KOTOMONO.CO – Bukan nyawa yang diburu oleh corona. Tetapi, matinya sosial. Pemberitaan yang porsinya terlalu besar, tetapi tak diimbangi dengan bekal pengetahuan yang cukup perihal apa yang diberitakan, tampaknya berdampak kurang baik bagi beberapa orang. Seperti yang dialami oleh saya sendiri dan beberapa orang sahabat baik saya.
Begini ceritanya. Mula-mula, beberapa warga kampung saya mulai resah begitu mendengar kabar tentang kepulangan sejumlah warga kampung dari luar kota dan luar negeri. Keresahan mereka itu wajar. Apalagi di tengah-tengah kabar yang demikian ramai mengenai wabah itu. Tentu, saya tidak bisa menyalahkan.
Beberapa di antara mereka yang khawatir itu kerap menanyakan pada saya tentang apa yang mesti dilakukan. Saya pun menjawab, “Ya, kita ikuti saja protokol yang sudah diberikan pemerintah.” Lantas, saya menjelaskan secara tuntas isi protokol itu ketika berhadapan dengan pemudik yang pulang dari luar kota dan luar negeri. Mereka paham. Mereka sepakat.
Tetapi, tak mudah rupanya untuk membuat semua paham dan mengerti situasi ini. Terutama, keluarga dari pemudik ini. Saya pun tak bisa menyalahkan mereka. Itu sikap dan reaksi yang wajar. Mengingat, kesan yang tertangkap masyarakat terhadap berita-berita tentang wabah ini begitu mirisnya. Tentu, mereka khawatir kalau-kalau pemudik yang merupakan anggota keluarga mereka itu didiskriminasikan. Dipandang sebelah mata oleh para tetangga. Dikucilkan dan diasingkan.
Tak heran jika kemudian salah seorang dari mereka mengajukan keberatan pada saya. Meminta saya agar tidak melaporkan anggota keluarganya yang mudik itu. Saya pun lantas berusaha menjelaskan semuanya. Bahwa apa yang menjadi kewajiban saya memang mesti dijalankan. Saya pun berusaha menjamin, bahwa di kampung ini tidak akan ada warga yang melakukan diskriminasi terhadap anggota keluarganya.
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 1
Ia pun lega. Bisa menerima penjelasan saya. Tetapi, memang itu belumlah tuntas. Saya masih harus memberi pemahaman kepada warga lainnya. Setidaknya, agar sama-sama menjaga kerukunan. Jangan sampai gara-gara wabah ini membuat kerukunan antarwarga pecah. Jangan sampai ada pengucilan. Apalagi belum ada bukti, apakah si pemudik ini memang terjangkit atau tidak.

Di lain pihak, saya juga mesti dihadapkan pada kenyataan lain. Ada beberapa warga yang menganggap enteng wabah ini. Terhadap sikap yang begini, saya pun tidak bisa begitu saja menyalahkan. Saya mesti tahu terlebih dahulu, apa sebabnya dan bagaimana cara pandangnya.
Oh, saya mengerti. Sikap ini, terutama sekali disebabkan oleh cara pandangnya yang sebenarnya sangat sederhana. Bahwa hidup-matinya seseorang itu sudah berada di dalam garis takdir. Tuhan adalah penentunya. Maka, prinsipnya, semua mesti kembali pada Tuhan.
Saya tidak menafikan itu. Pandangan itu tidak keliru. Saya sendiri pun selalu berusaha memegang teguh pandangan itu. Tetapi, saya mesti memahami perasaan orang lain yang punya cara bersikap lain dengannya. Mereka yang lain itu, saya yakin punya keyakinan yang sama. Bahwa Tuhanlah penentu segala keputusan. Tetapi, rasa cemas, takut, khawatir akan keselamatan dirinya dan juga orang-orang di dekatnya juga perasaan yang sangat manusiawi. Maka, pembelaan saya terhadap yang cemas itu semata-mata bukan dalam rangka membenarkan ketakutan mereka. Sebaliknya, karena saya memiliki keterbatasan. Artinya, saya tak mungkin bisa meyakinkan orang lain untuk punya sikap yang sama dan seragam.
Maka, yang bisa saya lakukan adalah mengakomodir kegelisahan itu dalam rangka memberikan ketenangan kepada mereka yang cemas. Sementara kepada yang memiliki keyakinan batin yang mantap, saya berusaha meminta agar mereka mengerti keadaan ini. Malah, kalau mereka bisa ikut membantu meyakinkan yang cemas, saya bersyukur. Bukan malah merendahkan dan memandang bahwa mereka yang dalam kecemasan itu seolah-olah tidak memiliki keyakinan. Sama sekali itu bukan sikap yang tepat untuk saat ini. Sebab, sikap demikian bisa saja akan menajamkan kesenjangan. Warga kampung lambat laun akan terbelah. Seolah-olah ada gap antarkelompok yang diciptakan oleh rekayasa sosial di tengah warga.
Baca juga : Pendemi Corona VS Pancasila Bangsa Indonesia
Jalan terbaik saat ini adalah berusaha untuk saling menghargai tiap perasaan dan pandangan. Sebab, yang sesungguhnya kita hadapi bukanlah wabahnya, melainkan perasaan ego kita. Peristiwa wabah ini mesti menjadi pelajaran berharga, bagaimana kita tidak mengalami kematian sosial. Maka, bukan saatnya untuk merasa lebih unggul dalam soal keyakinan atau rasa keberaniannya. Tetapi, mari kita sama-sama memperbaiki yang mungkin saja keliru kita jalankan selama ini. Saling mengasihi, menyayangi, dan berbagi untuk bisa saling merasa apa yang dirasakan oleh orang lain.