KOTOMONO.CO – Saya selalu menantikan sosok seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk menjadi seorang pemimpin di Kota Pekalongan. Kalau nggak bisa ya minimal datang ke Pekalongan. Marah-marah karena banjir nggak surut-surut, atau proyek mangkrak sampai merebaknya pemukiman kumuh.
Apa pun pokoknya meluapkan emosi karena nggak becusnya praktik kebijakan. Soal ketika ketemu investor kembali jadi jinak-jinak merpati, bisa diurus belakangan.
Ketika Bu Risma yang Mensos itu datang ke Kota Pekalongan, saya langsung maktratap. Jangan-jangan Tuhan sudah mengabulkan harapan saya selama ini. Jika pun benar begitu, ndilalah atas kehendak Tuhan pula saya nggak bisa ikut menyambut kedatangan menteri yang hobi marah-marah itu. Ya maklumi saja, Bu, sudah lama saya nggak turun meliput acara yang begituan.
Bosen saya, Bu, lagi-lagi yang diomongkan cuma itu-itu doang. Lagi pula, ogah sih saat pandemi gini desak-desakan sama wartawan lain dan warga. Nggak ada jaminan kesehatan, Bu. Biaya tes PCR juga mahal, dan vaksin juga harus antre sampai berkerumun. Mending duduk manis di rumah, nunggu wartawan lain bikin berita klikbet.
Walakin, saya tetap akan mengucapkan selamat datang buat Bu Risma. Selamat datang di kota sejuta harapan. Lha ya tho? Pemkot Pekalongan kan paling suka berharap. Nah bagaimana, Bu? Sudah ketemu banjir belum? Ah, tentu saja banjir bukan urusan Bu Risma. Bu Risma ke sini pasti mau ngecek distribusi bantuan.
Jujur, Bu Risma, saya kaget mendengar kekecewaan sampeyan atas ketidaksesuaian bantuan di Pekalongan. Karena selama ini saya nggak tahu, Bu, suwer deh. Bahkan sampai hari sebelum Bu Risma datang ke Kota Batik, saya masih meyakini kalau bantuan yang diterima itu sudah sesuai lho.
Lha buktinya angka Covid-19 di Kota Pekalongan mulai menyusut. Itu berarti program PPKM ini sangat tepat, dan bantuan sosial lancar. Masyarakat jadi nggak perlu repot-repot cari makan. Bodoamat mau tutup jam delapan kek, jam sembilan kek, kalau sudah ada bantuan sosial, toh hidup jadi lebih aman, sehat, dan sentosa.
Eh, lha kok nggak tahunya Bu Risma datang ke Kota Batik dan menampar kita (Hah, kita? Pemerintah kali) semua dengan bilang begini:
“Memang ini ada masalah di bantuan sembako, di mana memang penerima manfaat ini, bukan hanya di sini, termasuk di beberapa daerah yang saya kunjungi, menurut saya ada ketidaksesuaian antara yang harusnya diterima (senilai) Rp200 ribu dengan barang yang mereka dapat.”
Lho, lho, lho, ini Bu Risma hebat syekali. Berani banget bilang gitu persis di depan Pemkot, padahal belum sempat ditelisik. Lho kok begitu? Gini ya, untuk mencari tahu adanya ketidaksesuaian bantuan bukan perkara gampang lho. Bu Risma telah membuktikan kalau dirinya akrab dengan wartawan. Saking akrabnya sampai ketularan insting para wartawan.
Lopyu, Bu Risma. Selama ini nggak ada lho yang setegas sampeyan. Hambok yaqin.
Fyi aja ya, selama ini Kota Pekalongan baik-baik saja, lho. PPKM berjalan sebagaimana mestinya, nggak ada perlawanan sampai pemberontakan berarti. Hoaks bisa ditangani secepat kilat. Bantuan lancar. Vaksin mulai berjalan, dan puncaknya angka positif Covid-19 di sini menurun.
BACA JUGA: Berterimakasih pada Lampu Penerangan Jalan atas Jasanya Membuat Angka Covid-19 di Pekalongan Menurun
Masyarakat Kota Pekalongan yang semula senang bukan kepalang mendengar berita-berita baik, belakangan ini harus kembali bermuram durja karena Bu Risma datang dan menemukan ketidaksesuaian bantuan. Bu Risma menyadarkan masyarakat Kota Batik, bahwa bukan hanya angka positif Covid-19 saja yang menurun, tapi nilai bantuan sosial juga.
Saya salut sama Bu Risma. Selama ini Kota Pekalongan butuh sosok seperti belio yang mau memikirkan hal-hal kecil. Iya, kan? Menghitung nilai sembako bantuan itu kan hal remeh yang biasa dilakukan penjaga warung, bukan walikota yang dipanggil ke istana. Bahkan saking remehnya, masyarakat nggak sadar sampai-sampai bisa dibohongi.
Belio bukan hanya sosok menteri yang hobi marah-marah, tapi sekaligus teliti. Bu Risma ini teliti banget sampai paket bantuan kurang dari Rp 200 ribu saja ketahuan. Jika Bu Risma seorang dosen, saya yakin nggak bakalan ada mahasiswa yang mau dibimbing skripsi sama belio.
Mau belio mengakui dirinya politikus atau bukan, apa yang dikatakan Bu Risma sudah sesuai koridor pejabat publik. Pemkot Pekalongan memang sesekali butuh disentil atasan kayak Bu Risma ini. Enak saja mimpin Kota Pekalongan kok adem ayem gini, harus ada geger gedhen dong! Iya kan, Bu Risma?
Hal itu nggak boleh ditafsirkan sebagai upaya menjatuhkan marwah Pemkot di depan para warganya. Tapi lebih kepada koreksi dari sosok penting kayak Bu Risma. Lha selama ini kan Pemkot Pekalongan cuma didukung sama didoakan tokoh penting saja. Nggak ada gitu yang mengoreksi atau mengkritik, kecuali Bu Risma.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pemkot Pekalongan Punya Buzzer
Satu-satunya orang lokal yang mengoreksi dan mengkritik Pemkot Pekalongan ya masyarakatnya itu sendiri. Tapi kan masyarakat bukan orang penting.
Waduh, sayangnya Bu Risma udah balik ke habitatnya, ya. Padahal andai saja Bu Risma mau nginep di Kota Batik sampai sebulan atau dua bulan ke depan saja, belio bisa melihat perkembangan bantuan sosial di sini. Apakah masih kurang dari Rp 200 ribu atau nggak (atau malah ditambah? Ya kali). Bu Risma pun bisa mengecek harga sembako secara berkala ke pasar, eh bukan, maksudnya pasar darurat di Kota Pekalongan.
Siapa tahu Bu Risma masih belum sadar kalau harga sembako itu bagaikan lift. Apalagi di musim serba nggak menentu seperti sekarang ini. Eh, sebentar, tapi Bu Risma beneran sadar kan kalau hidup masyarakat kini sedang diombang-ambing? Takutnya jebul Bu Risma yang datang ke Kota Pekalongan itu makhluk luar angkasa yang datang dari Galaksi Andromeda.
Tak mengapa, Bu. Saya paham kok kalau Bu Risma harus melesat pulang ke kantor Kemensos. Toh pekerjaan di sana sudah menanti. Lho, pekerjaan apa? Ya pekerjaan mencari gelandangan, sidak, memarahi PNS, mengacungi jempol dan apalagi, Bu? Saya kok lupa, je.
Hihihi…