KOTOMONO.CO – Kadang, kita merasa baik-baik saja, padahal kita hanya terlalu takut untuk mengakui kalau ada yang harus diperbaiki. Buku ini nampol banget.
Kalau kamu mengira saya akan mengulas film garapan Ernest Prakasa, tebakanmu salah besar. Imperfect yang saya maksudkan kali ini adalah buku karya Meira Anastasia, istri Ernest. Sebenarnya buku ini menjadi cikal bakal film Imperfect juga, namun kali ini kita fokus ke buku (karena saya belum nonton filmnya hehe).
Berangkat dari rasa insecure dengan keadaan fisik dan keberhasilan berdamai dengannya, Mei memutuskan menulis buku ini untuk berbagi pengalaman dan mengajak kita belajar mencintai, menghargai, menerima, dan berdamai dengan tubuh kita. Jadi, alih-alih menjadi buku motivasi, Imperfect lebih layak dikatakan sebagai jelmaan teman berdamai dalam bentuk kalimat.
Disadari atau tidak, media sosial kerap menjadi biang kerok masalah hidup. Komentar negatif yang dimaksudkan sekadar guyon, tidak untuk menyinggung, bisa disalahartikan dan melukai perasaan. Apalagi mereka berkomentar hanya berdasarkan foto atau video, dan kebanyakan berasal dari orang-orang yang tidak kita kenal.
Tidak berbeda jauh dengan dunia maya, realita juga tak kalah menyebalkan. Orang yang saban hari ketemu dan mengenal kita dengan baik pun bisa melontarkan komentar negatif. Bahkan body shaming juga dilakukan oleh keluarga sendiri yang notabene lebih mengenal kita luar dalam.
BACA JUGA: Rekomendasi Novel yang Bisa Bikin Kamu Sesenggukan Banjir Air Mata
Sebenarnya kita bisa mencegah diri kita untuk tidak berkomentar negatif dengan memikirkan tiga hal. Pertama, apakah komentar tersebut bisa membuat kita bahagia? Kedua, apakah komentar tadi bisa membantu kita memecahkan masalah kita? Terakhir, apakah kita akan merasa senang jika orang lain melontarkan komentar yang sama untuk kita?
Jika dirasa komentar kita bisa membawa kebaikan untuk orang lain, kita bisa mengungkapkannya dengan cara yang baik. Karena komentar negatif tentang fisik bisa berdampak negatif pada “korban”, jika “si pelaku” melakukannya untuk kebaikan “korban”, bukan untuk kepuasan “pelaku” secara pribadi. Dengan catatan, tidak melalui ejekan dan kata menyakitkan, melainkan dengan kasih sayang juga empati.
Seperti yang diceritakan Mei ketika mereka tinggal di Bali. Saat itu Ernest dengan terus terang mengatakan bahwa ia mulai gendut dan tidak merawat diri. Ernest merasa Mei berubah ke arah yang tidak baik. Mei abai dengan penampilannya, tidak menjaga tubuh, dan selalu murung ketika bercermin.
BACA JUGA: Tentang Sosok Kinan, Si Wanita Tangguh dari Novel Laut Bercerita
Sekalipun disampaikan dengan sangat hati-hati, Mei marah dan sakit hati. Ia merasa sedih, tidak menarik, tidak dicintai lagi, terbuang, dan sendirian. Mei pun memilih menenangkan diri dan menangis sejadi-jadinya. Ketika sudah mulai tenang, ia kemudian mengajak Ernest berdiskusi. Mengobrolkan apa yang Ernest maksudkan hingga menemukan titik terang.
Benang ruwet akhirnya terurai. Ternyata sumber utamanya ialah Mei merasa terlalu lelah untuk mengurus dirinya sendiri. Dia sudah cukup capek mengurus rumah dan anak tanpa bantuan ART. Akibatnya, Mei merasa berhak mendapatkan sejumlah makanan sebagai balasan kerja kerasnya hari itu.
Makanan menjadi reward untuk setiap keberhasilan Mei melewati harinya. Kebiasaan ini terus berulang sampai pada titik yang mengkhawatirkan bagi Ernest. Setelah diskusi tersebut, Mei secara sadar mengakui masalah yang ia punya.
“Kadang, kita merasa baik-baik saja, padahal kita hanya terlalu takut untuk mengakui kalau ada yang harus diperbaiki. Takut mengakui ada yang salah dengan cara kita menjalani hidup. Takut karena harus berubah.” (Hlm. 31)
Memang ada beberapa hal yang secara mutlak tidak bisa kita ubah semau kita. Perlu langkah continue atau tindakan operasi kosmetik. Misalnya seperti bentuk hidung, mata, skin tone, payudara, dan lainnya. Perubahan pun dilakukan demi keindahan semata, bukan kesehatan.
BACA JUGA: Janji Bukan Sekedar Janji dari Novel Terbaru Tere Liye
Pun dengan bentuk tubuh. Orang seringkali mengeluh tidak nyaman dengan proporsi tubuhnya tapi tidak melakukan apa pun. Padahal konsekuensi dari setiap hal yang ada pada tubuh kita hanya dua, terima atau berubah. Berubah untuk menjadi lebih baik dan sehat dengan cara yang baik dan sehat pula.
Pertanyaannya, mulai dari mana?
Banyak yang bertanya seperti itu saat ingin melakukan perubahan. Kita selalu punya banyak cara untuk mencari alasan, atau untuk menunda. Dan Ernest bisa menjawabnya dengan simple, yaitu dengan menghapus semua kalimat pertanyaan itu kecuali kata mulai. Mudah bukan?
Perubahan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan secara fisik saja. Lebih dari itu, perubahan mindset jauh lebih penting. Semisal rekonstruksi ulang alasan berubah. Bukan untuk siapa tetapi untuk apa. Alasan-alasan yang kuat bisa menjadi pondasi kokoh ke depannya.
Namun lagi-lagi, saat tengah berjuang kita bisa kembali patah karena media sosial. Kembali membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang tampak sudah “berhasil”. Padahal kita hanya melihat saat itu saja.
BACA JUGA: Potret Patriarki di Tanah Papua dalam Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf
Kita tidak tahu bagaimana mereka secara keseluruhan. Proses apa yang sudah dilalui, atau kerepotan yang ia sembunyikan dibalik postingannya. Padahal, di balik hal yang tampak menyenangkan selalu ada hal yang diperjuangkan. Progres membutuhkan proses.
Buku dengan tebal 172 halaman ini wajib dibaca karena selain membedah insecurity secara teori, juga dilengkapi panduan workout. Tutorial ini disertai dengan penjelasan yang cukup rinci serta foto posisinya. Ada juga tips diet yang bisa dilakukan saat program “berubah” berlangsung.
Sayangnya, Imperfect cenderung fokus pada orang dengan tubuh besar untuk menjadi ideal. Hal ini bisa jadi karena sesuai dengan pengalaman penulis. Padahal banyak juga orang insecure karena tubuhnya terlalu kurus.
Lebih penting dari itu, seperti yang saya katakan di awal, Imperfect bagaikan teman kita untuk berubah. Dikemas dengan bahasa yang ringan dan tidak menggurui. Membacanya membuat kita enjoy namun penuh insight.