KOTOMONO.CO – Kota dengan segala cerita dan deritanya. Dalam segala keterbatasannya, Urban Farming muncul sebagai daya dan upaya ketahanan pangan.
Semesta, sebuah film dokumenter tentang isu lingkungan yang dipandang dari aspek tradisi dan budaya, memberikan banyak insight tentang lingkungan dan bagaimana orang-orang di berbagai daerah di Indonesia menempatkan alam dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu yang paling menggugah, dengan pengambilan sudut pandang yang berbeda adalah kisah terakhir yang datang dari daerah Ibu Kota Indonesia, Jakarta.
Kisah ini datang dari Siti Soraya Cassandra, perempuan dibalik ‘Kebun Kumara‘, sebuah lahan belajar bertani di perkotaan. Sandra, panggilan akrabnya menuturkan sebuah ungkapan yang cukup cerdas dan kritis:
“Masalah lingkungan yang terjadi di kota, Saya yakin solusinya juga ada di kota.”
Kira-kira seperti itu. Ungkapannya tersebut memberikan motivasi, bahwa kepedulian terhadap lingkungan dan usaha menanam tidak hanya bisa dilakukan di desa, tetapi di lahan-lahan mati ataupun balkon-balkon sempit juga bisa disulap menjadi ladang hijau.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren urban farming menjadi makin diminati. Tren tersebut terakselerasi disebabkan serangan pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal tahun 2020 yang menyebabkan semua orang dipaksa menghentikan segala bentuk kegiatan di luar rumah.
Urban farming bagai angin segar di tengah tingkat stress orang-orang yang berusaha beradaptasi dengan peraturan yang mengharuskan mereka tinggal di rumah. Hal ini menjadikan lahan sempit yang semula tidak produktif disulap menjadi kebun-kebun kecil cantik dengan beraneka-ragam tumbuhan.
Selain sayur-mayur, tanaman hias juga menjadi cikal-bakal menjamurnya tren urban farming di daerah perkotaan. Siapa yang bisa lupa bagiamana para ibu-ibu saling bertukar bibit tanaman hias dengan ramah dan berbicara tentang tanaman-tanaman hias? Siapa yang bisa lupa bahwa beberapa tahun yang lalu, satu pot janda bolong ditukarkan dengan satu unit mobil sedan? Tapi itulah keunikan sebuah fenomena di masyarakat.
BACA JUGA: Alasan Hobi Orang Dewasa yang Gemar Nonton Kartun itu Layak Diapresiasi
Seperti bola api, kita tidak benar-benar tahu kapan api tersebut menyebar dan akan sebesar apa. Namun, bahkan setelah masyarakat mulai beradaptasi dengan covid-19 dan perlahan kembali beraktivitas di luar rumah, gaya urban farming nampaknya masih bertahan sampai hari ini.
Urban Farming Mendorong Ketahanan Pangan di Kota
Gaya hidup perkotaan yang serba instan dan cepat menuntut orang-orang terbiasa menjadi seorang konsumen. Menunggu makanan tersaji di meja mereka tanpa benar-benar tahu proses pengolahan makanan-makanan tersebut.
Sejak ratusan hingga ribuan tahun yang lalu, manusia terbiasa memenuhi kebutuhan pangannya dengan berburu, lalu berganti ke bercocok tanam, hingga beragam perubahan metode pemenuhan pangan yang berakhir pada model pemenuhan kebutuhan pangan hari ini.

Ketahanan pangan menjadi salah satu isu yang semakin dinamis akhir-akhir ini, dipicu oleh situasi perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen di berbagai wilayah di Indonesia, dan menambah situasi bumi semakin tidak menentu. Salah satu usaha untuk mewujudkan ketahanan panan, setidaknya ketahanan pangan keluarga adalah dengan memproduksi pangan sendiri.
Pertanian konvensional yang membutuhkan lahan luas sukar diterapkan di daerah perkotaan, sehingga salah satu ciri dari pertanian kota yakni pemanfaatan lahan mati atau sempit sebagai lahan tanam untuk menumbuhkan pangan mereka sendiri.
Model pertanian yang adaptif dengan karakteristik lahan sempit khas perkotaan memungkinkan masyarakatnya untuk menanam beragam sayuran seperti tomat, cabai, terong, oyong, buah-buahan perdu, dan banyak variasi tanaman lainnya yang bisa ditumbuhkan di area balkon yang terbatas, atau lahan mati di daerah rumah yang terjepit dan tidak difungsikan selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Stoikisme, Jalan Damai Mengenal Diri Sendiri Sebagai Kunci Hidup Tenang
Meskipun secara kuantitatif model pertanian ini masih sangat jauh dalam memenuhi kebutuhan pangan kolektif, tetapi tentu saja ini merupakan suatu solusi kecil untuk melihat kota yang lebih hijau. Setidaknya satu rumah mampu memproduksi beberapa jenis sayuran yang bisa mereka konsumsi secara pribadi sembari menjadikannya sebuah aktivitas pengalih stress saat berdiam diri di rumah. Juga sebagai upaya untuk menolak menjadi manusia konsumtif dengan cara mulai memproduksi pangan sendiri, meskipun dimulai dari skala kecil.
Bertani di Kebun Tetangga Samata
Di tempat saya tinggal, Makassar, Sulawesi Selatan, saya cukup beruntung bertemu dengan pasangan suami istri ini. Kak Syukron dan Kak Wulan namanya. Mereka memutuskan untuk berkebun di daerah Samata, masih terbilang daerah perkotaan.

Mereka memulai dari sebuah lahan luas bekas pembangunan perumahan mandek. Berawal dari seorang kenalan yang meminjamkan lahan tersebut, dalam kurun waktu dua tahun lahan yang semula mati disulap menjadi lahan produktif dengan beragam tumbuhan organik, kebun telang, kebun hidroponik, cabai, beberapa varietas rumput –yang sayangnya saya lupa, lahan pemeliharaan ayam, kalkun, merpati, dan kambing dalam waktu dekat, juga hewan lain –yang entah apa kedepannya yang bisa dikembangkan.
BACA JUGA: Tips Tabungan Supaya yang Kalian Miliki Terus Berlipat Ganda
Disini Kak Syukron dan Kak Wulan juga membangun sebuah pondok untuk menerima tamu serta tempat komunal bagi siapa saja yang ingin berkunjung kesini.
Selain menjadi tempat bercengkrama yang hangat, kebun yang dinamai ‘Kebun Tetangga’ ini memberikan perpektif lain tentang bagaimana orang-orang dapat berkreasi dengan lahan mati. Seperti kanvas putih dengan para anak muda sebagai kuas dan catnya, mereka bebas berkreasi dengan sebidang tanah kosong yang ternyata menjadi potensi di dearah perkotaan ini.
Entah seperti kebun tetangga samata dengan lahan luas di tengah kota, atau kebun kecil di balkon lantai dua rumah, urban farming menjadi gaya hidup baru yang memungkinkan penikmatnya menciptakan kebiasaan sehat, menanam pangan mereka sendiri, berkontribusi pada lingkungan, sekaligus membunuh kebosanan.