KOTOMONO.CO – Hotel Santika Pekalongan, pukul 08.30 di hari Rabu (16 Juni 2021) yang agak mendung. Saya baru saja tiba. Bergegas menuju meja resepsionis, menanyakan tempat acara. Surat undangan berkop Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga yang saya terima via Whatsapp itu tak mencantumkan nama ruangan untuk acara mereka.
Dengan standar keramahan ala hotel, resepsionis memberi tahu saya ruangan yang saya maksud. Lengkap dengan petunjuk jalan yang harus saya lewati. Saya ikuti petunjuk itu dengan agak tergesa-gesa. Berkejaran dengan waktu, karena saya pikir sudah amat terlambat. Ya, undangan itu mematok waktu pukul 08.00. Artinya, acara sudah dimulai setengah jam lalu, pikir saya.
Lekas-lekas saya menaiki lift menuju lantai 3. Sesampai di lantai itu, saat pintu lift terbuka, tampak di hadapan saya orang-orang tengah berdiri di koridor yang agak luas. Mereka mengantre untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kehadiran. Saya ikut menyusul.
Rupanya bukan saya saja yang terlambat. Tetapi, banyak orang yang datang melebihi waktu yang ditentukan. Alhamdulillah, pikir saya.
Tanda tangan, saya bubuhkan pada selembar kertas putih berkolom-kolom. Sebuah tote bag hitam berbahan spunbond lengkap dengan isinya disorongkan penerima tamu pada saya. Setelah semua selesai, saya segera memasuki ruangan yang ditunjukkan.
BACA JUGA: Perjalanan Menegangkan Saat Membelah Hutan Petungkriyono
Warna krem yang berselang-seling dengan warna abu-abu muda tampak menonjol pada semua sisi dinding ruangan. Lantai karpet berwarna dasar biru tua dengan ornamen potongan-potongan garis berwarna kuning, putih, dan toscha itu memberi kesan elegan. Di bagian depan ruangan, tampak panggung kecil setinggi 30 sentimeter. Empat buah kursi sofa, sebuah meja, dan podium di atas panggung masih tampak kosong.
Ah, makin plong rasanya! Acara belum dimulai. Lekas saya cari tempat duduk.
Tampak di hadapan saya kursi-kursi berderet dilengkapi meja. Semuanya dilapisi kain penutup yang rapi. Sejumlah tamu tampak sudah duduk di tempatnya masing-masing. Ada beberapa yang saya kenal. Tetapi, rupanya lebih banyak yang belum saya kenal. Di antara yang saya kenal adalah Bos saya di RKB. Ada juga Bos Radar Pekalongan, Kang Asep yang duduk bersebelahan dengan bos Batik Fadlan, namanya Fadlan Adi Daya.
Seketika tatapan kami bertabrakan. Kang Asep langsung menyapa. Kami pun berbagi senyuman, berjabat tangan dan saling menanya kabar.
“Lama saya nyari kamu loh!” sapa Kang Asep.
Pertanyaan itu membuat saya sedikit geli. Selama ini, saya tak kemana-mana. Masih di Kota Pekalongan. Masih di Landungsari.
“Sekarang tinggal di Kedungwuni kan?” lanjut Kang Asep.
“Kata siapa? Saya masih di Landungsari, Kang!” jawab saya.
“Kirain sudah pindah?” balas Kang Asep.
Ah, terlalu sayang untuk meninggalkan kota kelahiran, batin saya. Dulu, selama di rantau, memang sempat takut pulang kampung. Pergaulan saya di kota rantau cukup menjanjikan. Banyak teman yang bisa saling mendukung satu sama lain. Atmosfernya begitu liat saya gauli. Rasa-rasanya terlalu sayang untuk saya tinggalkan.
BACA JUGA: Berterimakasihlah kepada Pak Guru Perekam Video Matahari Terbit di Utara
Tetapi, sejak akhir tahun 2009, ketika saya memutuskan balik kampung, relasi dan jejaring yang sudah saya bangun itu terpaksa saya putuskan. Saya mulai lagi dari nol, di kota kelahiran. Meski harus tertatih-tatih.
