KOTOMONO.CO – Kembali saya pinjam penerjemahan dalam kamus Oxford, untuk kata corona. Menurut kamus ini, kata corona diartikan sebagai “a ring of light seen around the sun or moon, especially during an eclipse”. Penerjemahan ini didasarkan pada ilmu perbintangan atau astronomi. Akan tetapi, kata corona rupanya tidak hanya digunakan untuk menyebut cincin cahaya pada saat gerhana matahari atau rembulan. Kata corona juga digunakan untuk nama gugus bintang (rasi bintang) kecil, yaitu Corona Borealis di langit bagian utara dan Corona Australis di langit bagian selatan.
Hal demikian, menunjukkan kalau penggunaan kata corona untuk menamai sesuatu yang ada di alam ini adalah wujud kekaguman manusia atas apa yang ditampilkan oleh alam. Kebiasaan bangsa-bangas kuno, seperti Babylonia, Sumeria, Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi, dan lainnya mewujudkan rasa kagum itu dalam bentuk mitologi. Lewat mitologi itu kemudian mereka melakukan persembahan bagi sosok-sosok yang mereka mitoskan sebagai dewa/dewi.
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 1
Diakui atau tidak, cara manusia mengagumi kekuatan alam, sebenarnya menunjukkan gejala rasa menjadi manusia. Bahwa, di bentang alam semesta ini, manusia hanyalah salah satu di antara banyak makhluk-makhluk lain. Maka, ini sekaligus menjadi pengakuan, manusia memiliki banyak kelemahan. Sekalipun manusia dibekali akal, sehingga mampu membuat aturan main sendiri. Akan tetapi, manusia tidak bisa melampaui hukum alam. Manusia hidup di dalam alam. Alam punya hukumnya sendiri. Hukum alam mengikat pada semua makhluk yang hidup dan menghuni alam.
Nah, kembali pada kata corona. Sesuai makna yang ditawarkan kamus Oxford, corona disebut sebagai cincin cahaya pada matahari atau rembulan yang tampak saat gerhana total. Ini membuat saya mesti membuka catatan-catatan lama tentang mitos gerhana matahari/rembulan.
Terlepas dari benar-salahnya, mitologi tentang gerhana, baik matahari maupun bulan, menyajikan kisah-kisah yang bagi saya menarik. Bangsa Mesopotamia Kuno—yang memiliki kemampuan memperhitungkan kapan gerhana akan terjadi—menyebutkan, gerhana bulan merupakan ancaman bagi Raja Proxy. Untuk menyelamatkan sang raja, mereka menyembunyikan Raja Proxy. Kemudian ditempatkanlah raja palsu di singgasana kerajaan. Raja palsu inilah yang kemudian akan hilang ditelan gerhana. Sementara Raja Proxy, akan kembali dimunculkan saat setelah peristiwa gerhana itu usai. Hal serupa juga dilakukan oleh bangsa Babylonia Kuno ketika berhadapan dengan gerhana matahari dan gerhana bulan.
Sementara, bangsa Yunani Kuno meyakini, gerhana matahari/bulan merupakan ulah dewa Zeus yang sedang marah. Kemarahan Zeus, terutama disebabkan oleh kekecewaannya atas perilaku manusia yang abai terhadap rasa kemanusiaan. Herodotus, dalam catatannya menyebutkan, gerhana yang terjadi di tengah-tengah perang antara Lydia dan Media (tahun 585 SM) membuat medan perang gelap. Para prajurit yang melihat kejadian itu seketika menjatuhkan senjata dan mengakhiri perang.
Kisah dari bangsa Cina Kuno meyakini gerhana terjadi karena ulah naga langit yang memakan matahari/rembulan. Untuk menyelamatkan matahari/rembulan, sang Kaisar akan mempersiapkan diri dengan makan makanan vegetarian dan melakukan ritual. Sementara masyarakat akan membuat bebunyian dari drum dan pot untuk menakut-nakuti naga surgawi. Tak heran jika mereka menyebut gerhana dengan istilah chih atau shih, yang artinya makan.
Lain halnya dengan legenda yang dikisahkan orang-orang Vietnam. Mereka menganggap, gerhana terjadi karena seekor katak raksasa berusaha melarikan diri dari tuannya, Tuan Hanh, lalu memakan matahari/bulan. Katak itu mula-mula diikat di kolam Hanh dengan rantai emas. Ia kadang berusaha melarikan diri dari tuannya ketika dia sedang tidur. Ketika katak telah berhasil menelan matahari/bulan, ia dipaksa untuk batuk. Dan hanya tuannya yang bisa melakukan itu. Oleh sebab itu, sang tuan dibangunkan dari tidurnya dengan bebunyian. Terutama oleh para perempuan muda. Mereka akan memukuli lumpang dengan alu.
Bergeser ke arah timur, Korea. Mereka meyakini, gerhana matahari terjadi karena anjing-anjing mistis berusaha mencuri Matahari. Untuk membebaskannya, orang-orang berkumpul dan membunyikan alat-alat dapur. Seperti wajan dan panci.
