KOTOMONO.CO – Meski tidak terlalu sibuk, boleh dibilang saya adalah orang yang cukup sering bepergian macam anggota dewan. Bedanya kalau mereka bepergian ke luar kota atau luar negeri, saya ke luar kecamatan. Sama-sama ke luar, tapi beda ongkos.
Karena itulah, saya sering berada di jalan raya. Bukan… bukan… saya bukan Silverman, PGOT, atau sebangsanya. Bukan pula pengamen dan pedagang asongan yang kini juga jualan masker.
Saya sekadar pengendara motor biasa. Mungkin sama seperti anda, atau boleh jadi, kita hanya berbeda tumpangan. Mungkin tumpangan anda itu Alphard atau Mersi, sedangkan saya cuma Honda Supra Fit yang sering bermasalah pada busi.
Karena terlalu sering di jalan, saya kerap dibikin dongkol saat melintas Jalan Mas Mansyur dan Gatot Subroto. Bukan sekadar rusak, melainkan ada faktor lain yang bikin urat syaraf saya naik kalau lewat sana.
Mungkin ini perasaan saya saja. Tapi entah mengapa perasaan itu selalu muncul mana kala saya melewati dua jalan itu. Barangkali anda juga merasakannya, cuma kan anda belum tentu sudi mengakui kalau anda itu dongkol. Nah, makanya, ini saya wakilkan.
Jalan Mas Mansyur
Dimilai dari Jalan Merdeka (Monumen, jalan ini adalah jalan yang selalu saya lalui, terutama kalau saya lagi ada urusan untuk pergi ke luar kota (baca: kabupaten). Jalannya sih, kalau untuk ukuran saya cukup mulus. Hanya ada satu, dua, tiga, empat—atau berapa entah, saya lupa—lubang dan bekas ditambal aspal.
Lubangnya memang nggak seberapa, tapi yang nggak seberapa itulah yang kadang bikin lengah. Saya sering salah mengira saat lewat sana. Yang saya pikir di depan jalannya masih mulus, eh tahu-tahu ada lubang, berair pula. Kecopak! Ujung celana saya basah.
Parahnya lagi, Jalan Mas Mansyur ini sering kali macet. Apalagi kalau pas Kamandaka atau Kaligung lewat. Antreannya bisa sampai Masjid Asy-Syuhada. Kadang bisa di pertigaan yang mengarah Jalan Imam Bonjol.
BACA JUGA : Kota Pekalongan Cocok Jadi Kota Wisata, Nggak Punya SDA Nggak Masalah kok!
Pernah sekali waktu, saat saya baru saja ambil uang dari BNI Syariah yang satu kompleks dengan Masjid Asy-Syuhada, baru tancap gas sekian meter langsung disambut truk-truk gandeng yang sudah mengantre. Ketika saya lihat ke arah selatan, ternyata palang pintu kereta apinya tertutup. Alhasil saya pun harus meliuk-liuk manja di antara kemacetan.
Namun, tunggu sebentar, jangan dikira dengan mengendarai motor ramping 110 cc, bisa dengan mudah memecah kemacetan. Tidak semudah itu, Saudara-saudara. Masih banyak rintangan yang lain lagi.
Jadi di sana itu berdiri kokoh toko “Malala”. Konon dengan masuk ke sana, Anda bisa membahagiakan pacar atau istri. Toko itu, setidaknya ketika saya lewat, selalu ramai pengunjung. Di depannya juga berderet warung, walaupun nggak banyak. Dan tentu saja penjual masker sepuluh ribu tiga.
Bayangkan kalau pengunjung “Malala” berdatangan! Tempat parkirnya penuh. Belum lagi ditambah orang yang mendadak berhenti mau pilih-pilih masker, atau sekadar duduk menikmati nasi di warung. Itu akan menambah kemacetan.

Itu baru Jalan Mas Mansyur bagian utara sebelum rel kereta. Mari kita lihat apa yang ada di Jalan Mas Mansyur bagian selatan. Anggapan saya bahwa Jalan Mas Mansyur mulus seketika hilang.
