KOTOMONO.CO – Kata “akademi” sering disebut sama anak-anak kuliahan. Tapi, apa sih makna kata akademi? Gimana juga asal-usul kata “akademi” itu?
Sepertinya menarik untuk saya kupas kali ini. Tapi, saya tunda dulu untuk buka-buka kamus. Bukan nggak percaya, saya merasa kurang marem kalau baca terjemahan ala kamus. Informasinya kadang kurang lengkap. Ketidaklengkapan informasi itu bisa menyebabkan makna menjadi rancu. Makna cenderung mempersempit makna kata itu sendiri.
Memang, diakui penerjemahan kata asing ke dalam bahasa Indonesia terhalang oleh banyak hal. Jarak budaya dan sejarah menjadi penyumbang besar bagi kerancuan itu. Alih-alih menerjemahkan secara tekstual, pemaknaan kata kadang malah keliru.
Selain itu, keterbatasan kamus juga dikarenakan hal-hal yang sifatnya teknis. Dalam versi cetak, buku kamus setebal 2.040 halaman itu terlalu berat dan tidak praktis. Boro-boro membacanya, melihatnya di deretan rak buku saja sudah bikin ogah-ogahan.
Sementara versi aplikasi KBBI daring, kamus ini masih tertinggal jauh popularitasnya dengan aplikasi jual-beli barang. Sebut saja salah satu Shopee. Aplikasi ini digunakan oleh 96,5 juta orang pada tahun 2019. Sementara aplikasi KBBI, hingga hari Jumat (26 Maret 2021) pukul 02.52, penggunanya pada kisaran angka 79.850 orang. Padahal, jumlah penduduk Indonesia (dari sensus 2020) ada 270,2 juta jiwa.
Oke, kita lanjut ke persoalan inti. Memaknai kata “akademi”. Saya akan mulai dari asal-usul kata tersebut.
BACA JUGA: Sastra Poshumanistik, Sastra Futuristik
Dulu, kata “akademi” adalah nama sebuah hutan di barat laut dari kota Athena. Letaknya di dekat sungai Cephissus, sungainya para dewa Yunani Kuno. Nama Cephissus sendiri, dalam mitologi pra-Yunani Kuno, juga seorang dewa. Yaitu, dewa sungai. Di hutan itu tumbuh pohon Palatanus Orientalis dan kebun Zaitun. Minyak zaitun yang dihasilkan biasanya dijadikan hadiah dalam Panathenaic Games dan disimpan dalam amphora Panathenaic yang dihias dengan ukiran indah kemudian disajikan kepada para pemenang.
Hutan ini termasuk hutan yang disucikan. Dijadikan tempat pemujaan dewa-desa Yunani. Terutama dewi Athena (dewi kebijaksanaan). Bahkan, sejak Zaman Perunggu, pemujaan dewa Dioskuroi (yakni Castor dan Polideukes) juga dilakukan di hutan ini.
Nama Akademi diambil dari nama pemilik tanah hutan itu. Yaitu, Akadēmos. Dia adalah pahlawan Athena yang menyelamatkan kota itu dari serangan Castor dan Pollux saat mereka itu mengemban misi untuk merebut adik mereka, Helen, dari cengkeraman Theseus, Raja Athena. Namun, saat itu Theseus tidak sedang berada di istananya. Ia malah sedang melancong ke dunia bawah.
Tidak ingin ada darah tertumpah , ia segera menemui dua putra Tyndareus itu. Lantas, memberitahu tempat Helen disekap, yaitu di Aphidnae. Dengan mudah Castor dan Pollux menemukan Helen dan membawanya pulang. Athena pun terselamatkan.
Tindakan Akadēmos mendapat pujian dari warga Athena di tengah krisis kepercayaan kepada rajanya. Ia pun dianugerahi gelar pahlawan. Sikap serupa juga ditunjukkan raja Sparta, Tyndareus. Ayah Helen melarang pasukannya mengusik tanah milik Akadēmos dalam setiap upayanya menginvasi Athena. Konon, di situ pula Akadēmos disemayamkan setelah ia wafat.
BACA JUGA: Menggagas Media Alternatif di Tingkat Desa sebagai Ruang Aspirasi dan Apresiasi Warga
Hutan Akademi atau Ecademia (Ἑκαδημία) nama lainnya, dipugar pada abad keenam SM oleh Hipparchus. Ia membangunkan gimnasia dan tembok-tembok yang mengelilingi hutan. Mendirikan kuil-kuil indah dengan patung-patung yang indah di sekelilingnya. Itu dilakukan untuk mendapat simpati warga Kerameikos. Namun, saat pasukan Persia di bawah pimpinan Xerxes membakar Athena (480 SM), hutan Akademi kena imbasnya. Hutan itu rusak.
Ketika Themistocles naik tahta, pemugaran dilakukan lagi. Ia membangun tembok yang mengelilingi hutan serta membagi Kerameikos menjadi dua bagian. Yaitu, Kerameikos dalam dan Kerameikos luar. Sedang saat Cimon menduduki singgasana, ia menambahkan berbagai fasilitas seperti pasokan air, jalur lari, dan jalan setapak yang teduh. Sehingga, hutan saat itu tampak lebih subur dan indah.
