KOTOMONO.CO – Dahulu pada jaman “semono” saat Ramadhan tiba, Tradisi “nyulet mercon dul” merupakan hiburan bagi warga pekalongan di sore hari sambil menunggu Adzan maghrib berkumandang.
Ledakan mercon ini adalah sebagai penanda buka puasa, warga pekalongan tradisi tersebut masih dilakukan sampai akhir tahun 80an.
Istilah “Dul” atau “Mercon Dul” diambil dari nama petasan yang berbentuk bola. Mercon ini khusus dipesan dari Tegal. Sebelum dinyalakan, petasan ini diletakkan di dalam sebuah tabung yang diarahkan ke atas atau udara.
Kemudian, Dul akan meluncur keatas diiringi dengan suara dentuman yang menggelagar seperti suara bom.
Kebiasaan menyulut Mercon Dul ini menjadi tradisi warga di sekitar Masjid Jami Kauman. Secara turun temurun, tradisi ini selalu dilakukan ditiap datang bulan Ramadan dan menjadi hiburan sembari ngabuburit warga pekalongan setiap sore waktu menunggu Buka Puasa.
BACA JUGA: Tradisi Pasar Malam dan Kliwonan Masyarakat Batang
Banyak warga dari wilayah sekitar masjid akan ramai-ramai untuk melihat Mercon Dul itu dinyalakan di depan masjid. Suara dentuman yang keras itu, konon bisa terdengar hingga di seluruh pelosok Kota Pekalongan.
Sebelum ada dan seramai sekarang, Suara itu lah yang oleh warga Pekalongan menjadi satu-satunya penanda berbuka puasa telah tiba.
Tidak ada yang tahu persis awal mula tradisi ini dilakukan. Sebab, tradisi ini sudah diturunkan oleh warga pendahulunya. Tiap hari, selama Ramadan dinyalakan. Kalau belum habis, sisanya akan dinyalakan beramai-ramai pas Hari Raya Idul Fitri setelah salat Ied di alun-alun.
Namun, sejak adanya pelarangan menyalakan petasan, tradisi Merco Dul juga ikut dilarang oleh pemerintah. Tradisi tersebut, kemudian diganti menggunakan sirine yang dipasang di atas tugu di Menara Masjid.
BACA JUGA: Tradisi Rebo Pungkasan Masyarakat Pekalongan
Sayang banget, hanya orang zaman old saja yang “menangi” (bisa melihat) Tradisi unik ini, kita yang anak zaman now hanya bisa mendengarkan cerita-cerita indah tradisi tahunan ini.
Tradisi Mercon Dul di Lain Daerah
Rupanya, tradisi menyalakan mercon ke udara sebagai tanda buka puasa telah tiba tidak hanya ada di Pekalongan saja, melainkan di daerah seperti Jakarta dan Solo juga ada, Mercon Blangur namanya.
Tampaknya ledakan mercon blanggur sebagai tanda berbuka puasa sudah sejak zaman kolonial Belanda.
Mohammad Saleh Hadjeli yang hidup di zaman kolonial, menuturkan “dua tempat di Jakarta yang sejak dulu menjadi pedoman masyarakat, yang pertama Masjid Kwitang, dan yang kedua Masjid Tanah Abang, Baitul Rahman.
Pada setiap masuk waktu magrib di bulan Ramadan, termasuk juga pada waktu jaman Jepang, selalu diledakkan mercon besar untuk tanda berbuka puasa.

Suara ledakan tersebut terdengar sampai ke daerah Senen, Kwitang, Kramat dan tempat-tempat lainnya. Kami selalu salat Jumat dan Tarawih di mesjid itu,” kata Hadjeli, dikutip dari Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya.
BACA JUGA: Tradisi Nyerep Para Juragan Batik Mencari Pekerja Pengganti
Di Solo, menjelang magrib, warganya pada masa lalu duduk-duduk di halaman rumah menunggu suara gelegar dari mercon raksasa, yang menandai saat berbuka puasa. “Karena suara mercon itu berbunyi ‘duuul!’ maka orang Solo menyebut ‘dul’ sebagai saat berbuka puasa,” tulis Panji Masyarakat, No. 45 Th II/24 Februari 1999.
Adalah Muhammad Isa Alwi, generasi terakhir yang bertugas mengadakan dan menyulut “dul” selama tiga tahun di akhir tahun 1970-an untuk Masjid Tegalsari, Surakarta. Menurutnya, di Kota Solo penyulutan “dul” dilakukan di dua lokasi, yaitu Masjid Tegalsari dan Masjid Agung. Penyulutan “dul” di Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta sempat terhenti pada 1965, saat meletusnya Gerakan 30 September. Di Masjid Tegalsari sendiri penyulutan “dul” sebagai tanda berbuka puasa diawali pada 1960-an.
Sumber :
– Historia.id
– FB Teguh Syahroni