KOTOMONO.CO – Kalau kamu kira orang yang meninggal di RS karena Covid-19 pihak keluarga tidak bisa mengurusnya maka kamu sudah salah besar!
Pada masa yang serba runyam kejelasan informasi segamblang-gamblangnya adalah hal yang wajib. Sedikit informasi tidak tersampaikan, maka akan menjadi domino masalah yang tidak enteng. Bukan tanpa alasan, sebab penanganan jenazah yang terkonfirmasi positif Covid-19 ini bisa membuat tentram keluarga yang ditinggalkan. Nah, peran media massa maupun media-media corong pemerintah itu sangat penting.
Tidak banyak media yang mau mengangkat suatu kejadian (penanganan prokes jenazah covid-19) untuk edukasi kepada masyarakat. Mereka hanya menginginkan kehebohannya saja. Saya memaklumi itu dan tidak mau merecokinya. Mungkin saja bagi media “bad news is good news” dan “good news is bad news”. Jualannya seperti itu.
Sehingga menimbulkan kegaduhan, kecemasan dan ketakutan di masyarakat. Masyarakat mengira bila ada salah seorang kerabat atau anggota keluarga yang meninggal karena covid, tidak terjamin pengurusan jenazahnya. Apakah sesuai syariat agama atau asal-asalan saja.
Padahal jika seseorang meninggal karena Covid-19 di rumah sakit otomatis akan diurus sesuai protokol kesehatan (prokes). Jenazah akan dimasukan ke dalam peti lalu dibungkus plastik dari rumah sakit yang kemudian langsung dibawa untuk dimakamkan ke tempat pemakaman khusus korban Covid-19 oleh petugas.
BACA JUGA: Ternyata, Sel-sel Kekebalan Tubuh Bisa Dilatih dan Diprogram agar Bisa Lebih Agresif Melawan Infeksi
Namun berkat isu yang beredar di media sosial, banyak yang masih meragukan prosesi pemulasaran jenazah. Maka komunikasi antara pihak rumah sakit dan keluarga korban harus terjalin baik. Jangan sampai kejadian warga merebut Jenazah Covid-19 lalu membakar peti, lantaran mendengar isu bahwa bagian tubuh jenazah telah diambil untuk keperluan medis oleh pihak rumah sakit di Bondowoso terjadi lagi.
Atau kejadian di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di mana pihak keluarga mengambil paksa jenazah pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di RSUD gegara tidak terima lantaran pihak rumah sakit tidak memberikan surat keterangan resmi terkait kondisi keluarga mereka yang positif Covid-19.
Dua kejadian di atas adalah contoh miskomunikasi dan misinformasi antara pihak rumah sakit dengan keluarga pasien atau korban. Lalu kejadian tersebut dibesar-besarkan oleh media yang bikin orang seperti saya awalannya percaya kabar yang tersebar di internet dan televisi tersebut benar adanya. Sungguh dangkal sekali pemikiran saya kala itu.
Namun belakangan, pemahaman dangkal saya itu terbantahkan dengan sendirinya. Sebuah kejadian saat ibu saya positif Covid-19 dari hasil tes swab antigen menampar saya begitu keras. Hal yang membuat saya seperti dihantam palu godam yang luar biasa adalah ketika ibu saya kondisinya makin memburuk setelah semingguan isoman. Ibu saya mendadak tak sadarkan diri Selasa 13 Juli 2021 pagi. Saya dan keluarga pusing tujuh keliling mencarikan rumah sakit untuk berusaha menyelamatkan ibu, paling tidak agar ibu bisa tertangani oleh dokter di ruang ICU.
Sungguh nasib memang tidak menentu. Mencari rumah sakit yang menerima pasien kritis Covid-19 susahnya bukan main. Harapan muncul ketika membuka laman Pelayanan Kesehatan Kemenkes. Ada 1 kamar IGD kosong di salah rumah sakit di Kota Pekalongan.
Namun ketika konfirmasi ke sana, pihak rumah sakit menjawab kamar tersebut tidak ada. Bolak balik kami mencari. Telfon sana telfon sini, hingga akhirnya kita dapat rumah sakit yang bersedia menerima pasien. Akan tetapi lokasinya jauh berada di Tegal. Baiklah, artinya kami membutuhkan ambulans secepatnya.
