KOTOMONO.CO – Sudah hampir empat kali Jumat, pemasukan uang di musala mengalami penurunan. Dari Rp 1 juta, menjadi Rp 700 ribu, menurun lagi jadi Rp 500 ribu, dan Jumat ini, uang yang masuk hanya Rp 300 ribu. Semua yang hadir menghitung uang Jumat kala itu heran, padahal kotak amal yang tiap hari di pasang ada dua. Belum lagi, ini sudah masuk Bulan Ramadan, semestinya lebih banyak orang yang bersedekah.
“Jumat ini lebih sedikit dari Jumat kemarin,” keluh Kang Sepat.
“Iya, padahal ini bulan Romadon,” sahut Kang Bendul.
“Aneh ya, ustaz? Harusnya banyak orang memberi infaq ke musala. Apalagi ini bulan puasa, bulan yang kalau berbuat baik pahalanya berlipat-lipat,” tanya Kang Sepat ke Ustaz Ndirin sembari mengumpulkan uang receh yang baru disuntak itu.
“Mungkin banyak yang nggak kerja. Ini kan sedang masa-masa sulit,” kata Ustaz Ndirin. Aktivitas menghitung uang di kotak amal selesai. Uangnya pun sudah diserahkan ke bendahara musala.
“Padahal dua kotak selalu terpasang di musala lho, tadz,” kali ini bendahara ikut bicara.
“Iya, betul itu, tadz. Kemarin saya dengar di musala lain nggak ada kotak amal yang dipasang, tapi pemasukannya justru semakin banyak…” Kang Sepat menyahuti lagi.
“Kalau begitu, kotak amalnya nggak usah dipasang saja, gimana?” Ustaz Ndirin menawarkan.
“Wah yo tambah nggak ada pemasukan nanti.” Kang Bedul bersuara agak keras sambil membenahi posisi duduknya.
“Kenapa bisa begitu, Kang?” Tanya Cak Kendor yang dari tadi diam karena dia sebetulnya nggak peduli-peduli amat sama kas musala.
“Gini lho, Cak…” Kang Sepat mencoba menjelaskan maksud Kang Bendul.
“Kalau kita ndak masang kotak amal, itu justru kita mempersempit orang untuk memberi infaq ke musala. Padahal kan bisa jadi ada orang lewat mau infaq ke musala. Jadi, dia ndak perlu ke bendahara buat infaq ke musala, Cak.”
“Bener. Apa itu istilahnya, ummm… Memudahkan orang berbuat baik,” bendahara ikut menyahuti.
Cak Kendor hanya terdiam. Dia justru tampak mengoret-oret karpet musala dengan tangannya, seakan mengabaikan penjelasan Kang Sepat. Sementara Ustaz Ndirin masih belum bersuara, belio menyimak orang-orang itu berdiskusi.
“Jangan-jangan ada yang mencuri isi kotak amal!” Kang Bendul tiba-tiba menghentak.
“Hushhh… Hati-hati kalau bicara. Lagipula siapa yang mau ambil uang kotak amal? Wong isinya paling recehan.” Ustaz Ndirin langsung menyambar hentakan suara Kang Bendul.
“Justru itu baik, tadz.” Cak Kendor mendadak menyahut lagi dan menepuk kaki Ustaz Ndirin yang tengah bersila di sampingnya.
“Ojo ngawur sampeyan, Cak!” Kang Sepat sedikit memaki.
“Ngawur gimana tho, Kang?” Cak Kendor melirik Kang Sepat.
“Iya, ngawur! Masak kok mencuri uang kotak amal dibilang baik. Sampeyan stres, Cak.”
“Tenang. Kita dengarkan dulu apa yang dimaksud Cak Kendor. Silakan, Cak…” Ustaz Ndirin mencoba menengahi.
“Maksud saya gini lho, tadz. Kalau ada orang yang mencuri uang kotak amal, itu kemungkinannya dia orang fakir, tidak punya pekerjaan. Besar kemungkinan juga miskin…”
“Lalu?” Kang Bendul menodongkan pertanyaan.
“Sik tho. Rungokne sik…” Ustaz Ndirin menahan Kang Bendul untuk menyela.
