KOTOMONO.CO – Ternyata, mesin jahit itu pernah jadi simbol kemewahan loh! Kalau nggak percaya, mana mungkin Gubernur Jenderal Hindia Belanda asal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, sampai ngasih hadiah mesin jahit ke Sultan Komarudin II (Sultan Kanoman IV Cirebon)? Hadiah itu, diberikan saat Raffles melakukan kunjungan kehormatan ke Keraton Kesultanan Kanoman Cirebon.
Bersama dua hadiah lainnya, yaitu lonceng dan kacip (mesin pemotong tembakau), mesin jahit bikinan Inggris itu diberikan sebagai penghormatan pada Kesultanan Kanoman. Namun, ada yang bilang kalau hadiah-hadiah itu sebenarnya alat Raffles untuk memperdaya Sultan Kanoman IV agar nggak melawan kekuasaan kolonial. Kini, umur mesin jahit itu sudah 200 tahun.
Di era Kolonial Belanda, mesin jahit menjadi salah satu benda yang mesti ada di rumah. Orang-orang Eropa yang tinggal di negeri ini biasanya menjahit pakaian mereka sendiri di rumah. Ada juga yang dibuatkan pembantunya yang orang pribumi. Makanya, menjahit pada masa itu menjadi kecapakan yang mesti dikuasai oleh para perempuan Eropa. Bahkan, dijadikan mata pelajaran di Sekolah Kolonial Perempuan dan Gadis.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Desa Silurah Wonotunggal Batang
Nggak heran, kalau saat itu keterampilan menjahit tergolong keterampilan yang prestise. Wong mesin jahitnya juga mahal. Apalagi saat itu mesin jahit juga diimpor dari Eropa. Yang bisa beli ya tentu orang-orang kaya atau kaum priyayi alias bangsawan. Seperti R.A. Kartini. Ia punya mesin jahit yang digunakan untuk keperluannya sendiri, juga buat melatih murid-muridnya. Karena ia tahu, keterampilan menjahit ini keterampilan mahal. Sekarang, mesin jahit tangan itu dijadikan koleksi di Museum Kartini, Jepara.

Selain R.A. Kartini, ada juga Raden Dewi Sartika. Mesin jahit juga jadi bagian dari hidupnya, kala itu. Mesin jahit milik Dewi Sartika biasa ia gunakan untuk menjahit bajunya sendiri. Mesin itu asli buatan Belanda Abad ke-19. Kini, mesin jahit itu disimpan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung.
Tapi, lain cerita dengan tokoh yang satu ini, Muhammad Hatta. Sekalipun sudah jadi seorang pejabat negara, rupanya mimpinya untuk membelikan sebuah mesin jahit untuk istrinya tak pernah terwujud. Ia menyisihkan sebagian gajinya, tetapi uang yang terkumpul tak pernah cukup untuk membeli mesin jahit.
Meski begitu, mesin jahit juga punya jasa besar buat bangsa ini. Dari mesin jahit tangan kepuyaan Ibu Fatmawati, bendera merah putih tercipta. Lalu, dikibarkan saat detik-detik proklamasi.
Baca juga : Kesaksian Odorico atas Kejayaan Majapahit
Sayang, sepertinya keberadaan mesin jahit di era sekarang seperti kurang mendapatkan tempat. Mesin jahit sudah nggak semewah dulu. Makanya, tak banyak rumah yang di dalamnya ada mesin jahitnya. Kalaupun ada, fungsinya sudah berubah. Bukan lagi menunjukkan kemewahan, melainkan sekadar jadi alat produksi untuk mendulang rupiah. Begitulah, zaman terus berubah. Apa yang dulu mewah, sekarang bisa saja sekadar jadi barang rongsok.