KOTOMONO.CO – Keresahan-keresahan dan suka duka anak kedua yang menjalani hidup sebagai anak tunggal yang tumbuh tanpa interaksi kakak adik.
Saya adalah anak kedua dari tujuh bersaudara, sebagaimana nama depan saya yang menggunakan kata “Dwi”. Bagi orang Jawa, kata dwi artinya dua dan sudahlah bukan barang asing bahkan teramat sangat lekat hingga dalam banyak susastra dan bahasa Jawa kerap menggunakannya.
Makanya, agak aneh jika ada orang Jawa yang tahu nama saya berawalan Dwi tapi masih suka tanya, “Anak ke berapa?”. Kalau kata orang, ketara ora njawani (tidak seperti orang Jawa).
Hanya saja, meski saya lahir sebagai anak kedua, tetapi saya tidak dibesarkan oleh orang tua kandung. Melainkan saya dibesarkan dan ikut oleh Pak Dhe dan Bu Dhe. Otomatis saya ini tidak tumbuh bersama kakak dan adik-adik saya, alias tumbuh sendirian, atau dengan kata lain saya ini sebagai anak tunggal yang tak memiliki saudara.
Dari sini muncul banyak sekali permasalahan yang menurut saya pribadi sungguh meresahkan. Hal ini akan sangat terasa dan kentara terutama ketika saya pulang ke rumah orang tua kandung saya dan berkumpul dengan saudara-saudara yang lain.
Tidak Terbiasa Diganggu
Saya tidak tahu apakah ini bawaan lahir atau karena faktor lingkungan di mana saya dibesarkan. Hanya saja saya adalah orang yang suka termenung diam menatapi sekitar sambil memikirkan banyak hal. Suasana sunyi dan tenang telah menjadi kawan akrab saya sedari lama. Sebab di suasana tersebutlah, “berpikir’ menjadi kegiatan yang terasa sangat nikmat dan menyenangkan.
BACA JUGA: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Itu Perlu Diperhatikan lho!
Hanya saja ketika berkumpul dengan saudara, tidak dapat dipungkiri pastinya akan ada interaksi satu sama lain. Namanya juga manusia itu makhluk sosial, apa iya mau diam-diaman saja? Kan tidak. Belum lagi kondisi sekitar yang ramai dari pagi hari sampai malam menjelang. Bagi saya suasana semacam itu sungguhlah menyiksa dan melelahkan.
Butuh extra adaptasi untuk bisa terbiasa dengan suasana ramai tersebut. Maka dari itu, tak dapat dipungkiri rasanya diri saya seperti kaget kala mendapati perubahan suasana yang teramat drastis tersebut. Namun, setelah cukup lama berada bersama saudara-saudara lain, keramaian justru terasa menyenangkan dan mengasyikkan.
Seolah setiap hari kau memiliki teman main yang tak pernah usai. Ya, keramaian tidaklah seburuk itu, hanya butuh waktu untuk terbiasa.
Tidak Terbiasa Berbagi
Memiliki saudara itu artinya kamu harus siap membagi milikmu dengan saudaramu. Tak banyak yang bisa diakui sebagai hak milik pribadi, sebab harus berbagi. Barangkali memang keuangan keluarga yang tak memungkinkan, bisa pula memang didikan untuk pendewasaan dan menempa rasa saling berbagi.
Hanya saja bagi orang yang telah terbiasa tumbuh sebagai anak tunggal, bab berbagi ini menjadi yang cukup sulit. Kalaupun mau dipaksakan, jelas ada rasa berat hati yang teramat sangat. Sebab berbagi itu artinya tak ada yang namanya privasi, semua milik bersama, bebas lihat dan tak ada yang tersembunyi.
BACA JUGA: Stop Berdebat! Beban Anak Pertama, Tengah, dan Akhir itu Sama Saja
Tentunya masih ada banyak cara untuk tetap memiliki privasi meski memiliki banyak saudara dan barang yang harus dimiliki bersama. Hanya saja, tentunya tidak akan sebanyak kebebasan privasi yang dimiliki oleh anak tunggal. Maka dari itu, jujur saja saya terkadang cukup risih dan butuh waktu lebih untuk bisa legowo ketika harus berbagi ruang dan barang dengan saudara yang lain.
