KOTOMONO.CO – Di Sindang, Mrebet, Kabupaten Purbalingga tradisi Nyewu ditandai dengan penyembelihan kambing dibantu warga setempat. Udah kayak penyembelihan hewan qurban aja, nih!
Perkembangan dunia semakin berubah, dari era tradisional menjadi lebih modern. Apalagi mengenai teknologi, yang kian hari semakin canggih. Dan banyak perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat saat ini. Salah satunya mengenai tradisi yang dijalankan oleh masyarakat.
Namun di Desa Sindang, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, masih ada tradisi yang tak tergerus oleh perubahan zaman, namanya tradisi Nyewu. Saat saya masih kecil, saya sering mendengar kata Nyewu. Yaitu mengadakan acara slametan atau doa bersama untuk orang yang telah meninggal setelah 1000 hari.
Sebenarnya saya tidak begitu paham dengan tradisi tersebut, karena dulu saya hanya tau kalau orang nyewu berarti mengadakan acara slametan atau doa. Dan ditandai dengan menyembelih seekor kambing, sebagai tanda persembahan keselamatan arwah dan berbagi rezeki dengan tetangga.
Biasanya keluarga yang mengadakan acara Nyewu akan menyembelih satu hewan kambing. Mereka mengundang orang yang biasa memotong kambing dengan Syariat Islam. Proses penyembelihannya pun layak menjadi tontonan yang cukup menarik.
Kambing akan dibaringkan pada sebuah tanah yang sudah dibuat lobang untuk wadah darah yang mengalir nantinya dengan beralas kedebog, atau batang pohon pisang yang dijajarkan pada area leher kambing. Saat penyembelihan pun kambing dikalungi dengan semacam sajen (Bunga mawar dan kamboja) dan tubuhnya dibalut dengan kain mori.
Beberapa orang memegangi kambing. Mereka bersama-sama mengucapkan kalimat takbir secara bersamaan. Dengan didahului berdoa, penyembelih pun melakukan pemotongan pada leher kambing. Saat proses penyembelihan punada orang yang memayungi kepala kambingnya.
Selepas kambing disembelih, salah satu keluarga yang mengadakan acara akan memberikan selembar uang 2 ribu atau 5 ribuan pada kantong atau saku orang-orang yang telah membantu proses penyembelihan. Tak hanya itu, jika ada anak-anak atau orang yang menonton juga ikut mendapatkannya. Jadi tak jarang kalau proses penyembelihan ramai dengan anak-anak, karena mereka berharap ikut serta mendapat uang 2 ribu.
BACA JUGA: Tradisi Pasar Malam dan Kliwonan Masyarakat Batang
Baru setelah acara penyembelihan selesai, bapak-bapak yang dimintai bantuan secara bersama-sama melakukan tetel, atau pemotongan daging kambing agar menjadi lebih kecil. Mereka akan duduk melingkar bersenjatakan pisau dan talenan.
Setelah semua selesai dipotong, bagian-bagian tubuh kambing akan dipisah sesuai dengan jenisnya. Misal daging dengan daging, jeroan sendiri, kulit sendiri, dengkil dan bagian lainnya juga. Setelah dipisah nanti ada bagian daging mentah yang dibagikan kepada tetangga terdekat, dan Sebagian akan dimasak oleh keluarga yang mengadakan acara.
Selain acara penyembelihan kurban, biasanya pihak keluarga akan mengundang para kyai atau orang alim untuk mengaji di rumah mereka. Mereka akan mengundang beberapa orang, biasanya 5 sampai 10 orang diundang untuk mengaji . Dan disaat itu juga ibu-ibu akan sibuk di dapur, mempersiapkan masakan yang akan disajikan pada saat acara tahlil pada malam hari dan juga untuk dibagikan kepada tetangga.
Nanti diantara mereka akan mengantarkan sesumbul makanan pada tetangga, dengan isian nasi, sayur bihun, tempe, dan sayur lainnya, serta daging kambing yang disembelih tadi, dan tak lupa sebungkus plastik kecil kerupuk. Pembagian makanan itu bertujuan untuk berbagi sekaligus mengundang orang-orang untuk hadir tahlil dan berdoa bersama di malam harinya.
BACA JUGA: Tradisi Nyerep Para Juragan Batik Mencari Pekerja Pengganti
Banyak yang berpendapat bahwa tradisi itu haram dilakukan. Hal ini lantaran menggunakan acara penyembelihan kambing. Bukan itu saja, acara doa untuk orang yang sudah meninggal toh bisa kapan saja. Tidak harus dengan tradisi penyembelihan hewan Kambing.
Padahal apa salahnya jika melakukan tradisi itu? Toh acara tersebut konon nenek moyang kita terdahulu sudah melakukannya. Tidak ada hak untuk melarang tradisi nyewu. Sebab, memang adat daerah berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.
Pun tradisi semacam itu dilakukan bagi orang yang memang mampu, bukan untuk semua orang. Seperti kata dosen Kewarganegaraan saya. Beliau pernah bilang kalau keyakinan tidak bisa untuk dikomentari. Karena keyakinan adalah kepercayaan seseorang terhadap sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat.
Masing-masing individu punya keyakinan dan pendapat yang berbeda. Kalau memang tradisi itu sudah turun temurun, sebagai anak cucu hanya melanjutkan tradisi nenek moyang, ya wajar belaka. Asalkan tidak membahayakan banyak orang.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Syarifafa Lainnya