KOTOMONO.CO – Pemilihan Ketua Umum Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) usai. Meski sempat diwarnai drama yang khas sekali PSSI, tapi toh nyatanya muncul nama Ketum PSSI yang baru. Adalah Erick Thohir, Menteri BUMN yang menang telak atas lawannya, La Nyalla Mattalitti.
Pemilihan yang cukup panas itu tidak hanya menghasilkan Ketua Umum PSSI, melainkan juga pengurus PSSI lainnya. Salah satu yang paling disorot adalah Wakil Ketua Umum (Waketum). Pemilihan Waketum sendiri sempat terjadi pergolakan lantaran munculnya dugaan penghilangan suara.
Awalnya Waketum terpilih adalah Zainudin Amali (66 suara) dan Yunus Nusi (63 suara). Namun, setelah diulang, Ratu Tisha memimpin sebagai Waketum dengan 54 suara, sedangkan Yunus Nusi di posisi kedua dengan 53 suara, dan Amali hanya memperoleh 44 suara.
Akan tetapi, setelah pemilihan kedua itu, Yunus Nusi memutuskan mundur dari pencalonan (doi memang layak mundur sih). Akhirnya muncullah nama Ratu Tisha dan Zainudin Amali sebagai Waketum PSSI.
Ratu Tisha Bukan Waketum Satu
Setelah muncul nama wakil ketua umum, muncul pula pertanyaan lainnya. Selain masih ada nama menteri di sana, yang mana itu akan berpotensi menimbulkan gesekan kepentingan, juga lantaran Ratu Tisha tidak dipilih menjadi Waketum Satu. Walaupun ia punya suara lebih banyak daripada Menpora.
Usut punya usut, hal itu sudah sesuai dengan Statuta PSSI. Belum lama ini saya mendengar penjelasan hal itu dari Ratu Tisha ketika diwawancarai Najwa Shihab. Tisha mengatakan, itu sudah sesuai dengan Statuta PSSI Pasal 42 Ayat 8. Di mana penunjukkan Waketum berdasarkan CV yang diserahkan sebelum mendaftar.
Itu yang memutuskan Komite Pemilihan. Saat ditanya Najwa Shihab pun, Ratu Tisha menerima keputusan tersebut. Baginya, tidak masalah menjadi yang kedua. Jabatan yang ia terima itu tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.
“Yang penting kan, semua untuk sepak bola Indonesia,” kata Ratu Tisha.
Kok Bisa Bukan Waketum Satu?
Tentu saya memahami apa yang dirasakan Ratu Tisha. Sebagai Waketum yang baru saja dipilih, tidak baik kalau ia langsung cari gara-gara. Wajar kalau ia menerima saja keputusan itu.
Namun, pada kenyataannya bukan cuma blio yang harus menerima keputusan itu. Tapi seluruh pencinta sepak bola tanah air, suka maupun tidak suka harus menerima keputusan itu.
Kelak jika ada gonjang-ganjing di tubuh PSSI dan bikin Erick Thohir tak lagi bisa melaksanakan tugasnya, penggantinya adalah Zainudin Amali. Jujur, saya agak sulit menerima keputusan yang sangat mind blowing tersebut.
Secara kalau ngukurnya dari CV, Ratu Tisha tentu saja punya rekam jejak di belantika sepak bola lebih oke daripada Zainudin Amali. Apa mungkin karena Amali adalah menteri jadi ia layak jadi Waketum Satu?
Saya tidak mau terlalu tendensius menanggapi hal itu. Hanya saja, Ratu Tisha, menurut saya, benar-benar sosok yang sudah lama berkecimpung di sepak bola Indonesia. Sejak SMA bahkan Tisha sudah terjun ke sepak bola.
BACA JUGA: Alasan yang Bisa Dipakai Shin Tae-yong atas Kekalahan Indonesia di Piala AFF
Bukan sebagai pemain. Ratu Tisha menjadi manajer tim sepak bola di sekolahnya. Perempuan yang pernah menjalani pertukaran pelajar di Leipzig, Jerman itu melanjutkan kiprahnya saat jadi manajer Persatuan Sepak bola ITB, kampusnya.
