KOTOMONO.CO – Angka dan Manusia Jawa agaknya tidak bisa terpisahkan.
Membayangkan sebuah adegan pasangan dari Jawa yang tengah didera asmara. Sudah bertahun-tahun mereka bersama. Hingga di suatu tampuk, mereka memutuskan untuk mengikat kasih asmara itu ke dalam pernikahan. Namun, kisah asmara itu dipaksa untuk pupus. Mereka dipaksa berpisah di tengah asmara yang mengelindaninya. Perpisahan ini disebabkan oleh perhitungan weton kelahiran yang tidak cocok ataupun pas.
Jika dipaksakan, hubungan mereka tidak akan panjang umur. Mereka akan dihantam oleh berbagai cobaan yang tiada terkira. Bahkan, pernikahan itu akan menimbulkan kematian di salah satu pihak keluarga. Alhasil, mereka melepaskan kisah kasih yang telah dilalui bersama. Disertai derai dan isak tangis, mereka menerima dengan lapang bahwa kisah mereka dipatahkan oleh kalkulasi angka.
Kisah mengenai patahnya ikatan asmara karena perhitungan weton kelahiran kiranya karib ditemui. Kisah-kisah tersebut bukanlah hal yang baru. Bermula dari kisah-kisah itu, dapat ditarik sebuah makna bahwa angka dalam kehidupan masyarakat Jawa menempati posisi yang krusial. Angka tidak cukup jika hanya dibaca secara harafiah. Bagi masyarakat Jawa, angka melampaui kodratnya. Ia bukan saja sebuah deretan untuk mengungkapkan jumlah. Angka itu menuntun masyarakat Jawa untuk melakoni kehidupannya.
Laku Kehidupan
Dalam kultur masyarakat Jawa, terdapat penyebutan angka yang menarik, yakni angka selawe (25), seket (50), ataupun sewidak (60). Angka selawe (25) misalnya. Angka selawe menjadi angka yang menentang deretannya. Di tengah sebutannya yang identik dengan likur: selikur (21), ro rikur (22), telu likur (23), dan seterusnya; selawe (25) menjadi berbeda. Patut dipertanyakan, mengapa tidak disebut dengan limo likur? Hal serupa juga terjadi dengan angka seket (50) dan sewidak (60). Jika dicerna, seharusnya sebutan untuk angka 50 ialah limang puluh dan sebutan 60 ialah nem puluh. Namun, realitanya menyatakan lain.
Sebutan terhadap angka-angka tersebut bukanlah hal yang asal. Sebutan-sebutan itu menyuratkan sebuah makna yang layak untuk senantiasa dikisahkan. Lekas dari angka selawe (25) yang mempunyai maksud seneng-senenge lanang-wedok (suka-sukanya laki-laki dan perempuan), seket (50) mempunyai maksud seneng kethunan (suka memakai kopyah), dan sewidak (60) mempunyai maksud sejatine wes wayahe tindak (sejatinya sudah waktunya menemui Tuhan). Angka-angka tersebut bukan saja mengejawantahkan tentang jumlah. Ia juga mengejawantahkan sebuah alarm yang dijadikan sebagai penuntun kehidupan.
BACA JUGA: Makna dan Tuntunan Perilaku Hidup di Balik Pintu Gebyok
Angka dan manusia Jawa kiranya lekat. Angka-angka itu terlibat dalam bahtera kehidupan manusia Jawa. Ia menjadi sebuah rumusan yang kerap kali dijadikan pedoman untuk menunaikan suatu aktivitas. Salah satu wujudnya ialah perhitungan weton kelahiran pada kisah di atas. Selain itu, aktivitas-aktivitas lain juga seringkali melibatkan angka, misalnya kala hendak membangun rumah, membuka usaha, mengadakan acara, dan lain sebagainya.
Perhitungan ini bertautan dengan sistem hari yang diilhami oleh manusia Jawa. Bagi manusia Jawa, terdapat dua sistem hari yang digunakan: sapta wara (tujuh hari: Minggu hingga Sabtu) dan panca wara (lima hari (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing). Masing-masing hari tersebut mengandung angka tertentu. Dengan menjumlahkan ke dua sistem hari (sapta wara dan panca wara) tersebut akan didapati jumlah dengan makna tertentu.
Selain melalui hari, masyarakat Jawa juga kerap menggunakan angka untuk menengarai sebuah peringatan. Misalnya, adanya upacara mitoni yang berfungsi sebagai peringatan 7 bulan kehamilan bayi, adanya peringatan kematian seperti tiga hari, tujuh hari, 40 hari, dan seterusnya. Bagi masyarakat Jawa, angka memuat sebuah makna krusial. Ia bukanlah entitas yang berada di luar diri. Angka ini menjadi entitas yang melekat. Ia menjadi pedoman serta penuntun dalam melakoni kehidupan.
