KOTOMONO.CO – Sudah pukul 23.15. Wiyana kemas-kemas dibalut rasa cemas. Ia mesti segera sampai di rumah. Tak baik bagi seorang perempuan berkeliaran di larut malam. Ia mengkhawatirkan kata-kata ayahnya yang bisa bikin nyeri di hati. Tak cukup dengan marah, tapi juga kata-kata yang sungguh tak mau ia dengar. Pernah itu terjadi. Makian ayahnya mengalahkan suara azan subuh dari corong musala.
Sebenarnya Wiyana cukup tahu diri. Kemarahan ayahnya itu bermula dari kecemasan. Ia tidak mau jika Wiyana jadi sasaran lelaki hidung belang. Apalagi wajah dan bentuk tubuh Wiyana yang sebelas-dua belas dengan Tyas Mirasih. Ditambah ia tak pernah mengenakan kerudung. Bisa membikin lelaki mana pun ingin menyerobot Wiyana dari ayahnya tanpa permisi.
Ah, wajah cantik dan tubuh indah Wiyana bagai sebuah kutukan. Membuatnya tak nyaman. Apalagi setelah dengar kata-kata ayahnya, bahwa perempuan itu sumber masalah. Lebih-lebih tidak menjaga aurat. “Setan itu menempel di tubuhmu seperti binatang parasit yang melambai-lambai tangannya pada setiap lelaki agar mejamah tubuhmu. Ngerti kamu?!” kata ayahnya.
Kini, di antara gelap, ayahnya menunggu di ambang pintu. Wajahnya muram. Berkali-kali menengok ke arah jam dinding yang tak peduli pada kecemasannya. Jam itu terus berputar. Sesekali tampak menggodanya. Wajah lelaki paruh baya itu makin bersungut-sungut.
Setiba di rumah, seperti hari-hari yang sudah-sudah, lagu lama itu didendangkan lagi. Berondongan pertanyaan, intonasi yang ditekan-tekan, dan dipuncaki dengan suara lengkingan kemarahan sang ayah. Wiyana telah menghafal semua itu. Tetapi, ia juga tak pernah habis kata-kata untuk menangkis kemarahan itu.
“Dari mana, Yan? Larut malam baru pulang!” Tanya ayah memeriksa.
“Yana lembur, Yah. Ada tugas yang perlu dibereskan.” Tukas Wiyana tenang.
“Lembur kok sampai larut malam. Jangan-jangan….”
“Tidak, Yah. Yana tak seburuk itu.”
“Makanya, pakai kerudung. Supaya ayah tenang. Nggak berpikir buruk tentangmu. Nggak curiga. Nggak cemas kalau-kalau kamu…,” suara itu masih saja berlanjut. Tetapi, pada telinga Wiyana, suara itu dibiarkan saja hingga tak terdengar lagi. Meski ayahnya terus nyerocos.
Kata-kata ayah Wiyana tak bisa disalahkan begitu saja. Wajar, orang tua mencemaskan anaknya. Tetapi, menyertakan setan sebagai alasan, dan menuding bahwa tubuh dan wajahnya sebagai sarang setan, rasa-rasanya itu menyakitkan. Kalau sekadar omongan tetangga, itu tak masalah. Mereka tak tahu apa-apa.
Gunjingan para tetangga, sebenarnya sudah cukup lama ia dengar. Wiyana tak peduli. Terserah saja mereka mau mencemoohnya sebagai seonggok tubuh yang berlendir dan dipenuhi oleh keringat laki-laki hidung belang atau apa saja. Baginya, tak penting.
Tapi, ada yang tak ia terima. Gunjingan itu kenapa pula harus sampai ke telinga ayahnya. Benar-benar membuat ia tak nyaman. Nyaris habis kesabaran. Tapi, pada siapa mesti ia luapkan, ia tak mengerti.
Wiyana hanya bisa diam. Kemudian menuju kamar. Merebahkan tubuh letihnya. Memikul beban seorang anak dan seorang perempuan. Tak butuh waktu lima jam, tubuh Wiyana terhempas ke atas tilam. Hampir tiada ada pakaian melekat pada lekuk setiap senti tubuhnya. Kecuali singlet biru yang dibiarkan membalut tubuh. Dan, celana pendek Diadora menutupi lekuk bokongnya.
Wiyana melayang-layang dalam gelap. Ia tinggalkan melihat dinding kamar kusam, lemari keropos hadiah ulang tahun dari ayahnya saat genap ia berusia 18 tahun. Ia terlelap.
Sebuah ruang gelap ia masuki. Pelan-pelan, seberkas cahaya memancar. Lalu, menyelubungi seluruh ruang. Menyilaukan.
Berkali-kali ia menangkis cahaya itu. Tetapi, cahaya itu terus menguar seenaknya dari dalam pintu. Wiyana penasaran. Didekatinya pintu itu, berjalan perlahan. Semakin dekat, cahaya itu pelan meredup.
Ruangan itu tak pernah ada dalam ingatannya. Ruangan itu tak pernah tersedia di masa lalunya. Ayahnya tak pernah mengajaknya memasuki ruangan itu. Ruang penuh cahaya. Ruang disudut arah tenggara rumahnya.
Dibuka pintunya. Tak ada bunyi ‘kreeek’ macam pintu lawas seperempat abad. Seperti pintu baru. Belum pernah dibuka. Lamat-lamat, bayangan seseorang tampak olehnya. Duduk seperti menanti seseorang datang padanya. Ia dekati sosok itu.
