Kotomono.co – Festival Perang Air di Selatpanjang ini bisa dikembangkna menjadi daya tarik wisata tahunan yang menarik.
Tahun 2022, saya merantau di Kepulauan Meranti Provinsi Riau tepatnya di Kota Selatpanjang. Sebuah kepulauan kecil yang terletak di timur Pulau Sumatera yang dipadati oleh masyarakat Melayu dan Tionghoa dengan jumlah penduduk 217.607 jiwa berdasar data BPS 2023. Kota Selatpanjang adalah ibukota dari Kabupaten Kepulauan Meranti yang merupakan wilayah pemekaran Kabupaten Bengkalis.
Anak rantau seperti saya agaknya selalu mencari suatu hal unik dari daerah rantauan. Setiap kali bertanya tentang tradisi menarik, hampir semua orang yang saya temui di Selatpanjang menyebut Festival Perang Air.
Festival ini diadakan tahunan tepatnya di hari perayaan Imlek (hari besar masyarakat Tionghoa). Festival ini seperti tradisi Songkran yang ada di Thailand. Perbedaannya tradisi Songkran di Thailand diselenggarakan di satu tempat terpusat sedangkan Perang Air di Selatpanjang dikemas dalam wujud festival berjalan (tidak terpusat di satu tempat).

Dari Perang Air hingga Festival Barongsai
Perayaan Imlek menjadi momentum berkumpulnya keluarga masyarakat Tionghoa, seperti layaknya hari raya Idul Fitri bagi muslim. Semua anggota keluarga yang tinggal atau bekerja di luar pulau mudik ke kampung halaman. Masyarakat Melayu dan Tionghoa baik usia anak-anak, remaja, dan dewasa berpartisipasi dalam serangkaian festival ini. Festival ini diselenggarakan selama satu minggu dari pukul 16.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB.
BACA JUGA: Peran PKI Dalam Peristiwa Tiga Daerah Karesidenan Pekalongan
Sesuai namanya “perang air”, artinya masyarakat saling melemparkan air ke siapapun individu yang mengendarai becak motor, begitu juga sebaliknya. Festival ini memanfaatkan transportasi khas Kota Selatpanjang, yaitu becak motor (bentor). Becak motor didesain tanpa atap yang memuat 3-4 orang.
Becak motor mengelilingi rute festival berdasarkan rute perjalanan yang sudah ditentukan. Peserta yang naik becak motor membawa amunisi perang seperti ember berisi air penuh, senjata air, dan gayung yang berguna untuk menyiramkan air ke masyarakat yang berada di pinggir jalan.
Begitu juga sebaliknya, masyarakat yang berdiri di pinggir jalan juga mempersiapkan amunisi perang. Biasanya peralatan masyarakat yang berada di pinggir jalan ini lebih lengkap seperti selang air. Selang air dipasang di kran rumah pinggir jalan sehingga aliran airnya selalu tersedia.
Suasana meriah yang tercipta begitu alamiah, masing-masing tidak saling mengenal tetapi masyarakat bisa bersenang-senang bersama. Hal itu yang saya rasakan ketika mengikuti serangkaian Festival Perang Air. Seminggu setelah festival perang air, terdapat festival barongsai sebagai penutup serangkaian perayaan Imlek.
BACA JUGA: Mengenal Lebih Dekat Ritual Ogoh-Ogoh Bali dan Atraksi Menariknya
Panitia penyelenggara yang merupakan perpaduan antara masyarakat Melayu dan Tionghoa berpartisipasi dalam penyelenggaraannya. Festival barongsai di akhir perayaan Imlek ini sekaligus menjadi momentum bagi-bagi angpao. Acaranya diselenggarakan dari pagi hingga siang hari. Pertunjukkan barongsai sepanjang jalan penuh sesak masyarakat.
Angin Segar bagi Perekonomian dan Integrasi Masyarakat Lokal
Meskipun acara ini secara sosiologis hanya tergolong crowd (kerumunan) di mana masyarakat Tionghoa dan Melayu berbaur tanpa ada interaksi dalam (intimacy interaction), paling tidak festival ini menjadi simbol integrasi di mana seluruh lapisan masyarakat lokal berpadu dalam satu kegiatan bersama. Tanpa memandang identitas etnis, masyarakat bisa melakukan hal menyenangkan bersama.
Berdasarkan berita-berita di media lokal Riau, sebelum pandemi, tepatnya pada tahun 2018 dan 2019, festival ini banyak dihadiri oleh wisatawan mancanegara oleh sebab keunikan acaranya. Datangnya wisatawan mancanegara berdampak nyata khususnya dalam bidang ekonomi bagi para pedagang Selatpanjang.
BACA JUGA: Asal-usul Ronggojalu, Telaga Eksotis nan Mistis Probolinggo
Begitu juga pada tahun 2022 yang merupakan acara pertama yang kembali diselenggarakan setelah pandemi berlalu, angin segar perekonomian dan integrasi masyarakat lokal pada saat perayaan Imlek kembali dirasakan.
Pedagang senjata air diminati, pedagang es krim keliling, penjual rujak buah keliling, penjual makanan di pinggir jalan, penjual barang yang berkaitan dengan peralatan perang air dan barongsai terkena aroma wangi adanya perayaan Imlek ini. Selain itu, festival dengan menggunakan bentor sebagai alat transportasinya, menjadikan pendapatan pemilik bentor naik signifikan. Harga jasa becak motor saat festival naik 4x lipat dari hari biasanya.
Berakhirnya perayaan Imlek ini, memberi harapan agar perang air tak pernah usai karena hanya pada saat berlangsungnya festival itulah saya bisa melihat manusia tanpa sekat identitas. Kalau saja pemerintahan Kota Selatpanjang lebih kreatif lagi dalam mengelola perpaduan masyarakat dengan beragam aktivitas daerah, pastilah angin segar perekonomian dan kultural masyarakat dapat diberitakan dan mendapat apresiasi penghargaan.