KOTOMONO.CO – Malang betul nasib sebatang puntung rokok. Tak lama ini, tersiar kabar kalau Gedung Kejaksaan Agung yang terbakar itu karena puntung rokok. Beberapa sumber informasi menyebutkan, hasil penyeledikkan dari Polri, pekerja yang merokok membuang puntung rokoknya sembarangan. Material gedung yang gampang terbakar pun akhirnya mengakibatkan kebakaran yang mahadahsyat itu. Semua ludes, terkecuali puntung rokok yang ditemukan.
Tentu, kabar puntung ajaib itu memanen komentar yang beragam dari netizen. Banyak yang nggak percaya dan justru dibikin dagelan dengan bertebaran meme “Rokok Mengakibatkan Kebakaran Kejagung”. Karena bagi mereka, mana mungkin puntung rokok bisa melahap gedung sebesar Kejaksaan Agung. Lebih-lebih sampai menimbulkan kebakaran hebat.
Oke. Itu komentar para netizen. Sebagai warga negara yang baik, agaknya saya belum mampu berburuk sangka. Hasil temuan kepolisian masih saya hargai dan saya hormati. Sebab, dibutuhkan kerja ekstra keras untuk sampai pada simpulan yang begitu itu. Makanya, saya tunda dulu komentar saya yang naif. Hemat saya, tragedi puntung rokok itu masih dalam kewajaran. Wajar kalau puntung rokok bisa mengakibatkan kebakaran Kejagung. Coba ente bayangin aja, sebatang rokok pun konon—kata aktivis anti rokok—bisa berbahaya bagi tubuh. Sebatang rokok mampu mendatangkan penyakit macam-macam. Dari penyakit badan sampai penyakit ekonomi.
Akan sangat mustahil jika penyebab kebakaran Kejagung itu bukan rokok. Maksud saya, menyebabkan penyakit saja bisa, masak bikin kantor Kejagung terbakar nggak bisa? Rokok itu selalu berbahaya bagi tubuh, juga berbahaya bagi negara.
Well, kita lupakan dulu peristiwa kebakaran Kejagung. Oke, kita fokus ke rokoknya saja ya? Saya melihat nasib rokok yang dituduh malah jadi teringat rakyat Indonesia. Ini tidak main-main.
Yang namanya rokok sepertinya sudah langganan bagi ruang-ruang diskusi dan obrolan keseharian kita. Dia menjadi pengisi acara diskusi atau obrolan yang tidak pernah diperhitungkan. Terkecuali—mungkin—acara-acara lokakarya yang diadakan aktivis-aktivis anti rokok. Tapi lebih luas daripada itu, rokok memang selalu menemani hari-hari rakyat Indonesia. Entah itu kala senang maupun susah.
Boleh dikatakan, rokok dan rakyat sudah kayak saudara. Nasib keduanya pun mirip-mirip. Coba deh, ente ingat-ingat kembali bagaimana nasib rokok di Indonesia.
Rokok selalu dipinggirkan, begitu pula rakyat Indonesia. Jika rakyat diperlukan suaranya, rokok ditarik cukainya. Ente tentu tidak lupa saat pemerintah kita terus-terusan menyalahkan rakyat yang tidak patuh protokol kesehatan. Hal itu sama dengan nasib rokok yang selalu dijadikan kambing hitam saat terjadi kebakaran.
Pokoknya kebakaran yang terjadi di ruang-ruang bukan privat, penyebabnya apalagi kalau bukan rokok. Di hutan karena rokok, di pasar penyebabnya rokok, bahkan di gedung kejaksaan yang tentu saja ber-AC pun rokok tetap memimpin menjadi biang keladi nomor wahid.
Selain itu, di televisi yang notabene ruang publik pun, rokok tak diperbolehkan tampil. Justru yang muncul mereknya saja. Dalam iklannya di televisi wujud rokok tidak terlihat, barang sebatang pun. Padahal produk-produk lain bebas berseliweran di televisi.
Apakah perusahaan rokok tidak membayar iklan ke televisi? Ah, saya kira itu teramat sukar dinalar. Hampir nggak mungkin perusahaan segede Gudang Garam kekurangan biaya buat iklan di televisi.
Masalahnya, ada aturan-aturan tertentu yang bikin iklan rokok tak boleh menampilkan wujud rokok. Meskipun hanya sebatang. Nasib yang sama juga dialami oleh rakyat.
Nggak semua rakyat bisa unjuk gigi pada kesempatan-kesempatan tertentu. Bahkan rakyat tak akan bernilai jika tak punya titel. Tak punya sesuatu yang patut diacungi jempol.
Misalnya, lord Luhut Binsar Panjaitan (LBP) mungkin saja tidak ada nilainya, seandainya dia nggak menjadi Menko Kemaritiman dan Investasi. LBP mustahil bisa menjadi seperti sekarang, kalau dia nggak punya berhektar-hektar tambang batu bara. Pun LBP nggak mungkin sampai ke singgahsana tertinggi kalau dia nggak punya koneksi.
Rokok tak lagi terpakai jika yang tersisa hanya filternya, atau habis tembakaunya. Begitu pula dengan rakyat. Seandainya rakyat tak punya jabatan, tak punya peran apa-apa di sebuah lembaga, bahkan—lebih ekstrim lagi—di sebuah tataran pemerintahan, maka tak berguna lagi. Nasibnya akan seperti kipas angin, bersuara tapi yang dirasakan cuma anginnya saja.

Negeri ini ternyata bukan cuma tidak adil terhadap rakyat, melainkan sekaligus pada rokok. Kampanye anti rokok masif digaungkan, tapi cukainya bahkan dinaikkan. Pemerintah memporoti rokok, dibikin supaya jumlah perokok di tanah air bisa turun.
Rakyat pun nasibnya tak jauh beda. Diporotin pemerintah juga. Dengan menaikan berbagai macam biaya dan harga pelbagai kebutuhan. Biaya listrik yang naik. Biaya PDAM yang ikut meroket. Hingga harga bahan pokok yang ditingkatkan. Apa mungkin kenaikan biaya listrik, air, dan harga bahan pokok itu supaya nggak ada lagi yang memakainya?
Ah! Semoga itu hanya ke-semberono-an berpikir saya saja. Yang jelas rokok dan rakyat punya nasib yang sama. Karena sudah bertahun-tahun hidup berdampingan, rokok dan rakyat punya kemistri yang tidak dapat dipisahkan.
Kendati yang satu benda sedangkan yang lainnya bukan. Benar belaka sebuah peribahasa bahwa ada gula pasti ada semut. Maka di situ ada rakyat di situ pula tersedia rokok.
Jadi, masih nekat berusaha memisahkan rokok dan rakyat? Menurunkan jumlah perokok gitu? Saran saya lebih baik nggak usah dilakukan, bahkan dipikirkan pun jangan. Sebab itulah tanda kemunduran umat.