KOTOMONO.CO – “Alhamdulillah walau halangan begitu dahsyat melintang, acara reuni tetap berjalan dan sukses di berbagai tempat serta kegiatan seperti Jakarta, Medan, Ciamis, Solo, Padang hingga Aceh,” kata Ketua Umum PA 212, Slamet Maarif terkait Reuni 212 yang dianggap gagal. Meski begitu, memang pada kenyataanya Reuni 212 yang digelar Kamis (2/12) lalu memang kurang seksi dibahas. Dengan kata lain, ya gagal.
Atau kalau kita mau menghindari kata “gagal”, oke, kita ganti kata itu dengan “anyep”. Aksi reuni yang selalu menggemparkan dunia perpolitikan tanah air itu, di tahun ini seperti masakan tanpa garam. Padahal biasanya panitia Reuni 212 selalu sesumbar kalau reuni bakal dihadiri jutaan peserta. Tapi ya, pada kenyataannya, paling cuma sanggup memblokade satu atau dua perempatan.
Tahun ini, sesungguhnya tema yang diangkat sangat islami sekali, bahkan saya kira, juga nasionalis. #aksisuperdamai. Tampak tidak seperti jualan agama bukan? Sayangnya, kegiatan yang direncanakan di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat itu bubar sebelum dimulai.
BACA JUGA: Merayakan Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan Wartawan Lokal
Belum juga sampai lokasi, massa aksi sudah di hadang aparat. Massa yang coba menciptakan kerumunan pun disuruh pulang. Kabarnya #aksisuperdamai pun pindah ke Tanah Abang. Begitu pula Reuni 212 di Bogor yang direncanakan bakal digelar di Masjid Azzikra, Bogor. Pihak masjid menolak kedatangan massa aksi karena sedang masa berkabung atas kepergian anak almarhum Ustaz Arifin Ilham.
Kegagalan dan keanyepan-keanyepan Reuni 212 sudah banyak yang memprediksi. Apalagi hari ini bukan masa Pilkada atau Pilpres. Selain juga nggak ada tokoh yang pas untuk dianggap sebagai musuh bersama. Ahok yang kini komisaris Pertamina nggak layak jadi musuh lagi. Bahkan Prabowo, Jokowi, Sandi, Ma’ruf Amin, sampai Anies Baswedan itu sendiri semua sedang menikmati kuenya masing-masing.
Belum lagi, tokoh paling berpengaruh mereka, Habib Rizieq sedang mendekam di penjara. Wajar kalau acaranya jadi anyep. Terlebih acaranya cuma gitu-gitu doang, kurang inovasi dan kreativitas. Walaupun sejujurnya, Reuni 212 sendiri sangat penting untuk digelar.
Selayaknya reuni SMA, tentu para alumni 212 sudah pasti kangen dengan sesama alumni 212. Mereka saling kangen untuk bertemu turun ke jalan. Kangen membentangkan spanduk “Turunkan Ahok”. Rindu memaki penista agama. Dan yang tentu tidak boleh dilewatkan: kangen meneriakkan kalimat takbir.
Itu masih bagi alumni 212. Sementara, masyarakat setempat jelas membutuhkan Reuni 212. Paling tidak, kalau Reuni 212 tetap dilakukan, warga jadi punya peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka. Sudah berapa pedagang yang sejahtera berkat Reuni 212? Tak terhitung.
Mengingat betapa pentingnya Reuni 212, perlu kiranya saya sampaikan saran agar nanti Reuni 212 tidak lagi anyep. Sebagai seorang yang mengaku muslim, saya kira membantu Reuni 212 agar tetap terlaksana adalah amal baik, yang mungkin saja dicatat sebagai pahala.
Walaupun nggak pernah ikut Reuni 212, tapi secara ikatan, saya merasa perlu memberikan semacam pandangan. Mudah-mudahan di tahun berikutnya, Reuni 212 tidak lagi jadi bahan bercandaan karena sepi dan, mohon maaf, gagal.
Perluas Sasaran
Dulu kelompok 212 terbentuk oleh satu orang yang dianggap menista agama. Nah, karena penista agama itu sudah mulai mengurusi Pertamina, dan untuk sebentar belum lahir lagi seorang penista-penista agama, mending sasarannya diperluas.
Panitia 212 bisa tuh mengadakan reuni, tapi yang dibidik adalah koruptor. Nanti bikin saja poster-poster seperti “Koruptor Masuk Neraka”; “Mau ke Neraka? Jadi Koruptor Saja!”; “Koruptor = Penista Agama”, dan lain-lain. Sasarannya mau pindah ke pengusaha tambang juga bisa.