Pada langkah terakhirnya, Wiyana merinding. Ketika tampak oleh matanya tubuh seseorang itu bergerak. Membalikkan badan ke arahnya. Ia terkejut. Sosok itu aneh. Tubuhnya mirip manusia. Tetapi wajahnya berwarna mirip anak babi sepuluh hari. Dahinya bermahkota tanduk seukuran tanduk kambing etawa.

“Kamu…?”
“Aku Tuhan! Ha ha ha ha ha…” sosok itu tertawa keras-keras.
“Tuhan? Ah nggak mungkin. Kamu jelek. Nggak mungkin Tuhan jelek,” ujar Wiyana menyelidik.
Sosok itu hanya mengelus-elus tanduknya.
“Tanduk itu… ya, aku pernah lihat. Tiga hari lalu Pak Butar membeli dua ekor kambing. Tanduknya mirip. Ah, apa kambing itu kamu? Kalau saja Pak Butar tahu, pasti ia tak mau beli kambing sepertimu. Jelek,” ledek Wiyana.
“Kurang ajar, kau wanita!!!” Sosok itu membentak.
“Eh, kok bawa-bawa wanita sih?”
“Ha ha ha ha… aroma tubuh wanita itu aku kenal. Dan itulah yang membuatku kerap dianggap biang masalah. Kau sebut aku parasit. Padahal, aku hanya kambing hitam atas kebodohan laki-laki yang tak bisa mengendalikan tongkat kekuasaannya, aha ha ha ha ha!” Tertawa Setan makin menjadi-jadi.
“O. Kalau begitu kebetulan.”
“Kebetulan?” setan terheran-heran.
“Aku ingin sesekali marah padamu!” tantang Wiyana.
“Marah? Ha ha ha ha! Untuk alasan apa? Ha?!”
“Mengapa kamu selalu menginap dalam tubuh perempuan? Mengapa selalu kau ciptakan aroma yang mengundang birahi laki-laki? Kau bikin aku tak nyaman! Kau menyebalkan!”
“Itu memang tugasku, nona,” Jelas Setan, dia melunak.
“Tugas?”
“Ya. Tugasku adalah menggoda manusia. Dan itu hak istimewaku. Jatahnya sampai Hari Kiamat.”
“Dengan menempel di tubuh perempuan?”
“Itu salah satunya. Anak manusia, semua keturunan Adam pasti tak kuat menahan nafsu pada wanita cantik macam kamu.”
“Kamu licik dan biadab!” Wiyana membentak.
Setan itu tiba-tiba berdiri. Lalu, ia bicara, “Licik? Kamu lucu sekali. Mana ada setan licik? Mana ada setan beradab? Kodrat kami para setan ini, memang tidak sama dengan manusia. Karena kami lebih tak sempurna dari manusia. Dan manusia menyempurnakan segala kekurangan kami itu.”
“Maksudmu?”
“Ha ha ha… manusia dengan segala kemampuannya, bisa lebih licik dan tidak beradab dari kami. Manusia dengan segala kehebatannya, bisa menyempurnakan peradaban setan.”
“Bedebah! Kamu memang… ah! Kenapa selalu wanita?” Wiyana tiba-tiba terisak.
“Hei, kenapa menangis? Itu bukan salahmu, kan?”
“Itu salahmu, setan!”
“Salahku? Mananya yang salah? Aku sekadar menjalankan tugas. Bagaimana disebut salah? Manusia saja yang menganggap begitu. Banyak dari mereka mabuk agama. Tapi mereka tidak merasa sedang mabuk. Begitulah. Tidak ada orang teler yang menyadari dirinya teler.”
“Tapi, semua itu sudah telanjur. Wanita harus menanggung akibat dari ulahmu!”
“Lantas apa maumu?”
“Kamu tidak lagi menempel pada tubuh perempuan.”
“Ooh… tak semudah itu, nona. Kalau aku pergi dari tubuh perempuan, kamu yakin semua lelaki di luar sana akan baik-baik saja? Tanyakan pada ayahmu!”
Tiba-tiba berisik. Obrolan itu belum selesai. Ada suara erangan dari dalam kamar Wiyana. Suara perempuan. Wiyana terkesiap dari lelap. Lekas-lekas bangkit dari tidurnya. Ia amati suara itu. Ia kenali suara itu. Itu suara yang pernah didengarnya dua hari lalu di depan rumah.
Segera ia melompat dari kasurnya. Ia diburu rasa penasarannya. Dicarinya sumber suara itu. Dan… tiba-tiba berhenti. Mendadak ia ragu melangkah. Ketika ia berada di dekat pintu kamar ayahnya. Suara itu terdengar jelas dari balik pintu itu.
Darahnya mendidih perlahan. Tanpa memperhitungkan lagi akibatnya, didobrak pintu kamar ayahnya. Brak!
Mata telanjangnya seketika menyaksikan sebuah dosa. Dua tubuh tengah bergulat di atas ranjang pernikahan ayah dan almarhum ibunya. Tetapi, ia tak tahu tubuh perempuan telanjang mana yang telah bersekutu dengan tubuh ayahnya. Bayangan setan itu muncul lagi. Tertawa terbahak-bahak. Seketika, Wiyana terkapar di samping ranjang ayahnya.
Panjang Indah, Kota Pekalongan, 25 Juli 2020
Baca juga tulisan-tulisan Cerpen menarik lainnya