“Yhaaa… itu justru bagus, tadz. Kita jadi ndak perlu repot-repot lagi mencari orang fakir miskin buat menyalurkan infaq yang dititipkan ke musala. Karena mereka sudah mengambilnya sendiri…”
“Oalah Cak… Cak… uang infaq itu ya buat kebutuhan musala, Cak. Bukan buat maling.” Kang Sepat menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kebutuhan musala?” Tanya Cak Kendor.
“Haduh, Cak… ngunu wae sampeyan ndak ngerti. Kebutuhan musala itu ya kayak bayar listrik, air, perawatan, beli mic, dan macam-macam,” kata Kang Bendul sambil senyum meledek.
“Ngapuntene, tadz…” Cak Kendor mengabaikan omongan Kang Bendul.
“Musala atau masjid itu kan tempat ibadah. Ustaz kan juga pernah bilang musala itu rumah Allah. Sejak kapan Allah butuh duit untuk melengkapi kebutuhan rumah-Nya, tadz? Allah kan Maha Kaya…”
Mendengar penjelasan Cak Kendor, semua yang hadir terdiam. Kang Bendul dan Kang Sepat juga terdiam. Sementara bendahara terkantuk-kantuk. Tahu celotehnya tak ada yang memotong, Cak Kendor makin fasih nerocos.
“Jika Allah sudah Maha Kaya, jelas Allah tidak perlu ‘meminta-minta’ duit manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah-Nya.”
“Saya kok merasa aneh, tadz. Orang lebih senang infaq untuk kebutuhan musala yang jelas-jelas pemiliknya Maha Kaya, daripada membantu orang miskin seperti saya…”
“Iri sampeyan, Cak? Walah… Cak, iri kok sama musala.” Tampaknya Kang Sepat sinis banget ke Cak Kendor.
“Wah ya jelas, Kang. Musala itu kan benda mati. Masak orang lebih suka memenuhi kebutuhan benda mati daripada makhluk bernyawa?” Cak Kendor terkekeh.
“Bukan begitu, Cak. Memenuhi kebutuhan musala kan buat kita juga. Kita jadi nyaman beribadah kalau kebutuhan di musala kita ini lengkap.” Bendahara tampaknya sudah tak mengantuk lagi.
Ustaz Ndirin belum mengeluarkan sepatah katapun. Belio mencoba meresapi apa yang dikatakan Cak Kendor. Jauh di dalam sanubari, Ustaz Ndirin merasa apa yang dibilang Cak Kendor ada benarnya. Lalu Ustaz Ndirin pun angkat bicara.
“Cak, urusan orang fakir miskin itu juga urusan kita, termasuk si maling. Yang bikin orang itu maling kan ia kepepet ndak punya uang. Maling uang kotak amal jadi jalan keluarnya…”
“Semestinya kita bisa mencegah agar maling itu tidak mencuri uang kotak amal. Misalnya dengan memberinya sedekah, pakai uang musala juga bisa sebetulnya…”
“Tapi, tindakan mencuri itu buruk, Cak. Sedangkan infaq itu sebuah amalan kebajikan. Kalau uang di kotak amal dicuri, yang semula nilai uangnya baik maka sampai ke pencuri nilainya menjadi buruk. Dan itu ndak bakalan berkah…”
Para hadirin menyimak petuah Ustaz Ndirin. Tak ada yang berani menyela perkataan belio, termasuk Cak Kendor sendiri.
“Tapi begini. Kita ini dari tadi membahas sesuatu yang belum jelas. Apakah memang ada yang mencuri uang kotak amal? Kan kita ndak tahu. Saya takutnya malah jadi suudzon sama orang. Dan satu lagi, saya ini merasa tidak punya hak untuk marah kalau uang musala dicuri, wong musala itu rumah Allah.”
Ustaz Ndirin menoleh ke tempat duduk Cak Kendor. Cak Kendor tidak ada di tempatnya. Tiba-tiba Azan Ashar sudah terdengar. Cak Kendor yang mengumandangkannya.
Catatan: Disarikan dari ceramah yang disampaikan oleh Ustaz Adi Hidayat dan berbagai sumber lainnya.
BACA JUGA Seri Tulisan Ngabuburit dan tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.