KOTOMONO.CO – Aku baru saja selesai mandi, pagi itu. Tetapi, sejak di dalam kamar mandi, kudengar raungan suara telepon. Tak hanya sekali. Aku lupa menghitung. Yang kulihat, setelah aku keluar dari kamar mandi, istriku yang menerima telepon itu.
Ini tak biasa. Sangat tak biasa. Selama ini, ia tak pernah mau menerima telepon yang tertuju ke nomor teleponku. Alasannya, tak mau menggugat privasiku. Ya, itu kuhargai. Sangat kuhargai. Sebab, memang, ada beberapa telepon yang mestinya tak ia tahu. Bukan maksud merahasiakan, tetapi lebih baik ia tidak tahu.
Seperti tempo hari, ia marah-marah hanya gara-gara ia menerima sebuah panggilan di handphone-ku. Setelah itu, sepatah kata pun tak ada yang ia ucapkan. Berhari-hari ia membuang muka di depanku.
Kucari akal. Kuajak ia makan malam di luar, ia tak menggubris. Kuajak jalan-jalan menikmati pemandangan malam kota, tak juga ia merespons.
Berhari-hari ia selalu memasang punggung di hadapanku. Setibaku di rumah, sepulang kerja, ia bukakan pintu. Tetapi, setelah pintu terbuka, ia langsung berlalu. Berjalan tanpa memedulikanku. Ah! Rasanya, aku seperti laki-laki yang tak ada artinya. Laki-laki yang kehilangan kewibawaan di depan istriku, hanya gara-gara sebuah telepon.
Malam itu, kubuka percakapan kecil. Kupelankan suaraku. Menahan bara kemarahanku yang terhimpun dari perasaan tersinggung yang menumpuk-numpuk. Kukatakan padanya, “Ma, orang bisa saja salah. Sangat mungkin salah. Tetapi, apakah kesalahan itu harus menunggu waktu yang lama hanya untuk sebuah kata maaf?”
Ia diam. Tak mau memandangku. Sama sekali tidak.
“Ma…,” aku membujuk. “Api pun ada kalanya padam tanpa harus disiram air. Tetapi, saat ia padam sendiri itu, bisa saja kayu yang ia bakar menjadi abu. Begitu juga kesalahan, Ma. Jika ia kau diamkan, bisa saja ia membuat segala yang telah kita bangun jadi berantakan.”
Sedikit ia menoleh. Sebentar ia melirik. Lalu kembali menerawang langit-langit. Dagunya sedikit ia angkat. Kedua tangannya dilipatkan di depan dadanya.
“Ma… Mama dengar kan, apa yang kukatakan?”
Kata-katanya masih saja beku. Diliputi hawa dingin yang teramat pada ruang hatinya. Aku tak tahu, pintu mana yang mesti kuketuk agar hatinya terbuka.
Semua hanya karena sebuah panggilan telepon.
***
Ya, betapa merepotkan jika istri marah. Ada rasa bersalah. Tetapi, kadang ada pula perasaan ingin marah. Karena tersinggung oleh sikapnya itu. Jika marah, apa untungnya bagiku? Tidak ada. Kecuali, penyesalan yang bisa saja ditutupi dengan kepura-puraan. Seolah-olah akulah lelaki yang tegar menghadapi masalah. Seolah-olah akulah lelaki yang penuh wibawa. Padahal, itu hanya topeng usang yang kupungut dari keranjang sampah masa lalu.
Lelaki tak boleh menangis. Entah, dari mana kata itu muncul. Nyatanya, ketika ia menangis, ia lebih butuh tempat sandaran yang lebih kuat. Dan hanya istrilah tiang penyangga itu.
Sejak itu, setelah semua pertengkaran itu usai, ia tak lagi mau menerima panggilan telepon di handphone-ku. Aku lega. Meski pada akhirnya aku merasa bahwa itu keputusan yang tak bijak. Sebab, selain tak mau menerima telepon, ia juga tak mau mencampuri urusanku. Apalagi yang dibicarakan lewat telepon.
Kadang repot juga harus memutuskan segala sesuatu sendiri. Aku juga butuh pertimbangan. Sekalipun kadang pikiran kami tak saling menemu apa yang paling mungkin.
Lama-lama aku merindukan itu. Merindukan sepatah kata darinya, menanggapi isi pembicaraanku di telepon. Bagiku, kata-katanya adalah warna.
Seperti pagi itu. Ia menerima telepon itu dengan senyuman yang lama aku rindukan. Kuperhatikan saja. Cukup lama kubiarkan. Aku pura-pura saja sibuk memilih baju dari dalam almari. Sesekali kucuri pandang dari cermin.
Pemandangan yang teramat lain. Sangat beda.
Kuperhatikan gayanya menerima telepon, caranya bicara, juga sikap badannya. Sapanya pada si penelepon pagi-pagi, begitu ramah, akrab, dan hangat. Seolah ia sudah mengenal lama suara orang yang ada di ujung seberang telepon itu.
Ada tawa kecil, kudengar. Ada pula gurauan-gurauan. Aku penasaran. Apalagi saat ia senyam-senyum.
Kucuri dengar, siapa tahu ada nama yang diucapkannya. Tetapi, sama sekali tak ada nama yang diucapkannya. Aku makin penasaran.
