KOTOMONO.CO – Agaknya, peristiwa 3 Oktober 1945 yang mengorbankan 37 orang tewas dibantai Kempeitai belum masuk dalam daftar peristiwa sejarah nasional. Padahal, peristiwa ini boleh dibilang telah menyulur rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk melawan penjajahan di Indonesia pasca dikumandangkannya Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Surabaya, dan beberapa peristiwa lain yang terjadi saat itu, boleh jadi dipicu oleh peristiwa ini. Lalu, bagaimana masyarakat masa kini, khususnya anak muda mampu menyerap semangat nasionalisme kala itu?
Pertanyaan itu makin hari makin sulit untuk dijawab. Tak banyak yang tersisa dari peristiwa itu. Bangunan yang menjadi tonggak sejarah pun tinggal Monumen Juang 3 Oktober (sebelumnya Taman Kebon Rojo). Sedang, bangunan yang dahulu disebut sebagai Kempeitai (Satuan Polisi Militer/Polisi Rahasia Jepang) kini sudah bersalin rupa menjadi Masjid Syuhada (sejumlah orang menyebutnya Masjid Gusdur sebab yang meresmikan Presiden kala itu Abdurrahman Wahid atau kerap dipanggil Gusdur pada 26 Februari 2000 atau 20 Dzulqo’dah 1420 H).
Cerita mengenai hal ini pun tak mudah didapatkan. Sejumlah tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu, sebagian besar telah tiada. Hanya menyisakan narasumber lapis kedua yang sebelumnya berinteraksi dan memperoleh cerita dari para pejuang itu. Sementara, cerita yang telah beredar melalui siaran yang dilakukan pemerintah, baik melalui media massa baik media cetak, dan media elektronik yang dianggap paling valid hanya menggunakan kacamata militeristik yang heroik.
BACA JUGA: Daftar Nama Korban Tragedi 3 Oktober 1945 di Kebon Rojo – Pekalongan
Akibatnya, cerita-cerita lisan para pejuang sipil yang terlibat langsung dalam peristiwa terpinggirkan. Media massa jarang melacak peristiwa itu. Para penguasa jarang membicarakan itu secara luas. Kalaupun dibicarakan, kadang tak dipercaya.
Gambaran ironi ini mengemuka dalam perbincangan hangat di selasar Jagad Café pada Minggu malam lalu, (3/10) bersama sejumlah pemantik diskusi, yaitu Peneliti Sejarah Arief Dirhamsyah, Tim Penulis Buku ‘Babad Kabupaten Pekalongan’ Edi van Kelink, dan Budayawan sekaligus Pemimpin Redaksi Kotomono.co Ribut Achwandi.
Kronologi Peristiwa 3 Oktober
Arief Dirhamsyah mengisahkan, seusai Kemerdekaan Indonesia, di Lapangan Ikada Bung Karno berpidato pada tanggal 23 Agustus 1945. Salah satu poin pentingnya, agar di Pekalongan segera dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) sebagai caretaker pemerintahan saat Jepang melepaskan kekuasaannya kepada Indonesia.
Sejak itu, para tokoh ulama bersama tokoh nasionalis bermufakat membentuk KNID Pekalongan yang diketuai oleh dr. Sumbaji, dr. Ma’as (dokter RS. Kraton), R. Suprapto (Kepala Pengadilan Negeri Pekalongan), Kromolawi (Tokoh Nasionalis PNI), KH. M. Ilyas (Nahdlatul Ulama), Johar Arifin (Pedagang), Abdul Kadir Bakri (Muhammadiyah). Lewat KNID para tokoh kemudian mengusulkan kepada Presiden Soekarno melalui Gubernur Wongsonegoro untuk mengangkat Mr. Besar Martokoesoemo sebagai residen Pekalongan.
Usulan itu pun disambut baik. Tanggal 21 September 1945 Mr. Besar diangkat sebagai residen Pekalongan. Pengangkatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan transisi kekuasaan di Pekalongan apabila di kemudian hari Jepang melepaskan cengkeramannya kepada Indonesia.
Namun, untuk menguatkan langkah itu dibentuk pula BPPKP (pimpinan dr. Ma’as), dan kelompok Angkatan Muda yang dipimpin Mumpuni dan Margono J. Kelompok ini menjadi penyokong bagi upaya pengambilalihan kekuasaan Jepang ke Indonesia dalam beberapa perundingan yang direncanakan.
BACA JUGA: Riwayat Sejarah Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan
Sayang, Jepang selalu menunda perundingan. Maka, pada 29 September 1945, rakyat Pekalongan melakukan penekanan pada Jepang dengan berpawai keliling kota yang digelar untuk menyambut kemerdekaan Indonesia.