Sekarang, setelah lebih kurang 12 tahun, rasanya teramat sayang jika saya harus meninggalkan kota kelahiran ini. Ada banyak hal yang belum tergarap di sini. Masih sangat banyak.
“Ah, saya belum pindah ke lain hati, Kang. Saya masih mencintai Pekalongan, masih mencintai Landungsari. Walau, ya… tahu sendirilah,” jawab saya dengan sedikit candaan.
“Nama Landungsari hilang?” goda Kang Asep diselingi tawa yang memecah keheningan ruangan acara.
Rupanya tawa kami membuat beberapa tamu tampak memperhatikan kami. Beberapa dari mereka saya sapa. Mereka pun membalas. Kelakar pun segera menjembul, membuat suasana ruangan sedikit gaduh.
Saya segera mengambil tempat duduk. Agak di belakang. Saya sengaja, supaya saya bisa menyaksikan suasana acara dengan saksama. Tetapi, tanda-tanda acara akan dimulai belum juga nampak.
Saya pun kembali meriuhkan suasana. Kang Asep tiba-tiba mendekat dan duduk di sebelah saya. Menyambung obrolan yang sempat terputus.
“Sudah lama saya pengin ngajak kamu bikin podcast. Gimana?” tanya Kang Asep.
“Wah, oke tuh, Kang. Siap deh,” jawab saya.
“Temanya apa nih enaknya?”
Sejak itu, obrolan mulai intens dan berjalan agak serius. Kami mendiskusikan banyak hal. Ya, sekadar penjajakan tema-tema yang mungkin saja bisa dijadikan bahan untuk podcast nantinya. Saking seriusnya obrolan kami, beberapa kawan menginterupsi dengan membuat keriuhan. Obrolan kami pun mendadak ambyar. Kembali saya menceburkan diri dalam kegaduhan. Obrolan-obrolan yang ala kadarnya, kelakar dan gurauan yang tak ada kaitan dengan apapun. Semua berlangsung lebih dari setengah jam. Tetapi, panggung masih saja kosong. Malah, beberapa orang tampak sibuk memindahkan empat kursi dan sebuah meja itu dari panggung ke sisi kiri panggung.
Tapi, belum juga tampak tanda-tanda bahwa acara akan segera dimulai. Ah, mungkin ada tamu VVIP yang sedang dalam perjalanan. Mungkin. Soal siapa? Tak lagi menjadi hal penting.
Hanya, ada sesuatu yang tiba-tiba sedikit mengusik. Isi dalam tote bag yang diberikan penerima tamu itu kepada semua tamu. Termasuk saya. Saya penasaran, apa sih isinya?
Mula-mula, saya berharap ada semacam TOR atau lembaran bacaan yang memuat hal-hal yang akan dibahas dalam acara yang bertajuk FGD itu. Sehingga, saya punya kesempatan untuk membaca dan mengetahui topik yang akan dibahas. Tetapi rupanya tebakan saya keliru. Tak satu pun kertas di dalam tote bag itu. Lantas, apa yang akan dibahas?
Sependek yang saya tahu, pihak pengundang dalam sebuah Focus Group Discussion mestinya memberikan bahan-bahan yang diperlukan untuk didiskusikan. Tetapi, ini tidak. Tatanan meja kursi pun, dalam beberapa kegiatan FGD yang pernah saya ikuti, biasanya dibuat melingkar atau saling berhadap-hadapan. Sebab, di dalam FGD semua yang terundang dan pengundang memiliki kedudukan yang setara. Tidak ada pembicara utama atau pemakalah, sebagaimana dalam seminar. Ah, saya berusaha berbaik sangka saja. Mungkin ini FGD model baru. Oke, saya tunggu saja bagaimana FGD itu berjalan. Sambil berharap, semoga saja saya tak salah masuk kamar.
Jadi, tunggu saja laporan saya berikutnya.