Mungkinkah, ia temannya? Mungkinkah pula itu dari seseorang yang sangat ia kenal dan kebetulan ia adalah temanku? Atau…. Ah, tidak! Jangan sampai aku punya pikiran buruk tentang istriku. Tak baik. Itu jusrtu akan meruncingkan pertengkaran, hingga meluka satu sama lain.
Ya, kecurigaan hanya akan menimbun masalah di tong sampah. Jika tak muat, masalah-masalah itu akan membludak. Tercecer begitu saja. Kecurigaan hanya akan membuahkan kecemasan. Dan puncaknya, adalah kekecewaan.
Tak lama kemudian, ia telah berdiri di sampingku. Menyodorkan telepon itu.
“Siapa?” tanyaku.
Istriku tersenyum. Hanya senyuman itu, jawabannya. Tak banyak kata, aku sambut telepon itu.
“Halo,” sapaku.
“Halo, Pak… maaf ya Pak, ganggu waktu, Bapak,” suara perempuan dalam telepon itu menyambut sapaanku.
Segera, aku ingat-ingat. Kukenali suara itu. Tetapi, tak satu pun suara yang biasa meneleponku itu cocok dengan suaranya. Ya, suara ini asing di telingaku. Suara yang benar-benar tak kukenal. Tetapi, suara itu begitu ramah. Akrab.
Baru aku tahu, setelah ia mengenalkan diri. Aku ingat, perempuan ini pernah beberapa kali meneleponku. Ya, tidak hanya sekarang.
“Oh iya, ya…. Lama nggak pernah ngobrol. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik Pak. Bapak dan keluarga sehat kan?”
“Alhamdulillah, kami baik-baik saja.”
Obrolan berlanjut. Cukup lama kami mengobrol. Banyak hal yang kami obrolkan. Istriku menguping. Duduk di sampingku sambil sesekali nimbrung. Ya, pagi itu tak ada rahasia di antara kami. Telepon itu seperti memberi waktu kami untuk duduk bersama. Menikmati waktu berdua.
“Wah, saya senang bisa nelpon Bapak. Lega rasanya, saya bisa sampaikan uneg-uneg ke Bapak,” kata perempuan penelepon itu.
Aku dan istriku saling pandang. Lalu, tersenyum. Aku menangkap ada tatapan yang berbeda pada bola mata istriku. Tatapan yang dalam. Tatapan yang mengisyaratkan agar aku melakukan sesuatu. Segera. Sesegera mungkin. Untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikeluhkan si penelepon itu.
Dia, si penelepon itu, tak lain adalah Ibu dari salah seorang muridku. Kami sudah mengenal. Saling mengenal. Cukup lama. Tepatnya, sejak putranya kerap mampir ke rumah. Kadang juga menginap di rumahku.
Aku ingat, putranya pernah nyaris depresi. Karena dituding sebagai pengacau di kampus. Bahkan, dianggap sebagai biang kerok masalah. Kalau ada demo, ia pula yang kena tudingan. Meski ia tak terlibat.
Ia sempat ketakutan yang teramat. Ketika itu, ia jadi buruan intel atas masalah yang tak ia ketahui. Saat itu, aku menduga, ada yang bermain-main. Sebagai gurunya, aku tak tega melihatnya kehilangan semangat hidup. Aku pun memanggilnya ke rumah. Dan kuberikan tumpangan untuknya. Tinggal sementara di rumah untuk beberapa waktu. Ya, agar ia pulih dari rasa traumanya itu.
Sementara ia tinggal di rumah, aku mencari tempat-tempat yang mungkin dapat ia jadikan perlindungan. Situasi juga semakin tak aman. Namaku, ikut tercatat dalam lembaran kertas itu. Rumahku juga menjadi target. Intel beberapa kali menyatroni rumah.
Aku mesti berbuat. Melarikan mereka dan mengamankan mereka. Segera kularikan ia pada seorang Kiai. Meminta perlindungan bagi muridku ini, bersama beberapa yang lainnya.
Pengalaman itu yang membuat kami—aku, istriku, murid-muridku, dan orang tua mereka—menjadi akrab. Kami saling menghubungi satu sama lain. Kami saling berkabar. Saling berkunjung.
Kini, Ibu itu berkeluh kesah. Ongkos kuliah, tak sanggup ia bayar lunas. Pekerjaan sepi. Sementara kebutuhan sehari-hari mesti dipenuhi.
“Kalau saya mesti hutang, malah nambahi beban, Pak. Kami malah kudu mikir, kapan bisa melunasinya,” kata Ibu ini di telepon.
Ya, aku paham. Keadaan semacam itu tentu sangat membebani. Tetapi, aku tak bisa berbuat banyak. Selain, hanya bisa mendengarkan keluh kesah itu dan sedikit meramu kata-kata untuk menenangkan dan menenteramkan hatinya.
Aku tak mungkin dapat mengubah keputusan. Kalaupun aku lakukan sesuatu, bisa-bisa aku dianggap sebagai pembangkang. Sekalipun coreng muka ini sudah kadung lekat pada diriku. Lalu, muncul pertanyaan pada diri sendiri, ‘aku berbuat untuk siapa, untuk apa?’.
Istriku meraih lenganku. Kemudian memelukku. Aku tahu, apa yang bersarang di benaknya. Apalagi ketika ia tahu, kalau penelepon itu mengabarkan ihwal yang janggal. Seseorang telah melakukan keculasan. Mengulurkan tangan tapi menimpakan beban, menekan.
Omah Sinau SOGAN, 29 Juli 2020