Baru saja saya dikirimi informasi menarik berkaitan dengan kasus yang akhir-akhir ini bikin geger dunia. Informasi itu berkenaan dengan beberapa negara yang berada di kawasan iklim tropis. Kasusnya masih dalam jumlah ratusan dan puluhan. Korban meninggal hanya puluhan. Diyakini, mereka ini menggunakan cara mereka dalam menanggulangi wabah yang sedang viral itu. Tidak terlalu mau disetir oleh organisasi raksasa yang mengatasnamakan sebagai perwakilan dunia itu.
Saya jadi ingat kisah mitologi Jawa. Dalam mitos Jawa ada tokoh yang namanya Betara Kala. Wujudnya raksasa. Ia penguasa dunia kegelapan, penguasa dunia bawah. Setiap kali ada pagebluk, ia selalu muncul dan membuat teror. Menguasai cara berpikir manusia agar cekam dan takut, dengan informasi-informasi yang nggegirisi atau menakutkan.
Ia juga meminta banyak persembahan. Kalau tidak dituruti, maka ia akan menjadi-jadi dan bisa memperparah keadaan. Semakin menggencarkan terornya. Berbagai ancaman dilancarkan. Kalau dituruti, ia akan pergi dengan membawa persembahan itu lalu berpesta pora. Jadi, sama sekali tak ada keuntungan untuk orang-orang yang telah diterornya itu.
Maka, jalan satu-satunya, dalam mitologi Jawa, ia harus dilawan. Dengan cara apa? Dengan cara menghadirkan tokoh sepadan yang juga memiliki kemampuan dan kesaktian. Tentu, kesaktiannya bisa mengungguli Betara Kala. Ia diajak bertarung sampai akhirnya ia mengaku kalah dan pergi tanpa membawa apapun, kecuali kekalahan dan mukanya yang menanggung malu.
Ya, watak Betara Kala tidak akan pernah berubah sampai akhir zaman. Watak jahatnya akan kekal. Ia akan kembali lagi di saat yang menurutnya tepat. Kembali merusak dan menteror lagi.
Cuma, dalam keadaan chaos ini, tidak dipungkiri ada pembisik-pembisik raja yang kadang justru memilih membela kepentingan Betara Kala. Menyarankan agar sang raja memenuhi permintaan Betara Kala. Mereka ini biasanya tipikal orang-orang yang tak mau dirugikan. Mungkin tak mau kedudukannya jatuh, bisnisnya bangkrut, bahkan tak mau mati karena kemarahan Betara Kala.
Mungkin juga ia bukan penganut atau penyembah Betara Kala. Tetapi, hatinya plin-plan. Karena yang dibela bukanlah kepentingan rakyat dan keamanan negaranya. Melainkan kepentingan pribadinya. Ya, ia cuma seorang yang menuhankan gengsi pribadinya. Inilah yang menjadi ganjalan.
Maka, sangat dibutuhkan pula tokoh yang bisa mengatasi masalah pecundang ini. Dalam mitologi Jawa, tokoh Panakawanlah yang menjadi tandingannya. Rombongan ini dipimpin oleh Ki Lurah Semar. Pertanyaannya sekarang, kemanakah perginya Ki Lurah Semar? Sudah lama ia menghilang dari peredaran. Mungkinkah ia marah karena sudah lama dicuekin? Ataukah ia sengaja bersembunyi karena tahu keadaannya serba tak menentu? Tetapi, apa dia tak melihat betapa malangnya nasib orang-orang kecil? Tersiksa oleh keadaan yang sama sekali tak mereka pahami.
Ki Lurah Semar! Jika kau masih ada, muncullah! Jewer kuping mereka yang sedang duduk di kursi kekuasaan itu! Ingatkan pada mereka, tentang apa yang mesti mereka lakukan. Beri teguran keras pada mereka, tentang apa yang seharusnya mereka perbuat. Tunjukkan pada mereka, apa akibatnya kalau mereka terus-terusan begini, Semar!
Semar! Di gunung sebelah manakah kau bersembunyi? Keluarlah! Kami tak kuasa memberikan teguran pada penguasa. Kami dibungkam seribu kata. Sementara mereka ngoceh begitu lancarnya sampai berbusa-busa. Semar! Jangan diam saja!
Petruk, mana Petruk? Gareng, mana Gareng? Bagong, mana Bagong? Apa kalian tak juga gelisah? Katakan pada Ramamu. Tentang kabar akhir-akhir ini. Aku mohon. Plis…!
Lihatlah! Betara Kala sudah merajalela. Togog menari-nari. Sementara kami dalam ketidakpastian. Kalian tega?
Semar! Keluarlah kau!