Matahari sudah menebar terik yang berpendar ke segala arah. Tatkala jendela kamar sudah terisi cahaya, kantuknya telah pergi dan berganti dengan persiapan untuk rutinitas bekerja dan meratapi. Oh, untung saja hari ini tidak ada panggilan menguruk tanah. Namun ada saja pekerjaan rumah yang tetap harus dikerjakan.
Setelah bangun tidur Dia beranjak ke dapur. Mengenakan sarung dan sepatu bot. Sejenak ia teringat pada penggalan lirik band beraliran folk asal Bali , Dialog Dini Hari. Persis ketika langkahnya tertahan di pintu dapur.
Kepulan dan aruma masakan menyeruak dari dapur. Ibunya tengah memasak. Seolah mengisyaratkan dia bukan orang miskin. Meski dia hidup serba pas-pasan. Rumahnya acap kali kebanjiran.
Kepalanya sedari tadi terngiang lagu Tentang Rumahku. Bibirnya mengembang melihat keadaan rumahnya seperti pada bait pertama lagu itu, “Tentang rumahku, diujung bukit karang yang berbatu”. Air rob bersimbah memenuhi seluruh ruangan rumahnya.
Ia bermimpi, rumahnya di ujung bukit itu bergaya arsitektur modern. Mungkin industrialis. Atau mungkin juga bergaya tradisional bertengger gagah diujung bukit. Walau jauh dari para tetangga. Khayalan itu, sampai membuat televisi pagi iri. Ia berpikir jika dirinya masih menjadi lelaki tangguh yang mesti mempertahankan rumahnya dari berbagai musim yang telah berlalu.
Baginya, “situs bersejarah” tersebut mesti dipertahankan. Dibangun lagi sebagaimana rumahnya yang kian tenggelam. Ia masih akan tetap berjuang demi rumahnya itu.
Bencana rob ini baginya sebentuk cobaan. Dia anggap sebagai bentuk tanggung jawab bersama antara rakyat dan negara. Namun dia amat percaya kepada negara. Mungkin karena pemilu kemarin. Terlebih musim pilkada seperti ini.
Tak berselang lama, ibu mengantarkan kopi panas untuknya. Ia mulai menikmati secangkir kopi itu. Rasanya sedikit manis bercampur rasa asin yang ditimbulkan dari bau air yang menggenang. Ia mencoba menikmati suasana yang begitu rileks ini, dan mengevaluasi tentang kebutuhan yang telah menipis serta kesalahan-kesalahan di masa lampau.
“Ah, hidup, hidup. Walaupun banyak tanggungan, tapi ngopi gini aja udah nikmat banget,” ujarnya.
Ia nyalakan sebatang rokok. Cukup beberapa hisapan sembari meratapi gambaran masa depannya. Baginya, jika Tuhan belum berkehendak, menyerah bukanlah sebuah pilihan. Tak berselang lama, Ibunya ikut duduk di ruang tengah yang riuh oleh suara genangan dan ombak-ombak kecil beriak akibat langkah kaki.
“Ndung, ini kenapa ya pemerintah sekarang kok tidak peduli dengan nasib kita?” Tanya Sang Ibu yang membuka obrolan.
“Bukannya nggak peduli Bu, pemerintah sekarang lebih sibuk mengurusi kualitas air yang menggenangi rumah-rumah kita. Agar setidaknya air yang menggenang tidak terlalu berefek buruk untuk kita. Seenggaknya tidak membuat kita jadi gatal-gatal. Ibu tidak perlu khawatir dengan bencana ini, kita bisa mengubahnya menjadi rasa syukur yang besar.”
“Dengan cara apa? Melihat dari hari ke hari kita semakin dikejar air?”
“Percaya dengan pemerintah, Bu. Lihatlah proyek tanggul raksasa yang sudah terbukti menghilangkan banjir rob di kecamatan sebelah. Terus kawasan-kawasan rumah rusak yang katanya bakal jadi waduk hijau berair payau. Hanya warga-warga tolol saja yang menolak adanya proyek strategis nasional itu.”
“Jadi begitu ya ndung? Kamu lebih pro-pemerintah?” Jawab Ibunya yang mengernyitkan dahi melihat anaknya yang sepertinya sudah teracuni asumsi-asumsi buzzer akibat sering menganggur daripada bekerja.
“Sudah pasti, Bu. Pilihan politikku jelas akan memberikanku semangat dan etos kerja lebih. Proyek strategis nasional tadi pasti akan mengatasi masalah rumah kita yang sudah seperti rumah kurcaci ini, Bu” Jawabnya yang mulutnya seringan mulut politikus.
“Lha kenapa kamu masih menganggur?” Ibu kembali bertanya, seakan ingin mengskakmat anaknya sendiri.