Keindahan hutan Akademi membuat orang-orang betah. Selain datang untuk beribadah, mereka juga berwisata. Seperti yang ditulis Aristophanes, orang-orang yang datang di hutan hanya ingin memanjakan tubuh dan berlama-lama memuja dewa-dewi Yunani. Tidak untuk sebuah diskusi aneh yang kadang bisa berisiko seperti yang dilakukan para filsuf.
Kemunculan Plato menjadi babak baru bagi hutan Akademi. Ia memperluas fungsi hutan. Tidak lagi sebagai tempat berwisata dan pemujaan dewa, malah dijadikan pula tempat kuliah. Saat itu warga Athena dibuat resah oleh aksi pengepungan kota oleh tentara Sparta, antara 405-404 SM. Juga karena perubahan arah politik, pendidikan, dan budaya Athena. Pertentangan kaum Sofis dan Filsuf juga sedang seru-serunya. Sementara para filsuf sibuk mengajar tanpa bayaran, di tempat yang sama, kaum sofis menawarkan kepada orang-orang agar mau mendaftarkan diri sebagai murid privat para sofis. Tentu, tidak gratis. Ongkosnya mahal. Hal ini membuat perilaku sebagian warga Athena berubah. Plato yang masih cukup muda usianya akhirnya tampil dan menghabiskan sebagian masa mudanya di Akademi.
Tampilnya bangsawan cum filsuf masyhur di atas podium intelektual itu menginspirasi para filsuf Yunani lainnya. Abad keempat SM, para filsuf mendirikan perkumpulan intelektual. Antisthenes di Cynosarges, Isocrates dekat Lyceum, Plato di Akademi, Aristoteles di Lyceum, Zeno di Stoa Poikile, dan Epicurus di taman pribadinya. Jika demikian, Akademi bukan satu-satunya perkumpulan intelektual yang ada.
BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?
Hanya karena daya magnet Plato demikian kuat, Akademi dan Plato tampak lebih menonjol. Bahkan menjadi rujukan. Para filsuf rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengikuti kuliah Plato. Sebut saja, Xenocrates dari Kalsedon dan Aristoteles. Keduanya tertarik mengikuti kuliah Plato. Apalagi Plato tidak melarang orang berbeda cara pandangnya. Ia sangat menghargai keragaman cara pandang itu.
Akademi Plato membuat Athena bercahaya kala itu. Daya magnet kota ini makin besar. Sejumlah aktivis intelektual seperti Anaxagoras, Preicles, Parmenides, Zeno, Potagoras, Gorgias, dan lain-lain terpikat oleh pesona Athena. Secara bersamaan, Akademi Plato melejit dan mengalahkan sejumlah perkumpulan intelektual lainnya yang lebih dulu didirikan. Seperti Isocrates, jauh-jauh hari telah membuka kuliah di gedung priadinya di dekat Lyceum. Antishenes juga demikian. Ia telah menyelenggarakan diskusi-diskusi intelektual di Cynosarges.
Akademi semakin mendapatkan tempat manakala murid-murid Plato berperan dalam berbagai bidang. Sebagian mereka aktif dalam kegiatan politik, termasuk revolusi, undang-undang, dan konsultasi politik. Namun, Plato sendiri rupanya tidak pernah mengatakan apa-apa tentang Akademi yang didirikannya itu di dalam surat-suratnya maupun dialog-dialognya. Kata “Akademi” hanya muncul dua kali dalam korpus Platonis, dan dalam kedua kasus itu merujuk pada gimnasium daripada organisasi pendidikan mana pun.
Hal ini membuat sejumlah pakar ragu-ragu untuk mengidentikkan Akademi Plato sebagai “sekolah” atau semacam lembaga pendidikan. Diogenes Laeritus pernah menyebut Akademi Plato sebagai “hairesis”. Kata ini dapat diterjemahkan sebagai “sekolah” atau “sekte”, meski sejatinya kata ini terambil dari kata kerja “memilih”. Maka, sebutan “heiresis” untuk Akademi boleh jadi menandai Akademi sebagai “pilihan hidup” atau “tempat yang terpilih/pengajaran”.
Kebingungan lain muncul, manakala tradisi baru di Akademi berlaku setelah Plato mangkat (347 SM). Ketika itu, Kepala Akademi disebut “scholarch”. Kata ini terambil dari kata “scholē” yang di masa sekarang menjadi akar dari kata “school” yang lazim disebut sekolah. Dari sini, Akademi kemudian diidentikkan dengan sekolah/lembaga pendidikan. Padahal, makna asli dari kata “scholē” arti “waktu luang”.
BACA JUGA: Batik itu Bukan Ilmu Sembarangan Lho, Tenan!
