KOTOMONO.CO – Perlu kita waspadai, sarana media propaganda LGBT dan Feminisme bisa lewat film dan orang awam tidak ngeh sama sekali.
Kehadiran unsur LGBT dalam film-film produksi barat agaknya menjadi hal yang wajar. Sangat banyak ditemui di beberapa film terutama film garapan Hollywood yang menyelipkan adegan LGBT maupun feminisme.
Adegan tersebut dimasukkan dengan sengaja agar orang-orang bisa melihatnya. Mungkin saja itu dimaksudkan untuk kampanye atau dukungan kepada kaum LGBT. Tentunya hal tersebut masih sangat tabu bagi beberapa masyarakat di dunia khususnya Indonesia dan negara-negara muslim.
Sebagai contoh, pada film “Doctor Strange in the Multiverse of Madness” yang rilis pada 5 Mei 2022, pada salah satu karakternya yaitu America Chavez merupakan seorang lesbian, namun orientasi seksual dari karakter tersebut tidak digambarkan secara eksplisit.
Hal ini bukan pertama kalinya Marvel dan Disney memasukkan unsur propaganda LGBT dan feminisme ke dalam film produksinya. Sebelumnya ada film “Avengers : Endgame” yang rilis pada di tahun 2019 terdapat salah satu adegan dimana para Superhero Perempuan bersatu bersama untuk mengalahkan Antagonis di film tersebut yaitu Thanos.
BACA JUGA: Mengenal Fenomena Doxing – Bahaya Baru Dunia Maya
Tidak hanya itu, Disney juga sempat menuai kontroversi disaat memasukkan unsur LGBT pada film “Eternals”, melalui karakter yang bernama Phastos, Disney secara terang-terangan memperkenalkan karakter tersebut sebagai superhero Gay pertama di Marvel Cinematic Universe.
Tidak hanya di film-film superhero, rupanya Disney juga sengaja memasukkan kembali unsur LGBT tersebut ke dalam genre animasi berjudul “Lightyear”, dimana di film ini terdapat dua karakter sesama jenis dan adegan ciuman antara sepasang lesbian. Akibat dari representasi LGBT tersebut film “Lightyear (2022)” batal tayang di Indonesia dan beberapa Negara di Dunia. Akibatnya pendapatan dari film tersebut sangat sedikit di Box Office.
Banyak isu-isu krusial soal LGBT di industri film yang ditiup SJW (Social Justice Warrior). Biasanya mereka akan memaksakan unsur LGBT dan Feminisme untuk masuk ke dalam film produksi mereka. Apalagi setelah kejadian di tahun 2016 pada Ajang Oscar Academy Awards, dimana pada ajang tersebut kurang menghargai diversity, kebanyakan aktor kulit hitam tidak mendapatkan penghargaan.
BACA JUGA: Bisa Nggak Sih Sarana Olahraga Berfungsi Sebagaimana Mestinya Aja?
Setelah kejadian tersebut SJW semakin gencar dengan melakukan gerakan “Woke Culture” di dunia industri hiburan. “Woke Culture” sendiri merupakan budaya untuk membuat masyarakat sadar dan menerima kehadiran sosial liberal seperti feminisme, LGBT, sampai dengan diversity. Budaya tersebut memang memiliki tujuan yang baik dalam memasukkan kesetaraan, namun kehadirannya di dunia industri film sangat menganggu dan terkesan sangat dipaksakan. Film saat ini seolah-olah diharuskan untuk memasukkan unsur “Woke Culture” ini dan dipropagandakan oleh para SJW.
Tidak hanya “Woke Culture”, para SJW juga melakukan Race Bending para beberapa karakter film terkenal. Seperti pada film “The Little Mermaid” yang akan tayang di tahun 2023. Dimana karakter utama pada film tersebut yaitu Ariel diperankan oleh orang berkulit hitam, yang kita tahu karakter Ariel sendiri memiliki warna kulit putih. Kemudian ada film “Cinderella” yang diproduksi oleh Amazon Prime dimana terdapat sebuah karakter peri waria berkulit hitam, dan di film remake “Pinocchio” yang terbaru pun juga terdapat unsur woke culture dan feminisme dimana ada peri berkulit hitam dan bergaya feminisme.
BACA JUGA: Wahai Orang Tua, Mari Awasi Penggunaan Gadget Pada Anak
Rencana Race Bending juga sempat gagal di dalam film James Bond 007, dimana pada waktu itu karakter James bond akan diganti dengan wanita berkulit hitam, tetapi pemilik hak cipta tidak menginginkan hal tersebut terjadi karena karakter James bond 007 melekat sebagai seorang laki-laki dengan menggunakan setelan jas dan berkewarganegaraan British.
Mangkanya upaya propaganda LGBT dan feminisme yang digaungkan oleh SJW kerap berujung gagal dan mendapat cacian dari para kritikus dan penikmat film, dikarenakan membuat film terlihat tidak nyata dan terasa dilebih-lebihkan.
Representasi LGBT dan feminisme di industri film ini sebenarnya sudah bukan hal yang baru lagi. Propaganda ini sudah ada sejak jaman dahulu. Film populer pertama yang menampilkan karakter LGBT secara jelas adalah “The Rocky Horror Picture Show” tahun 1969. Film drama musical tersebut menampilkan secara eksplisit karakter Gay dan menjadi film pertama yang merepresentaikan kelompok tersebut secara positif.
BACA JUGA: Bullying di Dunia Kedokteran, Bukti Pentingnya Spiritualitas Daripada Senioritas
Namun representasi LGBT ke dalam film sempat mengalami penurunan di tahun 1980-an dikarenakan stigma negatif masyarakat tentang kelompok tersebut yang dianggapnya menyebarkan penyakit AIDS. Namun seiring berjalannya waktu banyak film maker yang memasukkan kembali unsur LGBT atau hanya sekadar menyematkan secara implisit sebagai kehadiran dari kelompok tersebut.
Dengan banyaknya film yang mengandung LGBT dan feminisme tersebut tak jarang akan memberikan efek buruk bagi para pecinta film ataupun orang yang hanya sekedar mengonsumsinya sebagai hiburan.
Namun persoalannya adalah orang- orang yang suka menonton film yang kontennya seperti ini, tidak menutup kemungkinan akan ikut melakukan tindakan yang sama seperti dalam konten yang dikonsumsinya tersebut. Hal ini tentu saja berbahaya dan tidak bisa didiamkan. Akan ada banyak dampak lain yang akan muncul baik untuk diri sendiri maupun orang lain dilingkungannya.
BACA JUGA: Dear Pelaku Catcalling, Kalian Itu Nggak Punya Harga Diri!
Misal ketika seseorang sudah kecanduan dengan konten film yang seperti itu tindakan dan perilakunya dalam kehidupan sehari – hari pun cenderung akan ikut berubah. Misalkan orang laki laki yang tadinya biasa saja melihat sesama jenis, namun karena terkontaminasi film tadi, dia merasakan hal yang berbeda seperti mungkin memiliki hasrat yang berlebih ataupun yang lain hingga melakukan tindakan- tindakan yang tidak di benarkan. Begitu juga dengan wanita.
Padahal kita sudah tau, dari media dan berbagai penelitian membuktikan LGBT bisa menimbulkan berbagai penyakit berbahaya, seperti HIV atau AIDS. Mirisnya ketika konten-konten seperti ini terus-terusan tersaji untuk anak-anak maka hal ini akan sangat mempengaruhi mindset mereka kedepannya. Duhh ancuur wes!