Kakinya terluntang-lantung di sepanjang jalan, mulutnya tidak berhenti komat-kamit merutuki kesialan yang menghinggapinya hari ini. Beberapa waktu lalu, Diman masih tenang-tenang saja menggenjreng gitar lusuh kesayangannya. Gara-gara satpol PP sialan itu Diman harus tunggang langgang berpacu dengan nafasnya untuk menghindari razia. Hingga tak sekoin receh pun mampir di kantong plastik bekas jajanan yang telah ia siapkan. Padahal, perutnya telah meronta-ronta, merongrong haknya yang tak segera terpenuhi.
Apa boleh jadi, laki-laki itu tak mau tertangkap lagi. Jika saja ia tak gesit mengelak dari pandangan para penertib, mungkin tubuhnya telah diringkus entah untuk yang ke berapa kali. Berkat kaki panjang juga bakat lomba larinya ia dapat lolos kejaran para lelaki berseragam itu, atau mungkin karena mereka yang terlalu berat membawa beban perut buncitnya hingga tak dapat berlari kencang.
Dengan nafas terputus-putus Diman melihat ke sana kemari mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lusuh. Lalu bergegas menuju pohon rindang yang tertangkap pandangan matanya. Ia menjatuhkan tubuh ke tanah tanpa memedulikan kaus hitam dekilnya yang basah keringat akan terkotori oleh debu atau bahkan tahi-tahi burung sekalipun.
“Dasar anjing-anjing sialan!!” umpat Diman dengan kepalan tangannya meninju udara.
Setelah beberapa saat, kini rasa lapar kembali menghampiri. Seruan-seruan dari perutnya tak bisa ia abaikan lagi. Mencoba peruntungan, ia mengais kantong plastik tempat untuk menampung recehan dari hasil memeras keringatnya. Meski telah ia balik sedemikian rupa, tapi tak ia dapatkan sepeser receh pun ada di sana. Tak menyerah, kali ini ia menggaruk semua kantong celana, tapi malang benar nasibnya tak ada uang yang menyelip di balik saku celana rombengnya. Hanya ada beberapa kertas bon utang lecek yang ia masukan dengan serampangan dari kapan hari. Beberapa hari lalu, ketika Diman makan di warung langganannya ia kena semprot pemilik warung sebab utang-utangnya semakin menggunung.
***
“Hei Diman! Kapan kau akan bayar utang-utang kau? Utangmu itu sudah banyak. Jangan kau tambahi lagi, nanti kau tak bisa bayar aku juga yang merugi,” sentak Lastri si pemilik warung saat menyajikan pesanan makanannya. “Kau itu selalu makan duluan tapi bayarnya kapan-kapan. Lama-lama warungku bisa gulung tikar gara-gara kau tak pernah bayar.”
“Semuanya pasti saya bayar. Ibu hanya perlu bersabar, tunggu saja sampai saya dapat banyak uang dari mengamen di jalanan,” kata Diman. Tak ia hiraukan lagi gerutuan si Ibu warung. Cacing di perutnya telah berdemo, ada baiknya ia segera melahap makanan di depannya yang rasanya memang tidak seberapa. Yang penting murah dan perutnya tak lagi marah.
***
Melihat catatan utang-utangnya semakin membuat Diman nelangsa. Memang benar hidup adalah perjuangan. Akan tetapi, Diman rasa kata-kata itu hanya patut disandang oleh orang-orang susah seperti dirinya. Bagi mereka orang kaya, tidak akan tahu bagaimana rasanya memikirkan ke mana ia akan pulang. Berpindah-pindah mencari tempat teduh demi kenyamanan saat tidur. Tak peduli tempatnya bersih atau tidak, yang penting ia bisa mengistirahatkan tubuhnya untuk semalam saja.
“Peduli setan dengan kebersihan!!” Besok ia akan pindah lagi ke tempat yang ia harap lebih nyaman daripada kolong jembatan. Ia sudah muak tidurnya diganggu segerombol binatang pengisap darah.
Bagi mereka orang kaya yang makannya selalu bersisa, tidak akan tahu bagaimana rasanya menahan lapar saat tubuhnya mulai bergetar. Ia di sini harus memeras keringat demi sesuap nasi yang didapat, sedang mereka membuang-buang makanan yang ia harap bisa ia cicipi sebelum mati. Bertahan hidup itu sulit, tapi jika tak bangkit maka kau akan terjepit oleh mereka yang berkuasa dan kau akan mati perlahan-lahan dalam risau kelaparan.