“Ribuan orang keluar semua, berselawat, menyanyikan lagu-lagu nasionalis keliling kota,” tegas Dirhamsyah sembari menunjukkan ilustrasi orang-orang yang tampak berkerumun.
Dalam kesempatan itu, Mr. Besar, Residen Pekalongan juga memberi penegasan, bahwa Pekalongan sudah merdeka. Dan, Pekalongan adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak mau kehilangan muka, Jepang, sebagaimana disebutkan Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (1978), secara rutin melakukan operasi kota pada akhir September menjelang Oktober. Operasi itu dilakukan dengan satu truk Kempeitai keliling dan dikawal oleh barisan sepeda motor. Di stasiun Pekalongan, mereka mengacungkan bayonet kepada masyarakat yang tengah berada di sana.
Rupanya operasi itu ditanggapi pemuda Pekalongan yang siap melawan. Alhasil, operasi itu pun tak cukup membuahkan hasil. Tentara Jepang pulang ke markas.
Sejak itu pula Jepang agak mulai melunak. Mereka mau berunding dengan KNID. Mestinya, perundingan itu dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1945. Namun, situasi yang semakin genting membuat rencana itu diundur.
Mereka khawatir, jika gejolak yang terjadi di Semarang dan beberapa kota lain akan berdampak pada situasi yang terjadi di Pekalongan. Barulah pada tanggal 3 Oktober 1945 perundingan pengambilalihan kekuasaan dapat dilaksanakan.
BACA JUGA: Kisah KH. Abdul Gaffar Ismail di Pekalongan
“Di situ yang berperan besar adalah ulama. Belum ada tentara. Kyai Siraj, dan Kyai Habib Ali itu memimpin masyarakat di sebelah utara dengan titik kumpul di masjid Wakaf. Kemudian Kyai Syafi’i itu mengumpulkan orang dari mulai Banyurip ujung (dekat perbatasan Kabupaten) sampai Medono sentral (depan PLN) yang berjumlah ribuan orang bersiap menunggu arahan bergerak dari Kyai Syafi’i. Belum lagi para pelajar yang dikerahkan oleh sekolah untuk ikut mendukung delegasi Pekalongan yang akan berunding,” tutur Dirhamsyah.
“Saat berangkat dari selatan, semuanya berselawat sampai ke Kempeitai,” terdengar suara Dirhamsyah bergetar membayangkan suasana heboh dan semua tergerak itu.
15 Menit mendekati jam 10 pagi, sejumlah anggota KNID tiba dan bergerak bersama Mr. Besar. Hanya dua orang yang berhalangan hadir. Yakni Kyai M. Ilyas yang dinyatakan sakit dan Kromolawi yang tidak jelas keterangannya setelah berupaya ditelisik pada keluarga.
“Mereka bergerak mulai dari kantor Residen di depan Jetayu, masuk Diponegoro, Imam Bonjol disertai ratusan mungkin ribuan orang. Diantar sampai depan gerbang Kantor Kempeitai yang sekarang menjadi Masjid Syuhada,” ujar Dirhamsyah.
Proses perundingannya sendiri ditunjukkan Dirhamsyah dengan ilustrasi untuk merekonstruksi perundingan dengan bentuk letter-U. Setelah lebih dari satu jam berunding, Mr. Besar menyampaikan proses perundingan di depan para pemuda yang tertahan di depan markas Kempeitai. Para pemuda tak sabar, mereka mendesak untuk mengetahui ‘sejauh mana perundingan yang dilakukan oleh delegasi Pekalongan’.
Beberapa poin yang disepakati dalam perundingan itu, antara lain: Kempeitai akan menhentikan aksi keliling kota dan menyerahkan senjata pada polisi; Senjata yang diserahkan memiliki kualitas yang sama dengan senjata yang dimiliki pasukan Kempeitai; Senjata itu, selanjutnya disimpan di Gedung Societet yang kuncinya dipegang oleh Mr. Besar dan Komandan Kempeitai.
Namun, suasana makin tak terkontrol. Ketika penerjemah Horisumi tengah menerjemahkan pembicaraan dr. Sumbaji dari luar gedung terdengar letusan. Keadaan menjadi kacau. Jepang tampaknya sudah menyiapkan dengan adanya satu tembakan ke atas dan disusul tembakan senapan Metraliur ke arah rakyat yang tidak bersiap. Sehingga banyak korban berjatuhan.
“Ada kesaksian yang menyebut, ‘sambil berlindung dibawah jendela karesidenan saya melihat rombongan Mr. Besar meloncati tembok sementara peluru berhamburan kemana-mana.’ Disini dulunya ada tembok lompat ke tembok sini lantas tiarap. Kenapa? Karena senapan mesin mengarah kesana juga. Beruntungnya terlindungi tembok. Kemudian perlahan lari menuju arah kampung Pesindon,” tutur Dirhamsyah menunjukkan sebuah ilustrasi peristiwa.
