KOTOMONO.CO – Di balik sosoknya yang humoris, Gus Dur rupanya memberi perhatian lebih pada masalah kebebasan dan kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Sudah sangat mafhum, kebebasan dan kemerdekaan itu hak setiap warga negara. Seperti yang tertuang dalam preambul UUD 1945 paragraf pertama.
Makanya, ia berpandangan, negara wajib melindungi kebebasan dan kemerdekaan itu sesuai dengan konstitusi. Negara mesti memberi perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas dan termarginalkan, karena sudah diamanatkan UUD 1945. Tak pelak, ia sangat menghormati keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Salah satu komitmen yang ditunjukkan Gus Dur adalah dengan mengakui dan turut menjaga keberagaman itu. Ia sadar, bahwa kehidupan yang berlaku di negeri ini memiliki beragam corak. Di sisi lain, keberagaman itu pula yang pada akhirnya turut membangun bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan berani, Gus Dur pun membuat terobosan besar. Yaitu, melalui penghapusan perundang-undangan dan peraturan yang dianggap tak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Aksi itu bukan tanpa risiko. Di hadapan MPR dan DPR, Gus Dur memasang badan. Ia keluarkan Dekrit Presiden yang menghendaki agar lembaga tersebut dibubarkan, serta mengembalikan kedaulatan kepada rakyat.
BACA JUGA: Gus Dur, Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 Bagian Satu
Langkah berani ini tentu tidak bisa diterima MPR. Sampai-sampai pemakzulan Gus Dur dari jabatan Presiden pun tak bisa dielakkan lagi. Sebagai konsekuensi logis atas kebijakannya, Gus Dur dengan jiwa besar menerima pelengseran tersebut.
Walau pelengseran Gus Dur dilakukan secara tidak terhormat, namun banyak rakyat yang masih mencintainya. Sebab, di dalam menjalankan kepemimpinannya, Gus Dur begitu dekat dan bermuara pada kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat—bagi Gus Dur—di atas segala-galanya.
Dalam kepemimpinannya, Gus Dur berpedoman pada kaidah Tasharuf al–Imam ala ar–Ra’iyyah Manutun bi al–Maslah (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus mempertimbangkan kesejahteraan mereka). Tipologi inilah, yang membuat Gus Dur selalu melekat dalam hati sebagian besar masyarakatnya bahkan hingga berpulangnya ke sisi Allah Swt.
Ketiga, Gus Dur seorang cendekiawan sejati. Selain memperdalam ilmu di pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan tinggi, khususnya tentang keagamaan pada Fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Kairo, Mesir (1964-1966). Kiprahnya di pelbagai organisasi keagamaan, baik tingkat nasional maupun dunia, turut mengantar Gus Dur sebagai sosok pribadi yang mempunyai pengetahuan luas, mendalam, dan universal.
Berbagai bidang ilmu pengetahuan ia pelajari. Beberapa bahasa juga dikuasainya. Ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang cerdik-cendekia yang pernah dimiliki bangsa ini.
BACA JUGA: Ketertarikan Gus Dur Terhadap Pemikiran Humanisme
Tak diragukan pula, komitmen dan kecintaannya akan ilmu pengetahuan. Kebebasan intelektual yang diperjuangkan Gus Dur patut kita kagumi dan teladani. Pemikirannya sangat khas. Ia mengkomparasikan antara pemikiran ke-Islam-an dengan ke-Indonesia-an dalam konteks bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah autentisitas pemikiran Gus Dur yang jarang dimiliki kebanyakan orang.
Kapasitas keilmuan yang dimiliki dan diyakini, menjadikan Gus Dur senantiasa berpedoman pada al-Quran dan hadis, baik sebagai landasan berpikir maupun bertindak. Artinya, sebagai muslim yang taat beragama, Gus Dur, dalam melakoni hidup, selain berikhtiar, juga melakukan penyerahan secara total kepada Sang Pencipta (Allah Swt.). Juga menjalankannya dengan sikap rendah hati, santun, tegas, lugas, dan tanpa beban sedikit pun. Dari apa yang dipahami dan amalkan dalam laku hidupnya, menunjukkan bahwa Gus Dur seorang Muslim yang merepresentasikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Keempat, Gus Dur seorang pejuang kemanusiaan. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dalam ajaran Islam. Sebab, bagi Gus Dur, sejak kali pertama Islam diturunkan membawa misi dan pesan-pesan perdamaian bagi umat manusia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta memberikan penghargaan terhadap kehidupan sosial.
Seperti sudah jamak diketahui bersama bahwa Islam menaruh perhatian lebih pada manusia (sangat memuliakan). Ini bisa ditilik dari perlindungan Islam atas hak dasar manusia, yaitu hak hidup, hak beragama, hak kepemilikan, hak profesi, dan hak berkeluarga. Karena itu, memperjuangkan kemanusiaan adalah perintah mutlak yang langsung berasal dari Tuhan. Dan Gus Dur, sudah melakukan hal ini dalam bentuk sikap dan perbuatannya selama ini.
BACA JUGA: Universalisme Islam dan Upaya Memanusiakan Manusia
Keberpihakan Gus Dur terhadap wong cilik, kelompok minoritas, dan termarginalkan, merupakan bukti konkret dari perjuangannya. Artinya, Gus Dur berupaya menjembatani antara Islam, kemanusiaan, dan kebudayaan di ranah kebangsaan dengan komitmennya atas kesejahteraan umat manusia, terlebih warga negara Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah sebuah proses memanusiakan manusia tanpa memandang perbedaan secara primordial setiap individu. Sebagaimana ungkapannya yang sudah masyhur di telinga kita, yakni “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.
Namun demikian, bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21 yang kontribusinya begitu besar terhadap bangsa Indonesia secara khusus dan dunia secara umum, kini telah lama meninggalkan kita, tepatnya tahun 2009 (12 tahun) silam. Walau begitu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap hidup sampai saat ini melalui wacana pemikiran, gagasan, dan teladan hidup yang diwasiatkan pada kita semua. Ini berarti, tanggung jawab sekarang ada ditangan kita semua sebagai generasi penerus bangsa yang mencintainya. Lantas apa yang sekarang dapat kita lakukan untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawab yang tengah diwariskan tersebut?
Wallahu A’lam