Jadi, nanti bikin tema #aksidamaitolaktambang. Beuh… saya yakin itu bakal didukung banyak elemen masyarakat. Kalau begitu kan, Reuni 212 nggak lagi butuh tokoh-tokoh kaliber Prabowo, Habib Rizieq, sampai Anies Baswedan. Aktivis-aktivis lingkungan bisa jadi bakal mendaftar anggota PA 212.
Percaya nggak percaya, coba saja deh lakuin. Saya sih percaya Reuni 212 jadi nggak anyep lagi. Ya, paling nggak jadi banyak yang mendukung, tidak dari kalangan sendiri saja.
Kontekstual
Reuni 212 setiap tahunnya membosankan, karena nggak setiap tahun momentum pemilihan itu ada. Makanya daripada mengandalkan Pemilu, mending Reuni 212 digelar karena sesuatu yang tengah terjadi. Dengan kata lain menyesuaikan apa yang sedang terjadi hari ini.
Misalnya nih, kan sekarang lagi ramai bencana. Banjir, erupsi gunung berapi, longsor dan lain sebagainya. Nah, massa aksi bisa tetap turun ke jalan, tapi untuk open donasi korban bencana. Dengan begitu pasti banyak yang dukung. Gimana? Sudah ya?
BACA JUGA: Mari Kita Sejenak Gelengkan Kepala untuk Vonis Bebas Dua Terdakwa Korupsi Bansos di Bandung Barat
Lha kalau sudah, mungkin bisa lebih dikembangkan lagi. Semisal menggelar pengajian akbar temanya “PA 212 Menolak Deforestasi”, atau bikin #aksibelahutan. Atau bisa juga menyesuaikan isu yang tengah ramai, seperti kasus kekerasan seksual.
Bisa dengan memulai #aksibelakorban atau #percumalaporpolisi. Para massa aksi bisa membentangkan spanduk 100×100 meter di lapangan Monas bertuliskan “PREDATOR SEKSUAL = PENISTA AGAMA” atau “PA 212 DUKUNG PEMULIHAN KORBAN”.
Seumpama itu benar, saya jadi semangat untuk terus meretwit foto-fotonya, dan mungkin saya akan berangkat ke Jakarta dan pura-pura jadi alim sebentar. Itu seumpamanya saja lho ya.
Pakai Sepeda
Zaman berkembang pesat, inovasi untuk Reuni 212 sangat diperlukan. Kalau bisa nggak melulu ngumpul di satu tempat atau melakukan long march. Sekali waktu Reuni 212 bolehlah digelar dengan sepedaan bersama keliling Bunderan HI. Bikin touring Jakarta-Bogor naik sepeda juga tak kalah mengasyikkan. Lho, kenapa sepeda, tidak motor atau biar keren sekalian pesawat tempur?
Aksi kalian saja diusir aparat, bagaimana mau pinjam pesawat tempur? Kalau pakai motor berisik, dan masih bisa dihalang-halangi aparat. Nah, sepeda kan nggak. Lagi pula, di Jakarta, sepeda mah bebas.
Sekumpulan pesepeda sudah pasti mudah menguasai jalanan. Lha sepeda og, padhake motor! Para pesepeda itu memang harus diutamakan. Mereka mustahil melanggar lalu lintas, kalaupun harus meminjam jalur motor dan mobil nggak masalah. Ke luar dari jalur sepeda juga no problem.
BACA JUGA: Pesan di Balik Pelatih Persibat yang Ketiduran Saat Timnya Menghadapi Persipa
Seandainya kecelakaan atau tertabrak motor, minimalnya keserempet lah, bisa diatur itu. Salahkan saja pengguna jalan lain yang kebetulan tidak memakai sepeda. Kalau pas terserempet pengendara motor ya tinggal salahin pengendara motor. Kalau mobil ya, salahkan pengemudinya. Pokoknya pengendara sepeda nggak pernah salah.
Ubah Dress Code
Hal yang bikin aparat begitu mudah menghalangi peserta Reuni 212 adalah dress code yang mereka pakai. Pakaian putih-putih, bersorban, dan membawa bendera hitam itu identik dengan FPI atau HTI. Aparat pun jadi nggak takut mau bubarin.
Coba deh peserta Reuni 212 pakai seragam yang mirip TNI gitu. Tapi warnanya bukan hijau dan hitam, melainkan hitam dan orange. Barangkali dengan begitu, aparat bakal segan dan nggak berani membubarkan massa. Nganu… kalau bisa yang ditenteng nggak cuma Al-Qur’an, tapi juga Pancasila. Mau mengakui atau tidak, yang penting bawa saja Pancasila sebagai golden tiket untuk menggelar reuni. Silakan dicoba.