KOTOMONO.CO – Orang-orang Jawa tentu dekat dengan pepatah bahwa perempuan itu urusannya ada tiga, yakni kasur, dapur, dan sumur. Ada satu lagi yang serupa, dengan menggunakan bahasa Jawa, yakni masak, macak dan manak.
Kasur dan manak (melahirkan) memiliki maksud yang sama, yakni sebagai kodrat perempuan dengan kemampuannya mengandung lalu melahirkan. Dapur-masak juga satu makna, yakni sudah menjadi tugas perempuan untuk memasak, menyiapkan makanan, memenuhi kebutuhan pangan untuk suami dan anak-anaknya. Sementara sumur, dalam hal ini menjadi simbol sumber air, yang pada zaman dahulu berguna dalam seluruh aktivitas kebersihan.
Artinya, bahwa perempuan memiliki tanggung jawab atas kebersihan rumah, berkaitan juga dengan air, yakni mencuci, mengepel, menyapu, membersihkan peralatan rumah tangga dan lain sebagainya. Lain halnya dengan macak (make up), yang dalam bahasa Indonesia berarti berias. Maksudnya adalah bahwa perempuan dianggap sebagai perhiasan, maka harus berhias diri atau pandai memoles wajah.
Lantas sejatinya perempuan ini apa? Apakah ia adalah pelayan rumah tangga? Pepatah di atas seakan membendakan perempuan. Perempuan seolah tidak memiliki daya untuk melakukan apa yang dimau, namun harus melakukan tuntutan yang hadir di masyarakat sekitar. Anak perempuan dicetak untuk bisa melayani dan mengurus rumah. Sementara anak laki-laki dibiarkan hanya mengerti urusan listrik, kabel, bengkel, genteng, dan hal-hal yang memang termasuk wilayahnya.
BACA JUGA: Aa Gym, Tolong, Bedakan Antara Perempuan dan Kendaraan Bermotor!
Sayangnya, konstruksi ini sudah sangat mengakar kuat di lingkungan masyarakat kita. Pokoknya urusan bersih-bersih dan memasak, itu bagian perempuan. Padahal, seharusnya tidak seperti itu. Sebab hal itu sama saja dengan tidak memanusiakan perempuan. Segala urusan rumah, dibebankan tanggung jawabnya kepada perempuan. Bahkan sedari ia kecil, banyak keluarga yang mendidiknya demikian, namun tidak bagi anak laki-laki.
Jika kita mengacu pada histori Islam sendiri, bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan perempuan dahulu, utamanya terhadap istri-istrinya, sangat jauh berbeda dengan penampakan yang terlihat di masyarakat kita. Pun bagaimana beliau turut mengurusi urusan domestik di rumahnya.
Mungkin sebagian dari kita tahu bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah menjahit pakaiannya sendiri ketika sobek, yang justru memeluk Aisyah tatkala tengah marah, tidak rela Fatimah dipoligami, menikahi janda-janda tua untuk dimerdekakan, tidak menuntut istrinya untuk memasak, serta tidak mencela masakan istrinya jika keasinan. Hal-hal tersebut bukankah terasa asing dan sangat jarang kita temukan di sekitar kita?
Banyak sekali orang-orang, baik laki-laki bahkan tidak jarang perempuan itu sendiri kemudian mengatasnamakan ‘ajaran agama’ bahwa ya memang perempuan seperti itu. Hal ini karena banyak orang yang luput atas tindakan Nabi Muhammad Saw. tadi, bahkan mungkin sejatinya mereka tahu, namun bersikap denial. Sebab lagi-lagi, budaya yang ada, konstruksinya memang begitu. Seolah tidak boleh diganggu gugat lagi.
BACA JUGA: Apakah Menjadi Perempuan itu Sulit?
