KOTOMONO.CO – Sepanjang tahun 2021, berita mengenai kekerasan seksual masih saja terbukukan di berbagai media. Dilansir dari keterangan Komnas Perempuan di tirto.id, kasus kejahatan seksual di Indonesia meningkat dua kali lipat selama masa pandemi. Satu persatu penyintas mulai bermunculan. Beberapa melapor langsung ke yang berwenang, beberapa lagi berakhir speak up di media sosial dan viral.
Seperti yang terjadi di KPI Pusat, salah seorang pegawainya mengaku mendapatkan perundungan sejak tahun 2012. Juga pelecehan seksual di tahun 2015 oleh rekan-rekan sesama pegawai. Tak ubahnya uap air yang lenyap bersama udara, kasus itu mengalami nasib yang tak lebih sama. Menguap begitu saja dan hanya diselesaikan secara internal. Baru setelah penyintas speak up melalui media sosial dan viral, aparat bertindak.
Hal ini yang kemudian memunculkan anggapan, betapa percuma membuat laporan ke pihak yang berwenang. Sebaliknya, keberadaan media sosial rasa-rasanya menjadi lebih efektif dibandingkan yang lain. Media sosial tak pelak menjadi tempat strategis untuk segera mendapatkan penanganan. Terutama kejahatan seksual.
Meski begitu, penyintas harus siap membuka luka dan traumanya kepada publik. Seperti yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau bulan November lalu. Mereka membantu seorang mahasiswi yang menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang dekan mereka di kampus. Yang kemudian viral dan membuat saya menyadari betapa sulitnya menjadi penyintas kejahatan seksual di negeri ini.
Selain harus viral terlebih dahulu, baru kemudian ditindak, speak up ini juga membutuhkan keberanian ekstra. Dukungan positif bagi penyintas tidak serta merta didapat. Setelah speak up, mereka juga masih harus berhadapan dengan komentar-komentar jahat yang justru menyudutkan penyintas.
BACA JUGA: Menyoal Objektifikasi Perempuan di Televisi
Memang, ada pula yang mendukung. Tetapi, komentar-komentar jahat itu, bagi saya, adalah hal yang miris. Sampai-sampai saya kadang bertanya-tanya, apakah begini ini sifat asli masyarakat Indonesia? Mempertanyakan kejujuran penyintas, menyoalkan cara pakaian dan perilaku penyintas. Pertanyaan-pertanyaan itu bahkan terkesan menghakimi penyintas.
Kalau sudah begini, kepada siapa para penyintas mesti mengemis rasa empati? Dan, apakah harus mengemis rasa empati itu? Seyogiyanya tidak. Tetapi, begitulah faktanya. Penyintas kadang mesti dua kali mengalami luka.
Tidak berselang lama, mata kita dibuka lebar-lebar oleh kabar lain. Orang-orang berprofil baik bahkan religius menjadi pelaku kejahatan seksual. Korbannya bahkan masih terhitung anak-anak.
Kasus seorang pendeta di Medan, misalnya. Ia melakukan pelecehan seksual kepada 6 anak di Sekolah Dasar. Pun jangan lupakan kasus viral seorang pimpinan pondok pesantren di Bandung yang meruda paksa belasan santrinya hingga hamil dan melahirkan.
Berita-berita itu bukannya membuat dunia pendidikan menjadi dunia yang mencerahkan. Akan tetapi, makin dihantui kemuraman. Sayangnya, lagi-lagi sikap sebagian warga negeri +62 ini masih saja menganggap remeh dan menolak memercayai penyintas.
Mau sampai kapan kita denial? Mau sampai kapan kita menutup mata? Kejahatan seksual sudah terbukti bisa terjadi di mana saja dan pelakunya bisa siapa saja. Bahkan rumah yang biasa kita anggap sebagai tempat teraman sekalipun.
Banyak pelaku kejahatan seksual justru datang dari orang-orang terdekat yang kita percaya. Seperti kejadian yang menimpa dua bocah berusia 5 dan 7 tahun yang dicabuli oleh kakek, paman, kakak dan sepupunya sendiri di rumah.
Sirine bahaya sudah dibunyikan sekeras-kerasnya. Digaungkan di mana-mana. Indonesia betul-betul dalam keadaan darurat kejahatan seksual. Ketidakpastian hukum yang khusus mengatur pasal kejahatan ini membuat hukuman menjadi tidak jelas serta tidak menimbulkan efek jera kepada pelakunya. Kita membutuhkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk segera disahkan. RUU yang sejak tahun 2015 diperjuangkan oleh Komnas Perempuan. Agar status hukumnya terang dan pendampingan proses penyembuhan dari trauma untuk penyintas juga menjadi jelas.
Tentu RUU ini bukan satu-satunya solusi. Dibutuhkan kerja sama yang baik untuk bisa menciptakan Indonesia sebagai ruang aman. Selaku masyarakat, kita juga harus ikut mendukung. Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapati atau mengetahui kejahatan seksual adalah dengan cara memercayai dan mendukung penyintas. Meskipun kebenarannya masih perlu dicari tahu, namun setidaknya kita tidak menyesal karena memihak korban adalah yang utama.
Pun sebagai bentuk pencegahan, kita perlu memberikan pendidikan seksual sejak dini. Ini langkah yang penting mengingat tidak setiap saat kita berada di samping anak. Kita juga harus lebih peka dan perhatian terhadap sekitar untuk bersama-sama mewujudkan ruang aman bagi semua orang dari kejahatan seksual.
Editor: Ribut Achwandi