“Lek Jum datang kemari Mas,” Kata istriku, Rum, yang mengintip melewati tirai jendela yang disibakkannya.
“Biarkan masuk, mungkin saja dia mau melunasi semua hutang-hutangnya padaku.”
***
Akhirnya aku dan Rum berani mengukuhkan hubungan kami, setelah sekian tahun dalam kebersamaan yang penuh dengan kemesraan khas anak muda. Tahun ini adalah tahun yang sangat tepat, gara-gara virus yang masih jadi perdebatan apakah virus itu alami atau rekayasa belaka, sepanjang tahun kegiatan-kegiatan masyarakat sangat dibatasi, sekolah-sekolah diupayakan melalui daring, perkantoran dituntut untuk bisa memperkerjakan karyawannya dari rumah, pasar dibatasi jam operasionalnya, ini bisa kami jadikan alasan mengapa pernikahan kami adakan secara sangat sederhana sekali, tanpa ada pelaminan, tanpa panggung hiburan, bahkan tanpa tamu. Pernikahanku dengan Rum hanya dihadiri segelintir kerabat saja, sebagai saksi, dan tentu saja ada pak penghulu.
Ya, semua tahu alasan sebenarnya dari pernikahan kami yang sederhana itu, kami tidak begitu punya biaya, terutama aku sebagai seorang lelaki yang seharusnya menanggung semua biaya nikah adalah seorang pengangguran. Aku terkena PHK pabrik tekstil yang mana selama belasan tahun telah menjadi rumah kedua bagiku, semua gara-gara Korona, bersama ratusan karyawan lain hanya bisa berharap nanti suatu saat gaji kami yang masih dihutang pabrik akan segera dibayarkan, meski bagi sebagian besar orang gaji kami yang masih tertahan di pabrik dianggap terlalu kecil tapi bagiku itu lebih dari cukup, setidaknya bisa buat biaya hidup dua sampai tiga bulan.
Meski menganggur, rencana pernikahan tetap harus berjalan. Tabungan tentu saja tidak akan pernah cukup, satu-satunya jalan ya dengan menagih semua hutang kepada orang-orang yang pernah berhutang padaku. Kudatangi teman yang kelihatan usahanya masih lancar, namun jawaban yang kudapat adalah permintaan maaf karena belum bisa membayar hutangnya.
“Di saat seperti ini semua usaha dalam posisi bertahan saja, cukup bisa bertahan saja sudah luar biasa, banyak usaha yang ambruk karena efek pandemi.” Terang temanku, seperti biasa dengan nada optimis. Tak ada tanda-tanda dia akan membayar hutang, aku segera pamit saja, percuma saja bagiku untuk terus mendengarkan cerita-cerita suksesnya bila akhirnya dapat kutebak: Aku tidak akan dapat apa-apa.
Kudatangi teman yang lain, dapat ditebak lagi, dia juga terkena dampak kebijakan PPKM, dia tidak bisa berjualan. Kios nasi goreng yang biasanya buka habis magrib kini ditutup sampai ada pemberitahuan selanjutnya. Kini dia sedang kebingungan dengan cicilan motor NMax miliknya dan PCX milik istrinya. Kukendarai motor bututku, mesin dan rantainya berisik, lama tak pernah diservis, aku pulang dengan tangan hampa, lagi.
Kudatangi teman yang lain lagi, lagi dan lagi aku mendapatkan jawaban yang sama. Selalu pulang dengan tangan hampa, atau terkadang dengan menggenggam erat janji-janji lagi. Sambil terus berusaha tersenyum aku berpikir akulah manusia paling beruntung di dunia ini, setidaknya untuk saat ini.
***
Meski dana patungan antara aku dan Rum yang tidak seberapa itu sudah habis, tapi dengan berbagai alasan kami memutuskan untuk keluar dari rumah, tidak hidup menumpang di rumah orang tuaku maupun orang tua Rum. Segera setelah membagikan tanda tasyakuran berupa paket roti ala kadarnya ke tetangga-tetangga, kami langsung pindah ke kostan murah di pinggir kota yang telah kami bayar beberapa hari sebelumnya.
Di minggu pertama saja kami sudah kehabisan nafas, panggilan kerja lagi dari pabrik belum kuterima, terpaksa untuk keseharian kami hanya makan dua kali: pagi nasi bungkus, malamnya mie instan dan untuk minum kami mencukupkan diri dengan segalon air mineral isi ulang. Di akhir minggu pertama itu kami mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan pintu kamar kost. Kedatangan Lek Jum tentu saja jadi angin segar, sebuah harapan meski samar-samar.
“Maafkan Mae ya Le,” katanya, dia menyebut dirinya Mae dan sebutan Le pada diriku tentu saja sebagai upaya yang menggambarkan betapa dekatnya hubungan kami, padahal kenyataannya tidak, dia hanya memanfaatkan kedekatan hubunganku dengan beberapa anaknya dan rasa belas kasihku untuk kemudian dimintai hutang.
“Dulu Mae kan sudah pernah bilang kalau kamu mau menikah, tolong kasih tahu Mae setidaknya enam bulan sebelum tanggalnya.” Lek Jum terus memasang wajah mengiba, sebuah lagu lama yang sudah aku kira akhirnya akan bagaimana.
Kupalingkan wajah demi menatap wajah istriku, dia balik menatapku, penuh arti.
Sangat berhati-hati sekali kupasang sikap, dengan kembali sepenuhnya menghadapkan diri pada Lek Jum dengan sikap menghormat. Bersikap dengan orang kecil haruslah demikian, sudah jadi ciri khas orang kecil, mereka mudah tersinggung, hatinya rawan serta rapuh, mudah merasa diremehkan oleh orang yang dianggapnya lebih beruntung dari dirinya, salah menempatkan sikap dan sedikit saja salah ucap akan sangat sangat berbeda penerimaanya, dan tentu saja ini sangat berbahaya.
“Begini Mae,” kupanggil mae semata untuk membuatnya nyaman. “Mungkin kedatangan Mae hari ini adalah rejeki bagi kami, saat pernikahan kemarin kami memang serba dadakan, banyak kerabat yang tidak kami kabari. Pernikahan kami ala kadarnya, sepi-sepinan. Bila Mae tetap bersikeras untuk membayar hutang-hutang Mae, mungkin ini adalah waktu yang sangat tepat untuk kami memberi kabar. Bukankah Mae akan mengusahakan membayar seluruh hutang bila saya memberikan jangka waktu enam bulan?”
“Ya Le, setidaknya Mae akan mengusahakan melunasi, bila tidak bisa seluruhnya ya setidaknya sebagian besarnya.” Jawaban yang sudah aku perkirakan, dan aku tak akan berharap banyak pada janjinya. Seperti yang sudah-sudah, meski mungkin saja tak ada niat untuk mengingkari tapi tipe orang kecil seperti Lek Jum terlalu mudah ditebak, seluruh hidupnya dipenuhi dengan kemalangan-kemalangan, yang uniknya kemalangan-kemalangan itu juga akan menyeret orang lain, mau tidak mau, sengaja maupun tidak.
“Alkhamdulillah bila demikian,” kutata tiap kata yang akan kukeluarkan. Aku tidak mau ada penerimaan yang salah darinya. “Mae, tepat enam bulan ke depan mungkin kami akan mengadakan selamatan kelahiran anak pertama kami.”