KOTOMONO.CO – Sebuah panduan untuk menyikapi pendudukan Israel atas Palestina. Biar kamu nggak keder.
Coba bayangkan, ketika anda keluar dari rumah lalu melihat di depan rumah anda banyak tentara, polisi, atau apa pun itu sebutannya sedang mondar-mandir. Apa yang anda rasakan? Khawatir? Cemas? Takut? Indonesia, pada masa kolonialisme pernah mengalami hal itu. Namun saya tidak sedang membahas sejarah Indonesia.
Tanpa perlu membuka buku sejarah, LKS, dan semacamnya, kejadian serupa hari ini tengah terjadi. Sebab kondisi itulah yang kini menimpa warga Palestina di Jerusalem. Meski kita tak sanggup melihatnya secara langsung, tapi kita bisa mencari tahunya cukup dengan membuka laman Google, niscaya kita bakal menemukan betapa nelangsanya warga Palestina di bawah cengkeraman Israel.
Akhir Ramadan kemarin, akan tercatat dalam sejarah sebuah ‘bentrokan’ terjadi di Masjid Al-Aqsa, kompleks peribadatan suci tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam). ‘Bentrokan’ ini boleh dibilang puncak dari ketegangan yang cukup lama antara Israel dan Palestina. Banyak media, utamanya media barat menyebut ini sebagai ‘konflik’ ataupun ‘perang’ antara dua negara.
Hal itu didasari karena, Hamas (semacam tim keamanan Gaza) juga melakukan ‘serangan balasan’ pada Israel yang, buntutnya langit-langit Gaza dan Jerusalem Timur dipenuhi dengan tembakan roket. Suasana yang tentu saja mencekam itu dirasakan warga Palestina tiap hari, di tempat tinggalnya sendiri. Catat: tempat tinggalnya sendiri.
BACA JUGA: Gagalnya Pemberitaan Razia Pengamen dan PGOT
Warga Indonesia, yang notabene mayoritas Muslim ikut mengecam apa yang dilakukan Israel. Di twitter #PalestineUnderAttack bahkan menghiasi trending topik belakangan. Kita semua tahu, masyarakat Indonesia, wabil khusus umat Islam telah getol dari awal membela rakyat Palestina.
Saya sendiri, sejak mengetahui ‘konflik’ ini beberapa tahun lewat belum bisa menentukan sikap. Barangkali karena saya termakan isu, kalau ‘konflik’ ini masalah dua negara saja dan begitu kompleks. Namun pada kenyataanya tak begitu. Pendudukan Israel di tanah Palestina adalah masalah kemanusiaan yang tak begitu rumit untuk dipahami. Sehingga belakangan saya pun mulai mengambil sikap.
Sebelum lanjut, saya pengin tegaskan terlebih dulu, untuk memahami pendudukan Israel atas Palestina ini kita perlu mengesampingkan faktor agama. Ya, benar, sekali lagi saya katakan: kesampingkan faktor agama. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting adalah, kita perlu meyakini tak ada satupun agama yang sepakat dengan kekerasan, termasuk Islam dan Yahudi sekalipun.
Maka apa yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina murni perampasan, pendudukan, pelecehan, dehumanisasi, dan pengambilan hak asasi manusia secara paksa. Warga Palestina dipaksa untuk enyah dari tempat tinggalnya sendiri. Mereka dirampas hak-haknya oleh tentara—saya menyebutnya gitu—Israel.
Perampasan hak oleh Israel ini kalau kita tarik ke Indonesia seperti kaum pemodal yang tiba-tiba datang ke desa menggusur sawah dan mengusir warga. Lalu warga desa dan tentu saja para pemilik sawah melawan. Dan terjadilah apa yang sering disebut media sebagai ‘bentrokan’. Warga ditangkap, dipersekusi, bahkan beberapa ada yang tewas di lokasi bentrokan.
BACA JUGA: Jika Miskin Itu Takdir, Buat Apa Bersedekah pada Orang Miskin?
Tepat di titik itulah saya mengambil sikap. Apa yang diperbuat Israel dan bala tentaranya tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun merampas yang bukan miliknya adalah tindakan yang biadab. Hebatnya, Israel melakukan hal itu dengan sangat cantik. Terbukti, masih banyak di antara kita yang menganggap itu hanya sekadar ‘konflik’ dua negara.
Dugaan saya hal itu disebabkan karena media barat yang membingkai masalah ini sebagai ‘konflik’ dan ‘perang’. Padahal keduanya, Palestina dan Israel tidaklah seimbang. Jelas ini boleh jadi mengaburkan fakta bahwa yang terjadi adalah murni pendudukan dan perampasan hak.
Saya lantas mencari informasi lagi, untuk membuktikan apakah benar banyak media-media barat yang membingkai seperti itu. Dan benar saja, saya menemukan narasi-narasi di media barat yang mengarah ke dugaan saya tadi. The Guardian bahkan memainkan narasi seolah-olah di Gaza dan Jerusalem Timur itu memang perang. Deutsch Welle (DW), sebuah kanal berita berpusat di Jerman, lebih parah lagi, beberapa kali narasi yang dibangun adalah konflik antara Arab dan Yahudi.
Namun jika mengamati lebih jauh, bukan hanya media barat yang bermain cantik melakukan propaganda, media di Indonesia pun demikian. Apalagi ciri khas media di Indonesia adalah amot alias asal comot. Akhirnya poin penting soal perampasan hak tadi hilang dari pembahasan di media-media tersebut.
Namun Al-Jazeera, kanal berita yang berfokus pada isu di Timur Tengah agak berbeda. Meski terkadang ngatut dengan media barat, tapi rubrik opini Al-Jazeera sedikit membantu saya bersikap atas perampasan hak oleh Israel terhadap Palestina.
BACA JUGA: Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
Perlawanan warga Palestina pada Israel bukan untuk mengajak ‘perang’ atau menumbuhkan ‘konflik’ yang berkepanjangan. Hal itu merupakan upaya mendobrak rasa takut warga Palestina. Mereka mencoba melawan rasa takut untuk lepas dari cengkraman Israel, meski mereka tahu itu sangat riskan, tulis Mark Muhannad Ayyas, eks warga Jerusalem yang kini Profesor Sosiologi di Universitas Mount Royal di Calgary, Kanada.
Saya sepakat pada Muhannad. Kalau mereka tak melakukan perlawanan, mau sampai kapan Israel menduduki wilayah Palestina? Namun tentu upaya diplomatik dan perdamaian yang utama. Dan kalau itu bisa, kenapa nggak? Toh bagaimanapun, damai itu menyenangkan lagi menggembirakan.
Akan tetapi, untuk mencapai tujuan itu bukanlah perkara ringan. Ada jalan berbatu dan curam yang mesti dilalui. Apalagi dengan ketegangan yang semakin memanas. Dapat bertambah sulit apabila kita membiarkan Palestina melakukannya sendirian.
Sementara itu, saya kira memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar hanya akan menguras banyak tenaga. Hak warga sipil lah yang paling penting. Sebab kalau sudah bicara warga sipil, maka rasa kemanusiaan kita yang bekerja, bukan egoisme, sinisme, ataupun fanatisme semu.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.