Semua memang ada baik dan buruknya, termasuk perkara berbagi ini. Pada akhirnya memang mau tidak mau, serahkan saja pada sang Waktu dan beradaptasilah dengan keadaan sebisa mungkin. Sebab kebiasaan memang tak mudah untuk diubah, apalagi saya yang telah tumbuh dengan kebiasaan itu.
Tidak Terbiasa dengan Anak-Anak
Ini adalah satu poin yang kerap membuat saya mendapatkan masalah, kadang sedikit cibiran dengan bumbu guyonan. Namun, memang harus saya akui, perempuan yang tidak terbiasa dengan anak-anak itu terkesan “aneh”. Jujur saja saya cukup setuju dengan opini semacam itu.
Sederhananya perempuan kelak akan menjadi seorang ibu, sehingga mau tidak mau ia akan berurusan dengan yang namanya anak-anak di kemudian hari. Maka akan menjadi penilaian baik seseorang, kala perempuan itu telah terbiasa bahkan akrab dengan anak-anak. Saya sendiri pun sangat kagum dengan teman-teman saya di luaran sana yang begitu telaten, sabar, dan penuh pengertian dalam mengurus anak-anak.
Sebab fakta yang tak terbantahkan bahwa mengurusi anak memang bukan suatu pekerjaan mudah!
Bagi yang memiliki saudara, interaksi dengan anak-anak barangkali adalah hal yang niscaya. Sebab pasti orang tuanya akan memintanya membantu menjaga adiknya. Namun, bagi saya yang besar sebagai anak tunggal, hal ini tak berlaku. Saya hidup dan tumbuh besar seorang diri di bawah asuhan Pak Dhe dan Bu Dhe. Tak ada yang namanya adik atau kakak disana.
Ketika ada anak kecil atau bayi yang imut nan lucu, respon saya tak seantusias kawan-kawan perempuan yang lain. Tentu saya suka melihat tingkah lucunya, hanya saja untuk seantusias dan seberbinar-binar mereka, rasa-rasanya itu bukan saya sama sekali. Pun, rasanya untuk sabar terhadap tingkah mereka ketika bertingkah menyebalkan juga benar-benar bukan hal mudah.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Meski begitu, saya cukup bersyukur, setidaknya anak-anak kecil di sekitar saya jarang yang merasa terganggu atau takut dengan kehadiran saya –manusia yang tidak terbiasa dengan mereka– malah anehnya terkadang ada yang suka sekali bersama saya, padahal saya tidak melakukan apa-apa selain sekenanya merespon tingkah mereka.
Kalau kata ibu saya sih itu namanya, “Aura ke-kakak-an yang terpendam”.
Barangkali yang paling terasa meresahkan adalah ketika pulang ke rumah dan bertemu dengan adik-adik saya yang masih amat belia. Di usia mereka yang masih kanak-kanak, tentu saya adalah sosok yang asing bagi mereka. Pun, saya yang tak terbiasa dengan anak-anak membuat saya kesulitan dalam berinteraksi dengan mereka.
Kadang saya merasa bersalah ketika tengah mengurusi anak orang, mengingat adik sendiri yang jarang saya perhatikan.
Di usia yang semakin beranjak dewasa ini. Saya sadar betul betapa perbedaan-perbedaan cara pandang, cara hidup, dan kebiasaan ini sangatlah penting untuk dipahami. Bukan untuk saling di adu dan dicari tahu mana yang terbaik atau yang terbenar, tapi sebaliknya, yaitu untuk saling dikompromikan dan dipahamkan bersama.
Dengan begitu, saya harap keharmonisan antar dua keluarga sajalah yang tercipta. Sebab perbedaan bukanlah pemisah, melainkan pemersatu.