugas kebersihan itu lantas memungut bungkusan plastik itu dan memasukkannya ke tong sampah. “Jangan sampai kelak kalian jadi sampah seperti aku ini, Nak!” seru petugas kebersihan itu sambil melakukan tugasnya, menyapu taman.
Suara gesekan sapu lidi pada lantai batako taman itu perlahan menjauh meninggalkan dua remaja yang duduk di bangku taman itu. Mereka saling pandang. Bingung dengan sikap petugas kebersihan itu. Tidak biasanya mereka menemukan orang sebijak lelaki paruh baya itu.
Ya, Pak Saliman memang sudah bertahun-tahun menjadi petugas kebersihan taman ini. Itu dilakukannya lantaran ia menyesal telah menelantarkan anak semata wayangnya. Sampai-sampai menjadi gelandangan. Seolah tak punya rumah tinggal.
Dulu, semasa kanak-kanak, anak semata wayangnya itu tampak baik. Rajin mengaji tiap sore. Di sekolah juga kerap mendapatkan peringat lima besar. Tak heran selalu dapat beasiswa. Tetapi, diam-diam, anak semata wayangnya itu menaruh dendam.
Setelah sekian tahun lamanya dididik agar menjadi anak baik, ia merasa terkekang. Begitu pintu kebebasan ia raih, segera ia keluar dari pakem. Ia lantas terbiasa dengan kebebasan yang ia raih itu.
Mula-mula tak mencurigakan. Semua masih berjalan normal. Tetapi, lama-lama tercium pula keganjilan. Anak semata wayang Pak Saliman berulah dan kerap membuatnya kepayahan.
Pada suatu malam, ia mendapati anak semata wayangnya berlumur aroma alkohol. Di laci almarinya, ia temukan pula alat kontrasepsi. Keganjilan itu membuat darahnya naik dan mengusirnya dari rumah.
Pak Saliman benar-benar kehilangan segala yang menjadi kebanggaannya dulu. Ia kecewa berat. Tetapi, ujung dari kekecewaan itu, ia temukan bahwa itu semua lantaran salahnya sendiri. Terlalu mengekang anak semata wayangnya agar mengikuti apa yang ia maui.
Ia harus menjadi juara. Ia harus menjadi seorang anak dengan segudang prestasi. Lantaran ia tahu, ia tak cukup kaya. Ia tak mau dibilang tak bisa mendidik anak. Ia ingin membuktikan kepada tetangganya bahwa ia bisa mendidik anaknya itu untuk menjadi orang hebat. Sekarang, harapan itu hancur.
Kini, dengan sapu lidinya ia mengais harapan-harapan yang hancur itu. Berharap bisa menghimpunnya kembali menjadi utuh, meski sejatinya telah usang dan menjadi sampah. Tetapi, siapa tahu, kelak anak semata wayangnya itu akan kembali mengetuk pintu rumahnya dengan hati dan pikiran yang bersih.