Tim itu di bawah Liga Mahasiswa Jawa Barat dan Persib Bandung. Sempat bekerja di sebuah perusahaan perminyakan di Schlumberger, Tisha tak kehilangan kegilaannya pada sepak bola.
Ia sampai-sampai mengikuti seminar sepak bola di Jepang, Belgia, dan Denmark. Ratu Tisha juga mendirikan LabBola, semacam perusahaan di bidang penyedia jasa analisis sepak bola di Indonesia. Itu adalah ide yang sangat visioner.
Sebab di sepak bola modern seperti sekarang, jasa analisis sangat diperlukan. Karena sepak bola adalah ilmu, bukan sekadar keberuntungan apalagi judi. Lihatlah tim-tim Eropa. Mereka sukses karena analis sepak bola. Ide itu mungkin saja tak terpikirkan Zainudin Amali sekalipun.
Masih kurang? Ratu Tisha pernah mendalami Sport Humanity, Manajemen Olahraga, dan Hukum Olahraga dengan mengambil program FIFA Master. Saat sepak bola dalam negeri dibekukan FIFA, Tisha juga mempelopori Indonesia Soccer Championship pada tahun 2016. Ia juga sempat menjabat Direktur PT Liga Indonesia Baru walau hanya sebentar.
BACA JUGA: Memahami Kritik Romahurmuziy Soal Rutan KPK yang Katanya Tidak Manusiawi
Saya berkali-kali dibuat kagum oleh perempuan yang satu ini. Salah satunya karena ia sosok paling berpengaruh mengangkat marwah sepak bola Indonesia di muka dunia.
Nama Ratu Tisha—yang juga pernah jadi bagian dari komite kompetisi federasi sepak bola Asia (AFC)—juga diperhitungkan di kancah internasional. Berkat dia, Indonesia bisa jadi tuan rumah Piala Dunia U20 yang akan berlangsung sebentar lagi.
Masalah Bagi Sepak bola Indonesia
Sangat disayangkan kalau Ratu Tisha ‘hanya’ jadi Waketum Dua. Apalagi yang jadi Waketum Satu bukanlah sosok yang telah lama bergulat di dunia sepak bola. Saya tidak mengatakan Zainudin Amali tidak layak sama sekali untuk jadi Waketum Satu PSSI. Namun, mengapa Zainudin Amali bisa dianggap lebih baik daripada Ratu Tisha untuk jabatan Waketum Satu?
Jika Jurgen Klopp mengatakan timnya dagelan setelah digiling Real Madrid, penunjukkan Zainudin Amali sebagai Waketum Satu PSSI jauh lebih slapstick daripada para pemain Liverpool.
BACA JUGA: JIS Tidak Layak? Jadikan Ladang Amal Jariyah Pemprov DKI Sahaja!
Memang Ratu Tisha tak masalah jadi Waketum Dua, tapi justru di titik itulah permasalahannya. Ia yang jelas punya CV lebih mentereng daripada Zainudin Amali, kenapa terima saja keputusan tersebut?
Kalau orang seperti Ratu Tisha saja menerima keputusan yang ambigu semacam itu, justru ini menjadi sinyal bahaya bagi PSSI. Masyarakat sepak bola Indonesia ingin federasi diurus oleh orang-orang yang mafhum bahkan khatam soal sepak bola. Tapi kalau yang menyentuh orang-orang yang dekat saja dengan sepak bola tidak, ya sama saja bohong.
Benar bahwa Erick Thohir berpengalaman, tapi kalau di bawahnya, lebih-lebih yang tepat berada di bawahnya bukan orang yang ahli di sepak bola jelas berpotensi menimbulkan dinamika yang bisa jadi lebih rumit dari yang dibayangkan.
Apalagi kalau ia bukan orang yang kompeten. Bukan tidak mungkin hal itu justru berpeluang mengganggu metabolisme sepak bola dalam negeri yang katanya memiliki hasrat untuk berbenah itu.