BACA JUGA : Jangan Terjebak dalam Dikotomi Budaya Barat-Timur
Lha mau gimana, yang saya temui itu jalan terjal penuh lubang dan tambal-tambalan aspal. Tentu saja ini sangat tidak cocok dengan keadaan motor saya. Jika ngebut nanti stang motor bakal berguncang dan resiko selang busi lepas, tapi kalau melamban bakal diklakson truk-truk laknat dari belakang.
Akhirnya kalau lewat sana, saya mesti mengatur siasat. Paling tidak, hingga saya bisa lolos dari wisata “jeglongan sewu” tersebut. Lolos dari situ, saya masih pula menemui masalah lagi.
Masih di Jalan Mas Mansyur, tepatnya perempatan Ponolawen. Itu adalah perempatan yang sukses membuat saya ingat kepada Tuhan. Jalannya itu lho sempit banget.
Saya katakan sempit itu karena jalan tersebut dilalui sedikitnya empat jenis kendaraan. Motor, mobil, bus, dan truk. Itu belum terhitung elf, mobil boks, sepeda, dan becak. Sungguh saya nggak bisa ngebayangin, punya nyali berapa orang yang nekat lewat situ pakai sepeda.
Saking sempitnya, tak jarang pengendara motor termasuk saya keluar dari marka jalan. Saya tahu itu beresiko, tapi mau gimana lagi, lampu sedang merah dan posisinya memang harus keluar marka.
Jalan Urip Sumoharjo – Gatot Subroto
Pernah melalui dua jalan ini? Pasti dong, saya yakin anda semua kalau ngaku orang Pekalongan pasti pernah lewat situ. Berdirinya pusat perbelanjaan dan penginapan merupakan perpaduan yang pas untuk menjadi alasan kenapa jalan tersebut selalu ramai. Lebih-lebih kalau malam hari.
Lantaran ramai itulah membuat jalan ini semakin menyebalkan kala saya lewat sana. Betul-betul menyebalkan. Apalagi kalau misalkan tiba-tiba muncul mobil dari parkiran, itu tak jarang bikin kaget juga.
Posisi jalan setelah lampu lalu lintas itu juga bikin dongkol. Karena biasanya pengendara yang datang dari utara dan timur akan saling bersilangan dengan pengendara dari arah selatan atau dari jalan tersebut. Yang dari Jalan Gatot Subroto hendak ke utara acap kali gemrungsung.
Terutama kalau lampu sedang hijau atau kuning. Ya itu bagi saya cukup wajar, karena saya sendiri juga gitu. Lha wong lampu hijaunya cuma sebentar, dan lampu merahnya lama banget. Bahkan bisa bikin Jalan Gatot Subroto macet.
BACA JUGA : Berharap Informasi yang Komplit tentang Gapura Nusantara
Itulah yang bikin jalan ini begitu menyebalkan. Belum lagi kondisi permukaan aspal yang tambal sulam. Kalau Anda numpaknya N-Max atau Pajero yang nggak terlalu merasakan.
Lha saya itu naik motor yang rasa sensitifnya itu melebihi cewek yang lagi pms. Baru lewat satu tambalan saja langsung bergetar semua. Sungguh tidak nyaman sekali di pantat.
Kemangkelan saya nggak cuma sampai di situ. Ketika sampai di Buaran, saya tambah mangkel lagi. Jalan bisa semakin ramai karena di situlah pusat jual beli batik segala motif.
Beberapa meter melewati kawasan batik Buaran, ketemu Pasar Banyurip. Kalau jalannya mulus sih nggak papa. Sayangnya kan tidak.
Jalan Gatot Subroto sendiri merupakan jalan penghubung Kota dan Kabupaten Pekalongan via Kedungwuni. Dan itu dia masalahnya.
Jalan penghubung itu sering bikin saya mangkel setengah mampus. Ya walaupun cuma menyimpan gerutu di balik masker, sih. Mangkelnya tuh gini, saat sedang asyik melaju di jalan yang terbilang mulus itu, mendadak ada pengendara motor main nyelonong nyabrang gitu saja.
Mungkin jalan-jalan lain juga bisa bikin mangkel. Tapi, bagi saya dua jalan tadi yang paling sering bikin saya dongkol. Barangkali kalau di jalan lain permasalahannya cuma macet atau jalan rusak. Lha di dua jalan itu dua-duanya sekaligus!
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.