Meski begitu, terdapat kata lain dalam bahasa Yunani yang dapat diterjemahkan sebagai “sekolah”, yaitu diatribē. Penerjemahan kata diatribē merujuk pada makna konotatifnya, “menghabiskan waktu bersama”. Namun, apakah dengan begitu Akademi Plato dapat dikatakan sebagai sekolah? Nyatanya, kegiatan di Akademi selama masa Plato tidak dilakukan dengan rapi. Jadi, tidak bisa digunakan untuk memetakannya ke salah satu konsep lembaga pendidikan kita saat ini. Apakah itu sekolah, universitas, atau perguruan tinggi. Istilah yang mungkin dekat dan dapat digunakan untuk menggambarkan Akademi Plato berasal dari tulisan Aristophanes; phrontistērion yang artinya “think tank”, istilah yang mungkin dapat menggambarkan aktivitas Akademi di masa Plato.
Lalu, apa yang membuat Akademi Plato lantas diterima sebagai cikal bakal konsep lembaga pendidikan? Jawabnya ada pada upaya para pengikut Plato. Sepeninggalan Plato, para pengikutnya gigih memerjuangkan Akademi sebagai identitas. Mereka berusaha menunjukkan jika Akademi mampu melahirkan para sarjana. Beberapa sarjana jebolan Akademi adalah Speusippus, Xenocrates, Polemo dari Athena, Crates, Arcesilaus, Lacydes, Telecles, Evander, Hegesinus, Carneades, Clitomachus, Cicero, Philo, Antiochus, dan sebagainya.
Cara lainnya dilakukan Cicero, Sextus Empiricus, dan Diogenes Laertius. Mereka mengidentifikasikan “Akademi Lama”, “Akademi Menengah”, dan “Akademi Baru”. Mereka menggambarkan perubahan sudut pandang Akademi Platonis dari Speusippus ke Philo dari Larissa. Tampak jelas pula, melalui Arcesilaus, tradisi Akademi mengalami perubahan. Pandangan skeptis menjadi bagian dari pemikiran Akademi yang bertahan melalui Carneades dan Philo dari Larissa.
BACA JUGA: Kebosanan Dikhawatirkan Akan Memicu Penyebaran Covid-19 Lebih Parah
Perang Mithridatic tahun 88 SM dan penyerangan Sulla atas Athena (86 SM) berdampak buruk bagi Akademi dan Lyceum. Namun, para pengikut Plato seperti Cicero, Plutarch, dan Proclus masih kukuh pendirian dengan menyatakan diri sebagai Platonis atau Akademisi. Plutarch, pada abad keempat M, sempat mendirikan sekolah Platonis di kota Athena. Usaha ini dilanjutkan oleh Syria, Proclus, Marinus, Isidorus, dan Damascius, sarjana terakhir dari Akademi ini.
Pada tahun 176 M, Kaisar Romawi dan filsuf Stoa Marcus Aurelius ikut menyebarkan pengaruh pemikiran Platonis dan Akademik. Ia menduduki kursi Kekaisaran untuk memberi ruang bagi pengajaran Platonisme, Stoikisme, Aristotelianisme, dan Epikurisme. Namun, pemegang kursi ini tidak terkait dengan sekolah-sekolah terlantar yang pernah bertemu di dasar Lyceum atau Akademi. Namun niat baik itu terpaksa terhenti. Pada tahun 529 M, Kaisar Romawi Kristen Justinian melarang orang kafir untuk mengajar di depan umum. Sejak itu, perkembangan Neo-Platonisme di Athena terhenti.
Kendati demikian, Akademi Plato merupakan warisan intelektual Plato yang sangat penting. Dari Akademi Plato, kita dapat memahami masalah pendidikan, politik, dan filosofis Plato. Selain itu, sejarahnya juga sangat berharga. Apalagi jika dikaitkan dengan tradisi institusi akademik kita saat ini.
Penggunaan istilah “akademi” dan “akademis” sebagai penggambaran tentang organisasi pendidikan dan cendekiawan selama abad kedua puluh satu menunjukkan pengaruh Akademi Plato. Tidak hanya bagi bangsa Barat, akan tetapi negeri-negeri Timur pun merasakan dampaknya. Tidak terkecuali Indonesia. Padahal, jika mengacu pada sejarahnya, relevansi pemaknaan kata “akademi” sebagai lembaga pendidikan cenderung mengarah pada tradisinya, bukan bentuknya. Sementara, Indonesia tidak memiliki akar sejarah dan tradisi yang kuat dengan istilah yang satu ini. Tetapi, istilah itu lantas dimasukkan ke dalam rupa bentuknya, yaitu lembaga.
Istilah bawaan Barat ini diterima tanpa keberatan dan persyaratan. Akibatnya, menggeser bahkan nyaris menghapus jejak masa lampau pendidikan bangsa sendiri. Istilah-istilah “pesanggrahan”, “sanggar”, “padepokan”, “paguron” dan lain-lain ditinggalkan. Karena dianggap tidak mampu mengikuti perubahan zaman. Bahkan diberi label yang “miring” oleh sebagian kaum intelek negeri ini. Jika murid-murid Plato begitu getol memperjuangkan Akademi sebagai identitas yang resmi, mengapa tidak, hal itu dilakukan pula untuk “padepokan”, atau “pesanggrahan”, atau “sanggar”, atau “paguron”? Atau kita biarkan saja ketelanjuran ini dan menikmatinya dengan riang gembira? Silakan, itu adalah pilihan.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya