KOTOMONO.CO – Permasalahan dan kelakuan remaja, baik yang berstatus pelajar maupun yang non-pelajar dalam bersikap semakin mengarah pada permasalahan yang tidak bisa dianggap sepele. Keinginan mereka dalam mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitar maupun lingkungan pergaulan mereka sudah tidak bisa lagi dianggap remeh. Sebab tidak jarang aksi mereka cenderung membahayakan diri dan juga orang-orang di sekitar mereka.
Jika ingatan kita semua tidak berkhianat, kita pasti tidak bisa lupain kejadian yang sempat viral beberapa waktu lalu. Dengan ringannya, salah satu dari beberapa pelajar remaja yang berada di jalan berkonvoi motor itu melayangkan tendangannya kepada seorang sosok nenek hingga terjatuh.
Kejadiannya teridentifikasi berada di wilayah Tapanuli Selatan. Akhirnya, nenek tersebut dengan setengah berlari menjauh. Entah karena sakit entah karena takut? Kemudian video tersebut mencuat di antara belantara linimasa dan membuat kemarahan warganet meluap dan ditumpahkan melalui jempol-jempol yang kini bisa mewakili lidah kita untuk mencaci maupun memuji.
Ini bukan kasus yang pertama kali. Sebelumnya, sekelompok anak sekolah yang terdiri dari para remaja wanita berpakaian seperti pakaian olahraga pernah juga melakukan hal yang sama, mendorong seorang kakek-kakek hingga terjerembab ke dalam semak-semak. Kemudian mereka berlarian sambil tertawa lepas dengan terbahak-bahak. Entah ekspresi senang entah ekspresi puas? Atau mungkin keduanya.
Dan dikemudian hari para pelajar ini berhasil diamankan serta menyatakan permintaan maaf dan tidak boleh mengulanginya lagi. Pernyataan maaf dan janji tidak akan mengulangi tersebut di deklarasikan dalam sebuah video dan disebar keseluruh media sosial. Pertanyaannya, cukupkah penyelesaian masalah tersebut hanya dengan maaf dan janji?
Sebelumnya saya ingin disclaimer dahulu, bahwa ini murni pendapat saya pribadi tentang penanganan atas perbuatan remaja yang sudah mengarah pada tindak kriminal yang seharusnya tidak selalu berakhir dengan mediasi dan damai.
Sudah banyak narasi-narasi yang menyampaikan bahwa para remaja berada dalam kondisi pencarian jati diri. Dari para psikolog kakap yang sudah terkenal sampai psikolog kelas teri. Mereka seolah kompak dan sering menyimpulkan hal tersebut.
Hanya saja, tidakkah kita sampai pada pertanyaan, sampai mana batas toleransi yang harus kita berikan kepada para remaja yang selalu mendapatkan pembelaan karena alasan usia mereka yang masih belia? Pembelaan karena dibentengi oleh yang namanya Undang-Undang Perlindungan Anak? Atau pembelaan yang mereka dapatkan dari Kak Seto yang sebetulnya sudah tak lagi layak disapa “Kak” itu? Padahal apa yang mereka lakukan sudah terlalu jauh dan melampaui batas yang ada.
Fakta mereka masih remaja, itu benar. Bahwa mereka masih dalam pencarian jatidiri, itu juga fakta. Tetapi, melindungi mereka dengan narasi-narasi semacam itu apakah ada dampak baik yang bisa mereka dapatkan? Adakah efek jera yang didapat?
BACA JUGA: Polemik Moral di Negara Indonesia, Nggak Boleh Dianggap Sepele
Saya lebih setuju jika kasus-kasus seperti ini harus ada sanksi dan juga tentunya disertai dengan edukasi yang diberikan pada pelaku sekalipun mereka dianggap masih berada di bawah umur. Karena apa yang sudah mereka perbuat adalah perbuatan yang bukan lagi kategori di bawah umur. Tentunya dengan penyesuaian pada angka usia mereka. Tidak hanya dengan mediasi yang kemudian berujung damai yang kemudian dideklarasikan dan disebarkan ke media sosial yang sangat mudah diakses oleh siapa saja.
Pada akhirnya, para remaja yang lain, yang melihat deklarasi damai tersebut tidak merasakan rasa takut untuk melakukan hal serupa, karena tak ada sanksi berat yang mereka dapatkan.
Dan sepertinya itu yang membuat mereka semakin berani dalam melakukan tindakan-tindakan yang membuat kita geleng-geleng kepala. Lihat saja kini, marak sekali sebaran video geng motor bawa senjata tajam yang anggotanya kebanyakan merupakan remaja-remaja sekolah yang berani mendeklarasikan eksistensi mereka dengan begitu brutalnya.
Mengacung-acungkan berbagai macam senjata dari yang tumpul sampai yang tajam, dan jelas itu semua membahayakan karena sangat mematikan. Mereka di jalanan dengan berkonvoi menggunakan kendaraan bermotor yang sudah dimodifikasi sana-sini sehingga sangat bising memekakkan telinga.
BACA JUGA: Menelisik Evolusi Jati Diri Antar Generasi
Mereka kebut-kebutan berharap bertemu dengan geng lain dan melakukan tawuran. Bahkan sering sekali mereka melakukan perjanjian tawuran setelah sebelumnya saling tantang di medsos. Saya yakin, korban sudah banyak yang berjatuhan.
Kemudian banyak juga kasus-kasus para pelajar yang dengan berani menantang guru-guru mereka sendiri. Dan itu dilakukan di dalam kelas ketika pelajaran tengah berlangsung. Mereka biasanya tak terima mendapatkan teguran kecil dari sang guru dan langsung meluapkan emosi secara membabi buta.
Perbuatan mereka sudah melampaui perbuatan kriminal biasa, maka penanganannya sudah tidak lagi dengan cara biasa. Saya lebih setuju jika ada sanksi yang bisa membuat mereka jera. Sehingga remaja-remaja yang berkeinginan melakukan hal-hal serupa akan berpikir ulang karena rasa takut akan sanksi tegas yang akan mereka dapatkan.