KOTOMONO.CO – Nama Batang mungkin kalah populer dari tetangganya, Pekalongan. Selain mungkin karena masih dalam satu jalur, Batang juga tergolong Kabupaten yang usianya masih cukup muda dibandingkan dengan tetangga-tetangganya. Tetapi, sebagai orang Batang, hal itu tak boleh membuat saya minder. Malah, saya terpacu untuk mengenalkan tanah kelahiran saya.
Jika dilihat dari bentang alamnya, Batang sangat kaya pesona dibandingkan tetangga sebelah barat. Di pantai, ada kawasan pantai bertebing, Ujung Negoro. Ada juga perbukitan di kawasan pesisir dengan hutan yang asri. Di kawasan selatan kota, ada pegunungan dengan kebun teh, kopi, dan tentu hutannya yang lebat.
Selain itu, Batang juga punya sejarah panjang yang luar biasa. Banyak situs-situs purba peninggalan Wangsa Syailendra yang tersebar di Batang. Ini menunjukkan jika Batang memang sebuah kawasan yang sudah tua usia peradabannya.
Batang juga punya kekayaan bahasa. Terbagi ke dalam beberapa sub dialek yang sangat dipengaruhi oleh kondisi alamnya. Di kawasan pesisir, bahasa yang digunakan orang Batang cenderung sama dengan orang Jawa pesisir pada umumnya. Sementara di kawasan pegunungan, memiliki banyak perubahan pelafalan maupun kosakata yang terdengar asing di telinga. Selain itu, ada juga bahasa Sinjab, semacam bahasa prokemnya orang Batang.
BACA JUGA: 3 Ciri Khas Bahasa Unik Wong Pekalongan
Secara umum, bahasa yang digunakan orang Batang masih menggunakan bahasa Jawa. Ada bahasa Jawa ngoko dan Jawa krama. Penggunaan keduanya masih sama dengan penggunaan bahasa pada masyarakat Jawa pada umumnya.
Bahasa Jawa ngoko digunakan sebagai obrolan yang sifatnya intim, seperti dengan teman atau orang yang lebih muda. Sedangkan bahasa Jawa krama ditujukan untuk orang yang dituakan, orang yang baru jumpa/kenal, maupun orang yang wajib dihormati. Seperti kata “nyong” (aku/saya) digunakan pada saat ngobrol dengan teman sebaya. Sedang ketika berbicara pada orang tua digunakanlah kata “kula” (aku/saya).
Meski begitu, ada sesuatu yang khas dari bahasa orang-orang Batang. Kekhasan ini bahkan menjadi identitas orang Batang. Kekhasan ini lekat pada penggunaan beberapa partikel yang hanya digunakan oleh orang Batang saat berbicara.
Ada tiga partikel yang menjadi penciri bahasa orang Batang, yaitu “we”, “si”, dan “pog”. Umumnya, ketiga partikel ini berfungsi sebagai penegas dari sebuah pernyataan, baik dalam bentuk kalimat tanya maupun kalimat berita. Contohnya saat sedang terlibat dalam percakapan seperti ini;
BACA JUGA: Pentingnya Hubungan Tanpa Birahi dalam Dunia Pacaran yang Harus Laki-laki Tahu!
A: Éh, kaé Agus asliné sida pacaran karo Sinta pora si?
(Eh, itu Agus jadi pacaran sama Sinta?)
B: Mbuh wé, ora ngerti. Takoni dhéwé baé si.
(Nggak tahu tuh. Tanya sendiri saja)
Contoh lain;
A: Bud, topi sing warna abang kaé nangdi si?
(Bud, topi yang warna merah itu ditaruh di mana?)
B: Topi ndi? Iki pog sing tak nggo.
(Topi mana? Yang ini yang masih aku pakai)
Hal unik lainnya dari penggunaan partikel “we”, “si”, dan “pog” juga ditampakkan melalui cara pengucapannya. Tidak menggunakan suara yang tinggi maupun suara yang rendah. Pokoknya seperti ada cengkoknya sedikit. Tujuan digunakannya partikel kata “we”, “si”, dan “pog” adalah untuk menekankan suatu kalimat pertanyaan maupun pernyataan seperti rasa heran, kagum, kecewa, ataupun yang lainnya tergantung konteks percakapannya.
Tentu, dengan penggunaan partikel yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, membuat orang Batang mudah dikenali. Terlebih saat ia berbicara dengan orang yang berasal dari daerah lain. Sering sekali saat saya sedang ngobrol dengan orang Pekalongan maupun Semarang, pasti kalimat, logat, dan nada bicara saya menjadi perhatian mereka.
Seperti saat saya sedang ngobrol dengan teman saya yang orang Pekalongan. Saat itu, partikel “we” selalu saja muncul di hampir setiap kalimat yang saya ucapkan. Kontan, teman saya tersenyum sambil bilang begini, “Pancèn wong mbatang nèk ngomong ora ono wé-né kui ora mantep. (Memang orang Batang kalau bicara tanpa ada kata we-nya itu tidak mantap)”.
BACA JUGA: Membayangkan Resolusi Tahun Baru di Dunia Metaverse
Ciri khas suatu daerah dari segi bahasa memang unik dan wajib dilestarikan. Lalu bagaimana caranya? Caranya, dengan tetap mengucapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai orang Jawa ya tetap menggunakan bahasa Jawa. Kalau tidak bisa krama ya pakai ngoko tidak dilarang kok.
Yang terpenting tahu tempat dan dengan siapa kita mengobrol. Pokoknya gini, jangan pernah malu deh menggunakan bahasa daerah karena keanekaragaman bahasa yang dimiliki Indonesia itu menjadi daya tarik sendiri bagi negara lain. Iya pog?