KOTOMONO.CO – Di dunia ini sangat mungkin satu nama dipakai oleh banyak orang. Bisa saja ratusan atau bahkan ribuan. Makanya, ada istilah nama pasaran. Nama yang umum digunakan oleh orang-orang. Begitu juga dengan nama virus yang sedang naik daun dan menjadi selebritis, Corona.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari catatan-catatan saya sebelumnya. Menyoroti nama Corona. Ternyata, nama itu tidak sekadar kondang di masa sekarang. Tetapi, sudah kondang sejak ratusan abad silam. Jadi, kalau hari ini kita masih saja terkaget-kaget mendengar nama Corona, mungkin kita perlu membaca lagi sejarah panjang nama ini.
Orang-orang Yunani, di era bahula, kata ‘corona’ itu diartikan sebagai karangan bunga. Bukan mahkota. Salah satu kisah mitologi mereka yang cukup populer adalah kisah tentang Corona Australis, sebuah rasi bintang kecil di belahan langit selatan. Oleh Aratus—penyair Yunani yang terkenal di Makedonia pada awal abad ke-3 SM—dalam bukunya “Phaenomena”, rasi bintang ini digambarkan sebagai lingkaran bintang di bawah kaki depan Sagitarius. Sementara, astronom dan ahli matematika Yunani abad pertama SM, Geminus menyebutnya rasi yang terpisah. Kemudian diberi nama Νότιος στέφανος (Notios stephanos, mahkota selatan). Ia juga menjelaskan, busur bintang juga dikenal sebagai kanopi, seperti yang ditemukan di atas takhta, meskipun ia tidak menjelaskan itu tahta siapa.
Lain lagi dengan Ptolemy pada dua abad kemudian. Ia malah membalikkan nama tersebut menjadi Στέφανος νότιος (Stephanos notios). Dalam catatannya, Ptolemy menunjukkan ada 13 bintang komponen dalam rasi mahkota selatan. Meskipun salah satu dari mereka, sejak itu telah dipindahkan ke sosok Teleskopium modern yang berdampingan, yang dikenal sebagai Alpha Telescopii.
Oke deh, timbang susah membayangkannya, karena kita nggak sempat membaca catatan para astronom kuno itu, saya langsung saja menuju pada kisah mitologi di balik Corona Australis/Corona Australina.
Mitologi Yunani Kuno mengaitkan Corona Australis dengan kisah Dionysus. Konon, Corona Austalis adalah mahkota yang ditempatkan di langit oleh Dionysus setelah mengambil ibunya yang sudah mati dari Dunia Bawah.
Kisah ini dimulai dari ulah Zeus yang kepincut putri Raja Cadmus dari Thebes. Untuk mendapatkan Seleme, Zeus menyamar menjadi seorang laki-laki tampan. Tentu, Semele pun tak menolak cinta laki-laki tampan itu. Singkat cerita, mereka akhirnya pacaran.
Sayang, Hera–istri Zeus yang pecemburu itu—mengetahui hubungan terlarang itu. Marahlah ia. Bahkan, ia merencanakan sebuah aksi balas dendam pada Semele. Dia tak mau kalah dengan Zeus. Ia menjelma menjadi pelayan tua yang mengunjungi Semele. Ketika itu, Semele sedang hamil tua. Hera mendesak Semele untuk mengungkapkan identitas kekasihnya. Kebetulan, Zeus muncul di hadapan mereka. Karena dipaksa untuk mengungkap identitasnya, dengan berat hati Zeus menuruti. Ia tahu, konsekuensi seorang manusia yang melihat wujud dewa dengan kekuatannya yang penuh akan membuat manusia itu mati. Lantas, Zeus dengan penampilannya yang terbungkus petir menunjukkan dirinya di hadapan Semele. Seketika, istri yang dicintainya itu mati. Tetapi, Zeus segera menyelamatkan putranya yang belum lahir itu dengan mengambilnya dari rahim sang ibu. Menempelkannya ke pahanya. Di paha Zeus itulah, si jabang bayi yang kelak lahir sebagai Dionysus itu dirawat, hingga lahir.
Setelah terlahir, Zeus menyerahkan Dionysus pada Hermes, Dewa Pembawa Pesan. Di bawah asuhannya itu ia disembunyikan dari Hera, Ibu tirinya. Sayang, Hera selalu punya cara untuk mengetahui keberadaan Dionysus. Dengan kesaktian sabdanya, ia lalu mengutuk Dionysus dengan kegilaannya mengembara ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, sempat pula mampir ke Asia. Di kawasan ini, ia mengajari orang-orang bertani anggur.
Tidak hanya itu, pengembaraannya sampai pula di Dunia Bawah. Dimulai dari sebuah kolam di Argolid, Dionysus memasuki Dunia Bawah di bawah bimbingan seorang penggembala, Prosymnus atau Polymnus. Imbalannya, Dionysus harus menjadi kekasihnya. Sayang, dalam perjalanannya, Prosymnus meninggal dunia sebelum Dionysus melunasi janjinya. Ia pun memakamkannya serta membuatkan tugu lingga untuk mengenang Prosymnus.
Di Dunia Bawah ini, ia menemukan Ibunya. Ia menjemput dan membawa arwah Ibunya, kemudian menghadapkannya di depan para dewa di gunung Olympus. Para dewa pun menyetujui dan menerima kehadiran Semele. Ia dipersilakan untuk bergabung dengan mereka. Semele menjadi dewi di gunung Olympus dengan nama baru, Thione. Sementara Corona Australis menjadi karangan bunga atau mahkotanya.
Itulah sepintas kisah mitos Yunani Kuno tentang Corona Australis/Corona Australina. Lain ceritanya dengan yang berlaku pada mitologi Jerman. Tapi, kalau saya catatkan di sini akan semakin panjang saja tulisan ini. Mungkin saya simpan saja dulu untuk catatan saya berikutnya.
Nah, kira-kira apa yang bisa kita petik pelajarannya dari kisah Dionysus dan Semele tadi, dikaitkan dengan Corona Austalis? Bagaimana pula kita akan memaknai nama corona yang akhir-akhir ini masih ramai saja diberitakan? Saya kira, masing-masing kita punya cara yang berbeda-beda dalam memaknai dan menyikapi. Tetapi, melatih untuk berpikir positif dan menjaga ketenangan batin itu lebih diperlukan. Sehingga, kita bisa memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang kita cintai. Baca: Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 6