KOTOMONO.CO – Jika boleh jujur, tanpa khawatir dituding tak peduli dengan sejarah bangsa, barangkali banyak orang bakal menjawab “tidak” saat ditanya apakah sejarah itu menarik. Tapi gimana kalau itu kenyataan? Gimana kalau yang dikhawatirkan banyak orang mencerminkan kondisi sebenarnya? Lalu bagaimana respon kita? Biasa aja? Pura-pura cemas? Atau refleks mencari kambing hitam?
Saya memang belum pernah melakukan survei semacam itu di mana pun. Kalau membayangkannya sih pernah. Misalnya, mengambil sampel dari beberapa siswa di beberapa sekolah di kota tempat tinggal saya, dari sebagian anggota masyarakat di beberapa desa, bahkan dari beberapa pejabat di beberapa instansi.
Tak lupa, sebagai kelompok terbesar penerus ingatan masa lalu bangsa dan yang selalu digadang-gadang menjadi pemimpin di masa depan, saya survei pula tanggapan anak-anak muda. Pertanyaannya tentu tidak jauh-jauh dari persoalan ketertarikan responden terhadap sejarah. Termasuk, umpamanya, pertanyaan ini: “Mana yang lebih menarik, manga/drakor/anime atau sejarah?”.
Usai mengumpulkan hasil survei, pura-pura menganalisis bak peneliti beneran, membuat kesimpulan-kesimpulan, mempersiapkannya untuk dipresentasikan di kanal youtube, facebook, dan instagram, serta membuat draf tulisan buat dibaca publik (tentu bukan dengan gaya bahasa ilmiah); saya berharap hasil survei ini jadi pemantik, dan bukan sebagai penyebab orang saling menyalahkan.
BACA JUGA: Salah Guru ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Meski penelitian itu saya lakukan di alam imajinasi, tapi saya tertarik menelisik kesimpulan yang saya buat.
Begini. Saya menyimpulkan, bila sejarah menjadi barang hafalan semata, maka ketertarikan siswa terhadap sejarah akan rendah. Selanjutnya, upaya meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap sejarah (terutama lokal, karena sejarah nasional kerap diulang-ulang di bangku sekolah) perlu dilakukan bersama, baik oleh pemerintah (desa, daerah, dan pusat), sejarawan, komunitas yang bergerak di bidang sejarah, pendidik (tidak terbatas guru sejarah), para pecinta sejarah, masyarakat, bahkan orang tua. Selain itu, saya percaya kalau sejarah itu dinamis sehingga koreksi atas sejarah dan perbedaan interpretasi itu jadi hal yang lumrah. Yup, siap-siap pula dengan versi lain soal G30S.
Masih ada kesimpulan lain yang tak kalah penting dari survei tadi, yakni cara dan media sosialisasinya. Saya menyimpulkan bahwa cara dan media penyampaian yang beda, yang unik, dan yang tak biasa itu lebih menarik minat orang. Konsekuensinya, mereka yang hendak menyebarluaskan konten sejarah mesti belajar dikit teknik menulis, membuat konten, memperindah tampilan slide, video atau gaya bicara supaya nggak ditinggalkan pemirsa.
Soal yang terakhir ini menarik minat saya, terutama karena saya kaitkan dengan kebiasaan guru dalam mempersiapkan dan melakukan pengajaran di kelas. Tatkala guru menyampaikan sebuah topik mata pelajaran, misalnya Pencemaran Limbah, sungguh tak efektif bila hanya melalui ceramah, lalu menuntut siswa menerapkan semua pengetahuan itu di lingkungan tempat tinggalnya.
BACA JUGA: “Akademi” Kata yang Sering Diucapkan, Tapi Apa Sih Artinya?
Tuntutan semacam itu dianggap berlebihan dan tidak proposional dibanding metode pengajaran yang dipraktikkan guru. Siswa tak cukup hanya mendengar soal Pencemaran Limbah. Mereka harus melihat, menyentuh, menyaksikan dampaknya, merasakan akibatnya dari keterangan warga terdampak, dan ikut aksi melakukan pembersihan kali atau pengolahan limbah, misalnya.
Mereka juga perlu melihat kenyataan di lapangan bahwa Pencemaran Limbah tidak melulu soal sampah, banjir, dan bau menyengat, tetapi juga kultur, kebiasaan, kepentingan, duit, proyek, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pelajaran perlu dibuat relevan dan dekat dengan kehidupan siswa. Minimal nggak cuma kata-kata yang susah dibayangkan. Tak ketinggalan pula, perlu disadari bahwa setiap topik permasalahan selalu punya jejaring dengan persoalan lain yang biasanya dalam kurikulum sekolah dibuat terpisah-pisah, terkotak-kotak.
Logika yang sama bisa diterapkan juga dalam hal edukasi khalayak terhadap sejarah. Barangkali benar belaka bahwa masyarakat memang butuh dibombardir informasi sejarah. Tapi bakal bosan setengah mampus jikalau informasi itu berbentuk teks atau ceramah terus-terusan. Karena itu, cara dan media sosialisasi perlu divariasi.
Seorang teman di facebook yang berprofesi sebagai komikus, Aji Prasetyo namanya, akhir-akhir ini tengah membikin cerita sejarah bergambar. Setidaknya selama sebulan terakhir saya mengikuti komik buatannya. Dari sana saya menyimpulkan, gambar memudahkan saya membayangkan peristiwa, dan menyaksikan peristiwa dalam bentuk gambar seperti menjadikan saya saksi mata sejarah. Boleh jadi, begitu juga yang dirasakan orang lain. Wuidih.
Bagi sebagian orang, membaca teks bergambar jelas lebih menarik. Terutama mereka yang lebih suka membaca dan belajar dengan bantuan gambar. Istilahnya pembelajar visual. Ada juga yang mungkin merasa lebih nikmat mengunjungi situs sejarah atau museum. Beberapa bahkan hanya bisa terpancing belajar sejarah melalui diskusi dan debat panas. Ya pokoknya macam-macamlah cara orang belajar.
Mengingat temuan saya dari survei itu bahwa sejarah nggak menarik buat kebanyakan responden, lantas siapa yang mestinya bertanggungjawab?
Saya nggak tahu. Saya juga nggak mau menuding ini tanggung jawab siapa. Jadi, biar aman, saya katakan demikian di bagian penutup: Siapa saja punya tanggung jawab. Saya dan juga Anda semua.
Untunglah semua itu cuma hasil survey di dunia khayal saya saja. Wuih, untung banget gaes.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Dini Alan Faza Lainnya