Orang-orang Batammaliba yang tinggal di Afrika mempercayai, di antara matahari dan rembulan terdapat perjuangan abadi. Maka, ketika keduanya bertemu dalam satu waktu, peperangan di antara mereka tak terelakkan. Gerhana itulah wujud peperangan itu. Maka, orang-orang Batammaliba berusaha melerai keduanya. Mereka kemudian menguburkan kampak mereka dan berdamai dengan tetangga mereka.
Di benua Amerika, tepatnya pada suku asli Amerika, yaitu Hupa dan Luiseño, percaya bahwa gernaha bulan terjadi karena rembulan terluka atau sakit. Maka, ia butuh disembuhkan. Tersebab itu, orang-orang Hupa dan Luiseño akan membantu menyembuhkannya. Orang Luiseño akan menyanyikan lagu penyembuhan menuju bulan yang gelap.
Lain halnya dengan suku Pomo yang mendiami kawasan barat laut Amerika Serikat. Mereka meyakini, gerhana matahari terjadi karena pertarungan antara serigala langit dengan matahari. Kisah ini nyaris serupa dengan kisah bangsa Viking. Menurut mereka, ada dua serigala bernama Skoll dan Hati yang berkeliaran di langit. Skoll memburu matahari, sementara Hati mengejar bulan. Jika Skoll atau Hati dapat menangkap mangsa langit mereka, gerhana terjadi. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan matahari atau bulan adalah dengan membuat suara sebanyak mungkin untuk menakuti binatang buas.
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 2
Namun, suku Tewa di New Mexico justru mempercayai bahwa gerhana matahari menandakan kemarahan. Saat itu pula matahari meninggalkan langit, pergi ke rumahnya di dunia bawah. Sedang suku Inuit yang mendiami tanah Kanada Utara dan Alaska punya keyakinan lain. Matahari (dewi Malina) adalah kakak dari Bulan (dewa Anningan). Keduanya kadang tak akur. Sehingga, mereka tak jarang bertengkar, hingga dewi Malina memilih pergi setelah berkelahi dengan dewa Anningan. Dan gerhana matahari terjadi ketika Anningan berhasil menyusul kakaknya.
Di India kuno, terdapat kisah tentang Swarbhanu. Ia berusaha mengakali para dewa untuk mendapatkan ramuan yang membuat dirinya abadi. Ternyata, usahanya cukup berhasil. Ia mendapatkan beberapa tetes Amerta. Dewa matahari dan bulan yang mengetahui hal itu, segera memberitahu Wisnu. Marahlah Wisnu, hingga akhirnya kepala Swarbhanu dipenggal. Tetapi karena Swarbhanu telah mengabadi, kepalanya hidup seperti Rahu dan tubuhnya seperti Ketu. Kedua sosok itu kemudian terus mengejar Matahari dan Bulan untuk membalas dendam dan sesekali menelan mereka. Meski begitu, tubuh Swarbhanu yang tidak lagi utuh tak mampu membenamkan Matahari dan Bulan selamanya. Artinya, gerhana itu terjadi hanya sementara. Lewat kisah ini, keyakinan India Kuno menempatkan gerhana sebagai masa-masa sulit bagi para dewa. Maka, pemilik tanah menyumbahkan tanah mereka untuk kuil dan pendeta.
Yang menariknya, tahun 499 M, seorang matematikawan dan astronom India, Aryabhata memasukkan dua makhluk abadi ini, dan dijuluki “planet gelap” dalam deskripsinya tentang bagaimana gerhana terjadi. Formulasi geometrisnya menunjukkan bahwa binatang itu sebenarnya mewakili dua simpul bulan: posisi di langit tempat jalur matahari dan bulan bersilangan untuk menghasilkan bulan atau gerhana matahari. Dengan memanfaatkan orbit sembilan benda langit, dua di antaranya tak terlihat, mereka kemudian berhasil membuat perhitungan kapan gerhana akan terjadi.
Dalam mitologi Jawa, gerhana erat kaitannya dengan kisah Batara Kala. Seorang raksasa yang menelan matahari/bulan. Biasanya, peristiwa gerhana dipercaya menjadi tanda akan adanya peristiwa alam yang berakibat kurang baik bagi manusia, seperti gempa. Demikian juga pada masyarakat Dayak Ngaju, yang mempercayai gerhana terjadi karena Ruhu menelan bulan.
Tetapi, dari kisah-kisah itu, beberapa peneliti yang mengkaji mitologi dunia berpandangan, kisah-kisah itu adalah simbol bahwa kejadian gerhana menjadi tanda bagi manusia akan adanya hubungan erat di antara unsur-unsur alam. Artinya, peristiwa itu menjadi peringatan bagi manusia untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam. Maka, peristiwa gerhana tidak jarang dimaknai sebagai waktu untuk prihatin. Manusia, sekalipun memiliki kemampuan untuk mengolah daya hidup, ia tidak bisa lepas dari berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk yang menimpanya.
Corona, sekalipun nama yang indah rupanya mengandung berbagai rahasia yang begitu panjang untuk diurai. Saya pun harus mencari dan membuka-buka lagi berbagai catatan yang saling terkait. Sebab, bagi saya, nama tidak sekadar nama. Pasti ada suatu pesan yang hendak di sampaikan. Mungkinkah penggunaan kata corona sebagai nama ini berkorelasi dengan “dunia kegelapan”? Baca Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 4.