Kearifan
Agung Prabowo (2010) dalam penelitiannya bertajuk “Bilangan dalam Khasanah Budaya Jawa”, mengatakan bahwa Jawa sebelumnya tidak mengenal sistem angka. Sistem angka dalam hal ini ialah angka populis yang karib digunakan kiwari. Kendati tidak mengenal angka tersebut, namun masyarakat Jawa sudah mempunyai sistem tersendiri sebagai katalisator menghitung.
Kata seperti eka, dwi, tri, catur, panca, dan lain sebagainya menjadi salah satu wujudnya. Angka itu hingga kini masih sering digunakan. Penggunaan paling nampak ialah pada nama-nama orang Jawa. Biasanya, angka itu menandai urutan anak. Selain itu, penggunaan angka juga sudah digunakan pada masa Jawa kuno. Hal ini tampak pada penggunaan sengkalan.
BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan
Dalam berbagai prasasti, kitab, serat, ataupun babad; terdapat sengkalan yang menunjukan tahun pembuatan prasasti atau babad itu. Misalnya sengkalan “dwaraning buta sanga” yang termuat dalam Babad Arya Tabanan. Sengkalan tersebut mempunyai arti 959 Saka (1037 Masehi). Ataupun sengkalan “sirna ilang kertaning bumi” yang menyimbolkan tahun 1400 Saka (1478 Masehi).
Keberadaan sengkalan kiranya mengejawantahkan sebuah metode untuk mengungkapkan angka. Angka-angka tersebut diungkapkan dengan gaya yang estetis nan puitis. Hal tersebut sekaligus mempertebal keberadaan sistem angka yang pernah ada di Jawa. Kendati kini telah usang, namun ia terbekukan dalam buku, jurnal, babad, serat dan lain sebagainya. Ia menjadi kearifan lokal masyarakat Jawa dalam menengarai sistem angka.
Angka dan Semesta
Sengkalan menjadi sebuah katarsis bagi masyarakat Jawa untuk mengungkapkan angka. Kendati melalui kata, namun tidak bisa dinafikan bahwa kata dalam sengkalan ialah sebuah wakil dari angka. Secara kultural, angka diyakini mengandung sebuah watak atau karakter. Hal tersebut karib disebut dengan watak wilangan (watak bilangan).
Hal tersebut kiranya tidak berlebihan. Sengkalan kiranya menjadi salah satu wujud yang mengejawantahkan watak-watak itu, misalnya angka satu. Dalam sengkalan, angka satu seringkali menggunakan kata bathara ataupun pangeran. Bathara atau pangeran dalam kultur Jawa seringkali digunakan untuk menyebut Tuhan Y. M. E. Hal ini tentu seirama dengan keberadaan Tuhan yang maha esa, maha satu.
BACA JUGA: Gamelan dan Unggah-ungguh yang Kian Uzur
Ataupun, angka dua. Dalam sengkalan, angka dua seringkali menggunakan kata asta ataupun netra. Asta memiliki arti tangan, sedangkan netra memiliki arti mata. Tangan dan mata sejatinya ialah sepasang atau dua. Alhasil, asta ataupun netra digunakan untuk mewakili angka dua. Dalam contoh lain misalnya. Saya pernah membaca buku primbon Jawa. Dalam buku itu, terdapat angka yang berasal dari hasil penjumlahan hari (sapta wara dan panca wara). Angka hasil tersebut mengandung sebuah watak. Syahdan, watak itulah yang dijadikan sebagai penuntun.
Angka dan watak kiranya bukanlah hal yang baru. Secara teoritis, terdapat sebuah konsep matematika yang mengilhami ihwal angka ialah suratan semesta. Dalam pytaghoras, hal ini kerap disebut “All is Number”. Angka-angka menjadi sebuah wakil atau simbol untuk dijadikan model alam semesta. Jika dicerna, konsep “All is Number” kiranya selaras dengan kedekatan manusia dengan angka.
Sengkala, perhitungan neptu weton kelahiran, akronim dari penyebutan urutan angka, dan lain sebagainya kiranya menjadi ejawantah dari konsep “All is Number”. Bagi manusia Jawa, angka menjadi sebuah nuansa kehidupan. Angka menjadi sebuah suratan irama yang menggambarkan kehidupan. Syahdan, ia terbekukan ke dalam sebuah kata ataupun simbol.