BACA JUGA: Prestasi Pemkot Pekalongan dalam Sebulan ini
Sialnya, ambulan tidak berani berangkat karena tidak adanya oksigen. Saya pun harus berpacu dengan waktu mencari oksigen lebih dulu. Singkat cerita saturasi oksigen ibu saya terus menurun sampai satu-dua jam kemudian kami mendapatkan tabung oksigen beserta isinya dari salah satu kantor cabang kakak saya bekerja. Setelah oksigen didapat tetap saja saya tidak mudah mendapat ambulan dengan cepat. Sebab ambulan dari unit gawat darurat pemerintah daerah selalu saja beralasan ini itu, malah kami pun disarankan pakai ambulan dari swadaya relawan. Baiklah…
Akhirnya kami mendapat ambulan dari Limpung Batang yang tentu saja butuh waktu. Sekitar sejam waktu yang dibutuhkan ambulans untuk sampai ke lokasi rumah ibu saya yang berada di kecamatan Pekalongan Barat. Kemudian pukul 22.37 WIB ibu saya mulai dibawa ambulan menuju rumah sakit di Tegal.
Sudah qodratullah, setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, beberapa menit sesampainya di rumah sakit ibu saya tidak kuasa bertahan, hingga menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah mengabarkan ibu saya meninggal, pihak rumah sakit memberikan pilihan kepada saya. Apakah jenazah mau diurus secara prokes atau malam itu juga jenazah bisa dibawa pulang alias tanpa prokes tentu dengan biaya penanganan yang harus dibayarkan.
Saya meminta waktu untuk berfikir dan berdiskusi dengan keluarga. Saya dan kakak laki-laki nomor dua bingung. Jika dibawa pulang nanti apakah tidak repot dan sulit mencari lebe (modin) perempuan. Sementara jam-jam ini trend korban meninggal Covid-19 katanya sedang meningkat, apakah mau lebe tadi mengurusnya? Sementara kalau diurus oleh rumah sakit, kakak saya taku nggak sesuai agama.
BACA JUGA: Mendengar Keluhan Pedagang Kecil di Tengah Peliknya Aturan PPKM
Lalu sopir ambulan yang mengantarkan kami memberikan masukan untuk nembung ke pihak rumah sakit agar proses memandikan dan lain-lain bisa dilakukan oleh keluarga dengan catatan tetap pakai APD lengkap, atau setidaknya menyaksikan sendiri proses tersebut bila dilakukan oleh pihak RS.
Segera saya dan kakak saya menuju frontline untuk mengusulkan hal tersebut, tapi malam itu belum bisa diputuskan karena semua tergantung dari petugas pemulasaran yang baru bisa hadir esok hari. Kami harus bersabar. Namun juga tetap optimis semua bisa berjalan dengan lancar sesuai keinginan dan tetap patuh prokes.
Esok harinya kakak saya berhasil ketemu dengan petugas tersebut dan bernegosiasi. Akhirnya kakak saya yang memandikan dan mengkafani, sedangkan petugas membantu memasukan jenazah ke dalam peti dan membungkus plastik. Di dalam peti, jenazah tetap dimiringkan ke kanan dengan cara diganjal pakai batang kayu berbentuk huruf L sebanyak 3 buah (1 untuk kepala, 1 lagi untuk pinggang dan 1 untuk kaki). Hal ini dilakukan agar nanti ketika dikuburkan jenazah masih bisa menghadap ke kiblat seperti pemakaman jenazah umumnya.
Sementara saya pulang untuk mencoba mengurus jenazah ibu agar bisa dimakamkan di tempat pemakaman umum di kampung. Ternyata bisa, pemakaman covid-19 bisa dilakukan tetapi ada berkas yang harus saya siapkan yaitu surat permohonan. Surat permohonan ini dibuat dengan bantuan RT dan Bhabinkamtibmas setempat yang inti dari surat tersebut menerangkan bahwa warga tidak keberatan dan selaku keluarga memohon agar jenazah dimakamkan di kampung.
BACA JUGA: Kebosanan Dikhawatirkan Akan Memicu Penyebaran Covid-19 Lebih Parah
Begitu perkiraan kedatangan jenazah ditentukan, petugas pemakaman sudah standby di lokasi. Dan setelah jenazah sampai di tempat pemakaman, oleh petugas langsung dikeluarkan dari ambulans untuk ditata agar dishalatkan oleh keluarga dan warga yang datang. Selepas itu langsung dimakamkan dengan baik.
Alangkah leganya saya dan keluarga bisa mengurus ibu untuk terakhir kalinya, tanpa melanggar aturan dan membuat semuanya aman dan tentram. Ya semoga saja apa yang saya tulis ini bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat dan menjadi contoh bahwa informasi dan komunikasi oleh semua pihak bisa mencegah hal-hal yang tidak perlu terjadi.
Masalah seputar Covid-19 ini tidak sekadar pada pedulinya masyarakat memakai masker dan mencuci tangan, atau keberhasilan PPKM meredam laju kasus positif yang ada. Namun lebih lanjut lagi mengenai informasi bagaimana korban Covid-19 yang kehilangan nyawa itu ditangani secara baik dan benar, pun keluarga yang ditinggalkan bisa mudah legawa menerimanya.