Mengedar pandangan, Diman berharap mendapat sesuatu untuk mengatasi rasa laparnya. Di seberang jalan ia melihat beberapa pedagang asongan yang hilir ke sana kemari menjajakan dagangannya pada orang-orang. Tak jauh dari tempatnya berada, Diman melihat seorang ibu-ibu hendak menyeberang. Di pundak kanannya tersampir tas cangklong bermerek juga dengan pakaian yang mencolok. Tak tertinggal pula beberapa bagian tubuhnya dilapisi untaian emas. Dilihat dari penampilannya, sudah pasti ibu-ibu itu orang berada. Dengan keseluruhan busananya itu seolah-olah meneriakkan kata ‘Aku ini orang kaya’ sepanjang jalan yang dilewatinya.
Diman pikir tidak apa-apa jika ia meminta sedikit hartanya mungkin si ibu itu tidak akan kekurangan. Rencananya, Diman akan meminta sedikit untuk kemudian ia belanjakan makanan. “Sudah pasti aku akan kenyang sampai besok pagi jika si Ibu itu berbaik hati mengikhlaskan sebagian kecil hartanya, sebagai orang kaya dia tidak mungkin membiarkan kami yang susah mati sia-sia kan?”
Secepat pikiran itu datang, secepat itu pula Diman berdiri dari duduknya. Ditepuknya beberapa kali debu yang menempel di bokong, kemudian kedua tangannya saling menepuk untuk membersihkan sisa debu yang terbawa. Dengan perlahan Diman berjalan sembari melihat kanan-kiri. Tidak banyak orang yang lewat di sekitar sini, hanya ada beberapa mobil dan motor yang lalu lalang di jalur kendaraan.
“Jambret! jambret!” teriak si Ibu setelah kaget mendapati tas di pundak kanannya ditarik dengan paksa sampai tubuhnya limbung. Tasnya sudah dibawa lari oleh seorang pemuda cungkring yang kini terlihat punggungnya saja. Dengan panik dan tergesa-gesa si ibu berusaha mengejar jambret untuk mendapatkan kembali tasnya.
“Tolong, tas saya dijambret!”
Sontak, teriakannya itu mengundang perhatian beberapa orang. Beberapa dari mereka ikut berlari mengejar jambret yang sudah berbelok masuk ke dalam sebuah gang. Beberapa orang lainnya hanya melihat dengan iba, tetapi tidak berbuat apa-apa. Sedang sisanya tak acuh, mereka melihat sekilas kemudian melanjutkan kesibukannya masing-masing. Tak ada orang yang benar-benar peduli pada orang asing, sebagian yang peduli adalah orang-orang yang memiliki hati nurani.
“Sialan!” Diman mengumpat saat melihat di belakangnya banyak warga yang mengejar langkah kakinya.
“Berhenti!”
Larinya semakin laju mendengar teriakan beberapa orang yang menyuruhnya berhenti. Sungguh naas, nasib baik tidak memihak pada Diman hari ini. Tubuhnya terjungkal setelah mendapat tarikan yang kuat pada baju belakangnya. Bokongnya terasa sakit karena menghantam jalan yang sedikit berbatu. Kedua tangannya pun terasa perih sebab tadi dia pakai untuk menahan beban tubuhnya, mungkin ada beberapa lecet di sana. Tas yang sedari tadi di dekapannya pun entah sudah terpental ke mana.
“Kena kau!”
Belum usai Diman menyiasati rasa sakit, tiba-tiba wajahnya tersungkur setelah mendapat bogem dari salah seorang yang membuatnya jatuh tadi. Entah berapa lama kemudian beberapa tangan lain pula ikut menghajar tubuhnya. Kedua tangannya ia pakai untuk melindungi kepala. Badannya meringkuk, berharap dapat sedikit melindungi ganasnya emosi para warga.
“Akhh … Ampun! Ampuni saya, tolong ampuni saya,” ujar Diman dengan erangan yang terdengar menyakitkan. Sungguh! Denyut di kepalnya sudah tak tertahan. Nafasnya pun sudah terasa menyesakkan.
Tak ada orang yang benar-benar mendengar teriakan Diman. Semuanya sibuk dengan kepalan tangan mereka yang masih saja mengarah ke tubuhnya. Sampai tiba-tiba si Ibu pemilik tas datang dengan nafas yang tersengal-sengal. “Sudah, sudah. Berhenti!” ujarnya sembari menepuk punggung seorang lelaki yang turut andil menggebuki.
Diman yang mendengar suara tersebut merasa sedikit lega, terlebih ketika tangan-tangan itu mulai menyingkir dari tubuhnya. Untuk beberapa saat, ia membiarkan badannya terlentang sembari memejamkan mata, berupaya menetralisasi rasa sakit yang mendera. Entah berapa lama kemudian, Diman terbangun dengan keadaan sudah tidak ada lagi orang-orang di sekitar. Bahkan, si ibu pemilik tas pun sudah pergi entah ke mana.