Diceritakan Nasution, rupanya Jepang telah memiliki siasat dalam Gedung menembakkan senapan mesin sehingga rakyat kacau balau dan korban berjatuhan. Tetapi, rakyat tidak mau mengalah begitu saja. Seorang pemuda dari barisan Kereta Api naik ke Gedung untuk mengibarkan sang Saka Merah Putih. Meskipun dia tertembak, tali bendera itu tetap dipegang supaya tidak jatuh. Kini, pemuda itu diabadikan dalam patung Monumen 3 Oktober di Pekalongan yang digambarkan dengan tiga pemuda yang mengibarkan bendera.
Edi Van Kelink: Juru Ketik Heroisme Militer
Edi van Kelink menanggapi kronologi itu bahwa dirinya pernah berinteraksi dan bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda waktu itu yang kemudian berkarir di militer. Sebagai siswa kelas 2 SMP, Edi memutar memori masa lalunya, saat memulai karir sebagai penulis di Majalah Hai, Majalah Bobo, dan Suara Karya. Ternyata dari tulisan itu, beberapa perwira militer mencermati kegiatannya.
BACA JUGA: Kisah Bendera Pusakanya Wong Kalongan
Kemudian, diundanglah Edi dan ia merasa beruntung bisa duduk bersama Brigjen. Purwosasmito, Komandan Resmil 17 yang mengumpulkan sejumlah koleganya untuk merekonstruksi peristiwa 3 Oktober dari sudut pandang heroisme militeristik.
“Saya bersyukur malam ini bertemu Dirhamsyah menguraikan peristiwa 3 Oktober, seperti yang pernah dilakukan bapak saya dan kawan-kawannya. Ini lengkap sekali, dari pandangan civil society, orang sipil. Dan ketemu bagaimana peran ulama dan santrinya,” ujar Edi tampak sumringah.
“Sementara buku pertama yang saya tulis itu, melulu tentang militer. Saya menjadi juru ketiknya. Jadi, memang era-nya Soeharto, rezimnya militer. Semua daerah menuliskan peristiwa heroiknya dan didominasi oleh kalangan tentara. Jadi, itu sebuah keniscayaan sejarah. Sehingga, kita tidak bisa menyalahkan keadaan itu. Kebetulan, ketika bersama tim penyusun mendengar langsung peristiwa laporan pandangan langsung, hanya secara lisan. Karena keterbatasan deskripsi secara tertulis, akhirnya timbul simpang siur juga, multiversi,” sebut Edi.
Peristiwa terjadi, bagi Edi, karena akumulasi dari sebuah penindasan. Ia menggarisbawahi penindasan, bukan lagi penjajahan dari Jepang ke rakyat Indonesia. Sejarawan menilai konteks masyarakat Pekalongan (termasuk Batang yang masih berada dalam lingkup Pekalongan kala itu), bagaimana elite muda dan tuanya bisa bersinergi mempersiapkan sebuah kemerdekaan. Ini berbeda ketimbang tetangga kota, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Sehingga, akumulasi peristiwanya juga terjadi, dampak peristiwanya berbeda.
“Setidaknya dengan peristiwa 3 Oktober ini, Pekalongan lepas dari pemberontakan PKI yang pertama. Anda tahu pemberontakan PKI yang pertama, umumnya di Madiun. Akan tetapi, sesungguhnya yang terjadi di Pekalongan, Brebes, Tegal, dan Pemalang.,” tutur Edi.
Dipimpin oleh seorang tukang cukur yang melakukan pemberontakan. Sadisnya luar biasa, dari semua bupati, camat, kepala desa, dibantai di depan umum. Pertama, dilakukan pengadilan rakyat. Langsung ditunjukkan kesalahannya kemudian di eksekusi. Berikut keluarganya.
BACA JUGA: Riwayat Sejarah Gedung Gevangenis te Pekalongan (LAPAS Kelas IIA)
Hal itu, sebut Edi tidak terjadi di Pekalongan. Karena peristiwa 3 Oktober ini seluruh kekuatan rakyat, terakumulasi, terkoordinasi, dan tidak menjadikan pamong praja itu sebagai sasaran. Sebab musuh utamanya, Jepang sudah dilibas.
“Bisa dikatakan ini sebuah keberuntungan bagi masyarakat Pekalongan. Dibalik Pembantaian ini ada hikmahnya. Muncul tokoh seperti Iskandar Idris, oleh Jepang direkrut sebagai Daedancho semacam Komandan Korem di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Jepang pun pandai merekrut tokoh ulama, termasuk KH. Sukirman yang juga guru agama di Banyumas karirnya melejit setelah perang palagan Ambarawa,” tukas Edi.