“Pasti ada alasan lain, Bu,” dia sedang mencoba mengalihkan supaya argumennya keluar sebagai pemenang.
Tanpa terasa batang rokoknya kini telah habis. Selera berdebat dengan ibunya pun sirna. Sementara, mata ibunya tampak sayu. Namun tentang rumah, mereka masih bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut untuk sesaat. Hingga perdebatan pun selesai. Sang ibu melerai dan mengajak sarapan pagi dengan telur ceplok dan sebotol saus tomat. Nasi yang sudah tanak, meski belum kelihatan pulen.
*****
Banjir rob masih enggan surut setelah pagi tadi air pasang. Beberapa rumah tetangga setengahnya sudah tertimbun tanah. Dan sudah tak berpenghuni. Sisanya, hidup seperti di rumah kuraci setiap hari..
Truk-truk pengangkut tanah dan sampah jadi pemandangan setiap hari. Jalan-jalan berlubang dan rompal tak kuat menahan beban dari kendaraan yang lmilintas. Sawah-sawah, kebun kelapa, dan tanah lapang telah menjela seperti tambak kala air tengah pasang.
Air dari sumur-sumur warga sudah berubah rasanya dan tak terpakai. Permukaan tanah menurun karena tak kuasa menahan kejamnya pengeboran. Diam-diam pemerintah sedang menyiapkan sebuah proyek pelebaran muara sungai untuk wisata. Proyek yang pada akhirnya membuat banjir kian tak terbendung.
Semuanya terencana dalam skenario konspirasi penenggelaman daerahnya sendiri. Kini warga kampungnya yang sedang lupa menanti jawaban. Ini salah siapa? Semua orang berpikir, ini hanya ujian dari Tuhan. Barangkali Tuhan sedang asyik tertawa. Melihat para lakon dan wakil rakyat itu merusak tempat berpijaknya sendiri.
*****
Tak terasa, keluarga mungil ini telah menandaskan sarapan pagi dengan lauk ala kadarnya. Maklum, disamping ibu dan anak ini pengguna kartu kesejahteraan dan berpenghasilan pas-pasan, sebagian besar penghasilan mereka habis untuk membeli tanah untuk meninggikan rumah. Bagi mereka, tanah sudah menjadi semacam trendsetter baru kampungnya.
Usai sarapan, ia menyulut batang rokok., Bagaimanapun lega rasanya setelah makan dapat langsung menghisap rokok dengan begitu nikmat. Sementara ibunya mengakhiri sarapan dengan minum teh hangat. Lamunan kembali menghinggapi matanya. Kali ini sang ibu kesal.
Prang.
Sang ibu membanting piring seng. Anaknya seketika kaget mendengarkan bunyi tersebut. Khayalan rumah di atas bukit seketika sirna tatkala bayangan air rob langsung menggenang di matanya.
“Apaan sih nggak jelas banget Bu!” Tanya Sang Anak dengan ekspresi kesal.
Ibunya tidak menjawab dan hanya tertawa lepas ketika berhasil mengerjai anaknya lagi.
“Ibu nggak berpikir cara memperbaiki nasib kita?” anaknya bertanya dengan ekspresi sebal.
“Ya gimana, untuk sekarang memang harus terima nasib Ndung!” Jawab sang Ibu dengan santai selepas tertawa tadi.
“Maksudnya nanti kita tinggal di mana, Bu? Siapa yang mau mengurus kita yang kurang mampu ini?” Ia mulai sebal.
“Mana Ibu tahu, kan harusnya itu tanggung jawabmu bukannya pemerintah,” jawab ibu sambil terkekeh.
Wajahnya bertambah muram dengan kejahilan Sang Ibu. Mulutnya hendak meluapkan amarah. Dia tidak terima ucapan ibundanya sendiri.
“Kok Ibu begitu sih! Lalu bagaimana dengan nasib keturunanku nanti Bu?” Tanyanya dengan ekspresi tersinggung.
“Nanti anak cucumu akan tinggal di kapal ruang angkasa Ndung. Kerja serabutan saja males-malesan, pendapatan naik turun kok mengharap keturunan hahaha…” Ibunya semakin terbahak melihat anaknya marah karena diejek. Tawa lepas Sang Ibu membuat geliginya yang bolong-bolong terlihat serasi dengan nasibnya saat ini.
Dari arah luar, langit tertutup awan-awan yang menahan terik matahari. Terdengar dari rumah tetangga yang memutar lagu dengan keras hingga terdengar jelas ke telinganya. Lagu itu memutar milik band Nosstress dengan iringan riuh pagi aktivitas manusia. Oohh… pernah dengar… Endonesa..