“Lho kok bisa orang kayak sampean mikir kalo perempuan setelah menikah kudu independen?”
KOTOMONO.CO – Pertanyaan ini muncul saat teman saya berkunjung sekedar main ke rumah. Sambil menikmati sop buah yang konon paling enak sekaligus murah di daerah kami, dia mulai menceritakan pengalaman pahitnya ditinggal menikah pujaan hati, sampai obrolan terus mengalir.
“Orang kayak aku?” tanya saya. Kemudian dia menambahkan bahwa sudah semestinya perempuan nurut laki-laki. Terlebih setelah menikah. Itu sudah menjadi kodrat perempuan. “Sampean ini nggak biasa. Wong perempuan yang sudah-sudah juga bilangnya gitu. Aku dengar perempuan kudu independen setelah menikah ya baru kali ini, dari sampean,” tambahnya.
Pernyataannya kali ini mengingatkan saya pada teman lelaki saya yang lain. Sebut saja A. Dia lelaki manis yang masih aktif di lingkup pendidikan agama. Kami terlibat perdebatan kecil ketika membahas pernikahan. “Jadi kamu negatif thinking dengan takdir Tuhan?” tuduhnya menanggapi statement saya tentang perempuan yang baiknya tetap independen sekalipun bersuami, sebagai persiapan ketika hal yang tidak diinginkan terjadi.
Sadar karena nada bicaranya mulai meninggi, saya memilih mengakhirinya. Bukan apa. Penjelasan yang logis pun akan percuma ketika lawan bicaramu masih “panas”. Terlebih saat itu kami berbicara lewat sambungan telepon. Biar lain kali saja kujelaskan, bila mungkin.
Dua teman saya tadi hanya sedikit contoh dari banyaknya laki-laki yang masih menganggap perempuan sebagai warga kelas dua. Saya yakin lingkungannya juga aktif melanggengkan praktik patriarki hingga terheran-heran saat menemui perempuan “luar biasa”.
BACA JUGA: MBTI, Metode Alternatif Mengenal Pasangan Lebih Dalam
Warisan relasi patriarki dijaga turun temurun. Memperlonggar pengawasan dan banyak maklum untuk lelaki. Memperketat ruang gerak perempuan agar tidak menyalahi kebiasaan. Dalam rumah tangga, laki-laki dituntut mapan secara ekonomi. Sebaliknya, perempuan berkarir dianggap menciderai peran lelaki. Menurutnya, perempuan “cukup” menjadi ibu: mengurus rumah, anak, dan suami. Benar-benar beban yang tidak “cukup”.
Masyarakat Jawa, misalnya. Petuah “dapur, sumur, kasur” lekat dengan tanggung jawab istri. Juga adat Bali, perempuan yang sudah menikah berarti memutuskan hubungan dengan keluarganya. Hanya pihak laki-laki yang mendapatkan warisan. Adat Papua juga melemparkan tanggung jawab mengurus rumah dan anak adalah kewajiban istri, sementara suami berburu.
Lain lagi di Sumba, tradisi kawin tangkap (yappa mawine), menculik perempuan untuk dinikahi. Kawin tangkap dipilih karena tidak tercapainya kesepakatan jumlah mahar antar kedua belah pihak keluarga. Praktik ini dilakukan ada yang berdasarkan sepengetahuan pihak keluarga perempuan, ada pula yang terjadi begitu saja sehingga menjadi tindak kejahatan. Lagi-lagi, laki-laki menunjukkan dominasi dan melihat perempuan sebagai objek semata.
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki pun Dirugikan oleh Patriarki
Awalnya saya kira konsep ini melekat karena orang tua dahulu tidak mengenal pendidikan formal. Realita berkata lain. Konstruksi sosial yang salah kaprah ini juga dianut generasi dengan background pendidikan tinggi. Bahkan modernisasi dengan kemajuan teknologi pun, tidak serta merta menghalau ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki.
Doktrin agama yang melekat sejak kecil juga bisa dijadikan tameng kekuasaan. Perempuan yang akses dan pola pikirnya sudah dibatasi sejak dini semakin terkungkung dan tidak bisa melawan. Seperti kekerasan yang banyak terjadi justru di lingkungan pendidikan yang konon tujuannya “mencerdaskan dan menciptakan individu berkarakter”.
Lagi-lagi, perempuan disalahkan karena mengundang laki-laki berbuat jahat. Mereka dituntut menerima dan bersabar. Demi menjaga moral masyarakat, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan justru dituntut menikah dengan pelaku. Adakah nalar waras di sana?
BACA JUGA: Ngomongin Soal Wanita Karir Dalam Pandangan Islam
Jika kacamata masyarakat melihat perempuan sebagai subjek, solusi menikahkan kedua belah pihak adalah tindakan paling tidak masuk akal. Korban yang masih memendam amarah dan trauma akan sulit berdamai, apalagi mengucap janji suci sehidup semati? Jika masih dipaksakan, bahtera rumah tangga seperti apa yang akan dijalani keduanya?
Relasi patriarki juga bisa membatasi kebahagian perempuan. Bagaimana perempuan secara personal dapat menemukan jati dirinya jika lakon ibu rumah tangga justru membebani? Belum lagi kalau suami adalah tipe dominan toxic yang bisa melukai fisik serta psikis.
Saat memutuskan hidup berpasangan, tidak hanya berpatok pada tingkat pendidikan saja, kita perlu mencari seseorang yang melihat relasi perempuan dan laki-laki setara. Buka ruang diskusi hingga kedua pihak memahami satu sama lain. Pun tidak cukup dalam ranah rumah tangga, relasi setara perlu dihadirkan dalam ruang publik.
BACA JUGA: 5 Hal yang Mesti Kudu Dimengerti Sebelum Menikah Dengannya
Artinya, jika pendidikan tidak bisa menjamin seseorang bisa berlaku bijak, maka perlu dibarengi diskusi sosial. Bukan sekadar mengejar skripsi, menambah referensi isu kemanusiaan perlu digiatkan. Lah, ngejar deadline saja pontang panting kok bisa-bisanya disuruh nyari referensi hal lain?
Itu alibi pemalas saja. Saat ini banyak film dan buku fiksi terinspirasi kisah nyata. Mereka menyuarakan suara perempuan dengan cara lain. Kita bisa mulai dari sana. Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, Tarian Bumi, Entrok, Tanah Tabu, hanya contoh di antaranya. Banyak juga podcast yang bisa kita dengarkan sembari makan siang yang membahas isu-isu kesetaraan.
Ya, perlu kesadaran penuh untuk memulainya. Buka mata, buka telinga, dan buka hati. Kita bisa melihat ketimpangan dimana-mana, kita juga bisa bersama-sama merobohkannya.