Kalis Mardiasih dalam bukunya yang berjudul Sister Fillah You’ll Never Be Alone, menyatakan bahwa perempuan memiliki pengalaman biologis yang cukup berat dan berlangsung cukup lama dengan kondisi tertentu. Misalnya, dalam setiap bulan, perempuan pasti mengalami menstruasi selama kurang lebih satu minggu. Kemudian perempuan juga bisa mengandung dengan durasi selama kurang lebih 9 bulan. Pun ketika kemudian melahirkan dalam kurun waktu bisa sekian jam atau hari.
Setelah anaknya lahir, perempuan juga mengalami nifas, lalu harus menyusui selama 2 tahun. Sementara laki-laki hanya memiliki pengalaman biologis dengan waktu yang singkat yakni berhubungan seksual dan mimpi basah. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi tubuh perempuan sudah sedemikian rumit dan menyakitkan.
Pada hakikatnya, urusan domestik rumah tangga seperti memasak, menyapu dan mencuci merupakan keterampilan dasar hidup manusia, tidak terbatas hanya urusan perempuan semata. Toh bukankah lebih ringan melakukan pekerjaan secara bersama-sama?
Maka seharusnya perempuan berhak untuk beristirahat ketika memang terasa sangat lelah untuk memasak. Atau mungkin ketika sedang masuk periode menstruasi, merasa nyeri dan lemas, ia berhak untuk tidur, mengistirahatkan tubuhnya. Bukan memaksanya untuk mencuci, namun berikan ruang bagi perempuan untuk melakukannya dengan dasar suka cita dan perasaan rela.
BACA JUGA: Dear Orang yang Pamer Lamaran di Medsos, Yakin Bakal Lanjut Nikah?
Tidak perlu dipaksa atau sampai dimarahi ketika perempuan tidak sanggup melakukan pekerjaan domestik. Syukur-syukur laki-laki mau turun tangan melakukannya sendiri.
Dalam konstruksi sosial di masyarakat kita memang seringkali melihat konsep kehidupan rumah tangga dengan istri yang bertugas layaknya pelayan. Katanya, hal itu sebagai bentuk pengabdian dan kebaktian terhadap suaminya. Pun termasuk ketika dalam urusan ranjang, istri dikatakan harus selalu melayani suaminya untuk berhubungan badan, bahkan dengan dalih hadits dan ayat suci al-Qur’an.
Padahal perempuan tidak selalu berada dalam kondisi siap atau sanggup. Hal ini mengingat tugas-tugasnya di rumah yang seabrek. Belum lagi jika perempuan juga memiliki kegiatan sosial di luar rumah ataupun pekerjaan sampingan lainnya.
Padahal konsep kehidupan rumah tangga seperti itu tidaklah seimbang. Kehidupan rumah tangga akan jauh lebih baik jika dibangun atas dasar prinsip mubadalah atau kesalingan. Artinya kedua belah pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (istri) saling bertanggung jawab atas keperluan, kebutuhan dan kepentingan rumah tangga. Baik dalam hal perasaan maupun urusan domestik. Laki-laki tidak perlu khawatir dianggap tidak jantan dengan melakukan pekerjaan domestik. Justru laki-laki semakin terlihat jantan ketika membantu dan memuliakan istrinya.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Maka dengan demikian, perempuan tidak seharusnya menjadi pelayan atau diperlakukan seperti pelayan. Urusan domestik bukan sepenuhnya tanggung jawab perempuan semata, melainkan seluruh anggota keluarga di rumah. Mencuci, memasak, menyapu adalah keterampilan dasar hidup yang seharusnya juga bisa dilakukan oleh laki-laki. Sebab di dunia ini penuh dengan ketidakpastian, yang mana tentu tidak dapat menggantungkan hidup pada perempuan.
Teruntuk perempuan, berdayakan diri sendiri terlebih dahulu, ciptakan ruang aman dan nyaman dalam setiap tindakanmu. Jika lelah, beristirahatlah. Lalu katakan pada laki-lakimu dengan baik, meminta pengertian dan maklumnya. Akan tetapi jangan terlenakan hingga berbohong hanya karena malas. Bukankah yang demikian terlihat lebih indah dan menyenangkan? Dua insan yang hidup bersama dengan prinsip kesetaraan dan kesalingan.