Lebih Jauh daripada Peristiwa
Ribut Achwandi menyoroti peristiwa 17 Agustus. Ada ulasan menarik mengenai peristiwa Rengasdengklok. Mengapa pemuda memilih rumahnya Laksamana Maeda?
“Itu yang jarang kita ulas, dalam sejarah. Ternyata ini strategi Jepang, karena memiliki otoritas untuk mengamankan kondisi Indonesia sebelum diserahkan kepada Sekutu. Saat vacuum of power, Jepang dalam hukum Internasional memiliki kewajiban keamanan negara jajahan yang nanti akan diserahkan negara pemenang perang. Oleh karenanya, Jepang melakukan sweeping dan macam-macam. Itu wajar. Karena dia punya tugas mengamankan situasi,” tutur Ribut.
Menyoal naskah proklamasi juga, ditilik Ribut sebagai negosiasi tingkat tinggi. Sebab, tidak ada perebutan kekuasaan dalam diksi naskah itu. Justru yang ada pemindahan kekuasaan.
“Kenapa bukan perebutan, tapi pemindahan? Karena bila menggunakan diksi perebutan. Jepang bisa langsung menembak (derr). Soekarno dkk bisa langsung mati. Sudah bisa dianggap makar dalam konteks Indonesia masih dikuasai negara penjajah. Inilah kecerdasan para pemuda dan founding father kita kala itu,” sebut Ribut.
BACA JUGA: Sejarah Gedung Asrama Brimob (Rumah Hoo Tjien Siong) Kedungwuni
Bahkan untuk naskah sendiri memang, sampai mengalami revisi berulang kali, dicorat-coret terutama di bagian kekuasaan itu. Pertanyaan selanjutnya, kenapa pula berembugnya dengan Laksamana Maeda?
“Soekarno, Hatta, dkk menyadari bisa berakibat fatal jika itu tidak dilakukan. Kemerdekaan Indonesia bisa keliru secara hukum Internasional. Oleh karena itu Jepang belum meninggalkan wilayah selama masih memiliki kewajiban menjamin keamanan tidak boleh meninggalkan wilayah dimanapun itu berada,” pungkas Ribut yang menggunakan perspektif berbeda. Baginya, sejarah perlu diperdebatkan, supaya kita bisa menemukan jalan terbaik untuk memahami sejarah. Sehingga, tidak memunculkan nasionalisme buta, Indonesia terbaik yang lain buruk.
Bagi Ribut, membaca realitas demikian pasca Indonesia merdeka yang Pekalongan tancap gas, sakpore pokoke. Itu terlihat juga pada filosofi orang Pekalongan, ora umuk ngamuk. Itu keren, buat Ribut. Namun, sekarang umuk menjadi hal berbeda.
“Seperti selfie, lantas dipasang di Instagram. Tetapi, untuk mengenai karya nol besar. Umuk itu wajib ‘ain bagi orang Pekalongan. Tapi, umuk yang positif, bukan yang ngga–ngga tho,” sebut Ribut. Soal versi dalam sejarah, bisa menjadi memperkaya perspektif kita tentang peristiwa itu. Sehingga, untuk generasi sekarang dan nanti yaitu benang merah peristiwa itu apa dan kedepan mau merumuskan apa kita ini melalui peristiwa itu.
BACA JUGA: Mengenal Jenderal Hoegeng Imam Santoso
“Kita tak bisa hanya membanggakan, katakanlah era dulu seperti ini. Kita kok enggak, ga bisa diperbandingkan seperti itu. Ga bisa. Sejarah itu harus lahir. Persoalannya sekarang, kita sudah belajar sejarah bahwa Pekalongan adalah wilayah luar biasa yang sangat diperhitungkan dari masa ke masa. Semua organisasi bisa besar dan bisa bertahan, kalo ngga lewat Pekalongan itu ga bisa. Apapun organisasinya, mau organisasi politik, sosial, masyarakat. Kalau sampai bisa menguasai Pekalongan, pasti jelas bisa besar,” ungkap Ribut.
Lebih lanjut, ia mengusulkan di waktu mendatang untuk cintapekalongan.com yang kini berganti rupa menjadi Kotomono.co sebagai media yang mengusung suara seluruh lapisan masyarakat mampu mendorong adanya sayembara mengenai 3 Oktober dengan cara dan konteks masa kini, baik berupa puisi, opini, maupun hal-hal yang sekiranya menampung umuk-nya kita agar dapat lebih mudah diterima masyarakat.